Kisah Spiritual Warga Belanda Bertato Aksara Jawa
REKAYOREK.ID Dengan bangga Michiel Eduard, musisi dan produser musik Belanda, mengatakan “Aku punya tato dalam honocoroko mas” melalui pesan WhatsApp yang dikirim kepada Rajapatni pada Sabtu pagi (3/8/2024).
Saya, yang menerima pesan itu, juga ikut bangga. Aksara Jawa dibawa dalam diri, secara fisik, oleh seorang yang berkebangsaan Belanda. Secara filosofi, aksara Jawa seolah menuntun jalan hidupnya. Michiel bolak balik Belanda – Indonesia, termasuk ke Surabaya, tempat kelahiran penyanyi asal Belanda, Wieteke Van Dort. Michiel memproduserinya hingga akhir hayatnya pada 15 Juli 2024.
Michiel tidak hanya menyematkan tato aksara Jawa pada bagian tubuhnya sehingga kemana mana ia pergi, tato aksara Jawa, selalu menyertai. Lebih dari itu, Michiel juga bisa berbicara bahasa Jawa. Sebuah identitas bangsa Indonesia, bahasa dan aksara Jawa, ada pada dirinya secara fisik dan filosofi.
Michiel memandang Aksara Jawa itu universal karena ia bisa dipakai untuk menulis berbagai bahasa asalkan pengucapannya (pronunciation) benar. Menurut Ita Surojoyo, pendiri Puri Aksara Rajapatni, Aksara Jawa adalah voiced base, ditulis berdasarkan bunyi. Apalagi aksara Jawa memiliki aksara rekan.
Menurut salah satu pengajar aksara Jawa dari Puri Aksara Rajapatni, Wiji Utomo, aksara rekan adalah aksara rekaan. Yaitu cara menulis aksara jawa, yang digunakan untuk menuliskan huruf huruf serapan yang berasal dari bahasa asing seperti Arab, seperti layaknya aksara f, kh, dz dan lain sebagainya.
Jika tato dalam aksara Jawa itu digunakan oleh orang Jawa di Surabaya atau di Jawa, itu sudah semestinya dan biasa. Orang Jawa tidak boleh lupa Jawanya.
Tapi ini, tato beraksara Jawa digunakan oleh warga Belanda, Michiel Eduard. Apalagi latar belakang penulisan tato di bagian pundak kiri ini menyimpan makna tersendiri sehingga menjadi satu dengan tubuhnya. Manunggaling raga.
Berikut ini kisah spiritual manunggaling raga Michiel Eduard:
Waktu masih muda, saya ikut merpati putih, beladiri tangan kosong. Pencak silat dengan aliran tenaga dalam. Waktu itu saya dapat les di KBRI Den Haag, Belanda.
Waktu sudah mulai manggung di Jawa, saya suka mampir ke Bumijo, Yogyakarta, kampung nya Merpati Putih. Selain itu. Saya juga ikut Kejawen yang bernama SENSER. Eyang Delik, penjaga nya Sri Sultan pada zaman itu, guru besar nya. Eyang Delik waktu itu sudah sangat tua, umurnya lebih dari 100 tahun. Sedangkan saya masih sekitar umur 22.
Dari kecil saya memang tertarik dengan pusaka atau keris. Karena moyang saya bernama Mangoenpawiro. Saya merasa bahwa trah Majapahit mengalir dengan kental dalam tubuh saya.
Suatu hari saya mimpi bahwa saya sedang bertapa di rumah nya teman saya, alm. Ruud Greve, seorang penulis dan kolektor Keris. Beliau lahir di Batavia dan karena saya waktu itu masih berusia 13 tahun dan sudah bekerja di restoran Indonesia di Belanda bersama sepupu sepupu saya, disitu saya jadi akrab dengan langganan yang setia yaitu alm. bapak Ruud Greve.
Saya membantu dia dengan buku buku yang dia tulis soal Dewi Sri, Nini Thowok, Jelangkung, Diponegoro dll. Pada waktu saya bersemedi di dalam mimpi, saya berada di kediaman nya Pak Ruud Greve. Lalu pas buka mata di tempat saya bersemedi dalam mimpi itu, ada satu Pusaka terbang di depan muka saya.
Saya dalam mimpi itu berkeringat. Pas saya bangun, Pak Ruud telpon ke saya dan dia ajak saya untuk memilih satu keris dari koleksinya. Ada 7 keris di atas meja, lalu tangan saya seperti tersedot magnet dan mengarah ke salah satu keris.
Bapak saya waktu itu bilang bahgwa dia sudah tahu keris, yang mana yang akan saya pilih. (Red. Sungguh kisah Spiritual). Karena saya sangat terlatih dalam getaran dan naluri, automatic badan saya waktu itu langsung memberi reaksi memilih keris.
Bersama dua sahabat terdekat, lalu saya buat tato dalam aksara Jawa, hanacaraka. Karena kami selalu bertiga, akrab sekali, maka tato yang kami buat bertuliskan “satu hati” dalam Aksara Jawa.
Itulah riwayat di balik tato beraksara Jawa yang diabadikan di bagian pundak kiri Michiel Eduard.@PAR/nang