REKAYOREK.ID Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini punya banyak atasan atau bos. Itu terjadi setelah alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara atau ASN.
Perihal alih status pegawai KPK menjadi ASN itu merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang adalah revisi UU KPK. Pasal 1 ayat 6 UU 19 Tahun 2019 menyebutkan sebagai berikut: Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan aparatur sipil negara.
Dari UU Nomor 19 Tahun 2019 ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) lantas menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). PP itu sebagai aturan turunan dari UU KPK yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 24 Juli 2020 dan diundangkan pada 27 Juli 2020. Alasannya bertujuan dengan menertibkan administrasi negara.
Merujuk pada PP ini, pengalihan pegawai KPK menjadi ASN ini dilakukan melalui beberapa tahapan.
Pasal 4
(1) Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Pegawai ASN, melalui tahapan sebagai berikut:
a. Melakukan penyesuaian jabatan-jabatan pada Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini menjadi jabatan-jabatan ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Melakukan identifikasi jenis dan jumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini;
c. Memetakan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi serta pengalaman Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dengan jabatan ASN yang akan diduduki;
d. Melakukan pelaksanaan pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menjadi PNS atau PPPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Melakukan penetapan kelas jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Detail soal alih fungsi pegawai KPK ini kemudian diperkuat oleh Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang tata cara pengalihan status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN). Dalam Perkom itu, diatur tentang pegawai KPK yang beralih jadi ASN tidak boleh terikat kegiatan organisasi terlarang.
Banyak pihak menilai revisi UU KPK Nomor 19 tahun 2019 tidak partisipatif dan disahkan secara refresif. Kesannya kejar tayang. Ada target yang mau dicapai. Ya, KPK kini menjadi lembaga pemerintahan eksekutif yang sangat birokratis. Bukan lagi lembaga tinggi Negara yang independen. Ini tidak sesuai kehendak reformasi.
UU KPK dan PP jelas telah mendowngrade status KPK dari lembaga Tinggi Negara menjadi Lembaga Pemerintahan biasa.
Merujuk UU Nomor 5/2014 tentang ASN Pasal 25, bahwa (1) Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN. (2) Untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, berkaitan dengan kewenangan perumusan dan penetapan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, serta pengawasan atas pelaksanaan kebijakan ASN.
Mau tidak mau, KPK kini harus patuh pada UU KPK, juga nurut pada UU ASN. Dalam hirarki pemerintahan, tentu bos tertinggi adalah presiden. Kemudian KPK juga punya bos lain yakni Menpan RB, lalu KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) dengan kewenangannya melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan serta pengawasan terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku ASN.
Terkait dengan kewenangan penelitian, pengkajian kebijakan Manajemen ASN, pembinaan, dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan ASN, KPK harus tunduk pada Lembaga Administrasi Negara (LAN).
Tidak cukup di situ, bos KPK lainnya adalah Badan Kepegawaian Negara (BKN). Ini berkaitan dengan kewenangan penyelenggaraan manajemen ASN, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria manajemen ASN. Buktinya, BKN begitu berkuasanya memecat 51 pegawai KPK, walaupun berlindung di balik asesor. Padahal asesor tidak berwenang sebagai eksekutor, hanya sekedar rekomendasi bahwa yang diuji kompeten atau belum kompeten.
Rumit, iya. Birokratis, iya. Berbelit-belit, jelas. Sebab memang itulah aturan UU KPK dan UU ASN. Sekarang KPK tidak bisa bekerja sendiri. Jika mau mengusut suatu perkara korupsi, KPK tidak bisa leluasa lagi.
Orang-orang seperti Rizka Anung Nata, Andre Harun, Rasamala, Herry Muryanto, Ambarita Damanik, dan Harun Al Rasyid, yang sosoknya disegani karena prestasi dan integritasnya karena melakukan operasi tangkap tangan para pejabat lewat operasi tangkap tangan (OTT), kini nasibnya lebih buruk dari koruptor.
Bahkan menurut Direktur Sosialisasi & Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono, dipretelinya 75 pegawai KPK, termasuk nama-nama yang disebut di atas, ada indikasi sengaja disingkirkan demi kepentingan Pemilu dan Pilpres 2024. Sehingga APBN dapat leluasa digarong.
“Sumber utamanya adalah APBN, yang selama ini diawasi BPK dan KPK, gitu kan. Jadi saya takut sekali kalau 75 orang ini diperetelin, kemudian mereka dengan leluasa menggarong APBN ini,” kata Giri, yang pernah bekerja di sebuah badan di bawah naungan PBB.
Karena itu alumnus Institute to Social Studies-Erasmus University of Rotterdam, tak percaya bila 51 dari 75 pegawai itu kemudian dimasukkan kategori merah dan tak bisa dibina lagi. Sebagai pengajar wawasan kebangsaan di banyak lembaga negara, Giri menilai seharusnya mereka semua diberi nila kelulusan cum laude. Juga sangat layak diberi gelar pahlawan, bukan malah disingkirkan.
“Apakah menangkapi koruptor itu tidak punya wawasan kebangsaan? Apakah mengembalikan kerugian negara ratusan miliar, bahkan triliunan, itu tidak dianggap sebagai jasa,” papar mantan Direktur Gratifikasi KPK tersebut.[]