Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kyai Imron Merampok Perhiasan Warga

Oleh: Sandi Irwanto

Kabar Kyai Imron melumpuhkan preman pasar wage Dadang Wang Sungsang menyebar ke mana-mana. Kesaktian kanuragannya semakin diakui warga sekitar. Meski demikian Kyai Imron tak merasa pongah. Dia tetap biasa-biasa saja, seperti orang yang tak ilmu kanuragan. Kyai Imron tetap rendah hati. Kepada siapa pun dia ramah, murah senyum, welas asih, menbar cinta untuk semua.

Sikap Kyai Imron ini membuat warga semakin menghormati dan segan kepadanya. Beberapa orang mendatangi dan ingin belajar ngaji kepadanya. Meski tak memiliki pondok pesantren, surau kecil tak jauh dari rumahnya dijadikan tempat untuk belajar ngaji. Kyai Imron belakangan ini juga sering diminta tolong memberi tausiyah, mulai selamatan pernikahan, sunatan, tasyakuran haji, bersih desa, perayaan panen raya dan hajatan lainnya.

Suatu kali, sepulang memberi tausiyah di desa sebelah Kyai Imron dan salah seorang santrinya berjalan melewati depan halaman rumah Bakri, salah seorang warga yang juga sudah mengenalnya. Bakri bersama istrinya hendak berangkat kondangan naik mobil sedan terbaru. Rupanya dia orang terkaya di desa ini. Sang istri mengenakan perhiasan banyak. Tangan kanan dan kirinya bergemirincing gelang emas ukuran besar hingga nyaris ke siku. Kalungnya berlapis-lapis memenuhi leher dan dadanya, salah satu kalung bandulnya sebesar kue kucur. Belum lagi cincinnya yang memenuhi jari-jarinya. Anting-antinya menjuntai di kedua telinga perempuan itu.

“Mau ke mana Kang? Kok pada ganteng dan cantik begini?” sapa Kyai Imron kalem.

“o, Kyai Imron. Ini ada kondangan. Anaknya pak Burhan, pengusaha batik itu lho menikah dapat putrinya pengusaha rambak dari Mojokerto,” balas Bakri penuh hormat.

Kyai Imron sesaat terdiam, matanya yang sejuk memandangi perhiasan emas yang dikenakan istri Bakri. Lelaki pengusaha minyak oles itu jadi pakewuh. Tidak enak sama Kyai Imron karena dikira pamer harta kekayaan. Tiba-tiba Kyai Imron memecah kebisuan.

”Kang, kalau boleh, ini kalau boleh lho, saya minta semua perhiasan yang dikenakan istrimu. Kalau aku hitung-hitung mungkin bisa buat membangun pesantren…”.ujar Kyai Imron masih dengan nada kalem dibumbui senyum.

Bakri gelagapan seperti tersiram air panas. Juleha, istri Bakri, matanya terbelalak menahan kaget. Kyai Imron memandangi keduanya dengan tenang. Menunggu jawaban Bakri. Juleha mencoba menyembunyikan kedua lengannya yang seperti dirantai gelang emas.

“Bagaimana kang? Boleh aku minta semua perhiasannya? Aku gak bisa pinjam atau hutang perhiasan kepada sampeyan Kang. Tapi aku mau minta saja semua itu untuk berdakwah. Barangkali sampeyan mau beramal untuk simpanan di akherat” lanjut Kyai Imron.

Juleha menutup telinganya. Dia seperti ingin menyembunyikan anting-anting yang menjuntai bak bandul jam di masjid agung. Bakri masih melongo melihat istrinya. Sang istri yang bertubuh gendut itu malah mematung, seperti badut hendak diterkam harimau di arena sirkus. Tak berkutik.

“Kalau begitu saya mau minta kalung dengan bandul kucur itu saja, barangkali bisa buat renovasi surau yang mau ambruk. Jangan kuatir nanti Gusti Alloh yang akan membalas dengan menggantinya berlipat-lipat,” tutur Kyai Imron masih dengan senyum yang bercahaya.

Si santri menggaruk-garuk kepalanya, tak paham apa yang terjadi dihadapannya. Juleha malah melungker dan membekap dadanya seolah tak ingin kalung kesayangannya itu lepas. Dia ingin menjerit minta tolong namun suaranya tercekat di tenggorokannya. Bakri malah sedari tadi jadi patung lembu.

“Yaa Gusti…semoga kali ini aku minta dikasih ya..Cincin kecil yang kamu pakai itu aku minta ya buat perbaikan wc di surau. Siapa tahu bisa manfaat dunia akherat…” ujar Kyai Imron sambal menunjuk jari tengah Juleha yang gempal seperti wortel.

Juleha mewek. Hidungnya kembang kempis seperti berat melepas sesuatu. Bakri juga tak bisa berbuat apa-apa. Dahinya berkeringat. Selang beberapa saat, akhirnya Bakri berbisik kepada sang istri.

“Juul…kasikan yaa cincinnya kan kecil daripada semuanya diminta…” Pelan-pelan Bakri melepas cincin istrinya itu. Begitu cincin itu lepas Juleha menangis keras seperti anak-anak melihat es krim yang dibawanya jatuh ke tanah.

“Alhamdulillah…Semoga bisa di ikhlaskan dan menjadi berkah…” Kyai Imron menerima cincin itu dan memberikannya kepada si santri. Santri itu kemudian menaruhnya di balik lipatan kopyah hitamnya.

Kyai Imron dan si santri melenggang pergi. Sedangkan mobil sedan yang ditumpangi Bakri dan Juleha keluar dari halaman rumah, berjalan pelan seperti ada beban berat yang menindih mobil itu. Beban di dada keduanya.

Keesokan harinya. Warga desa sebelah geger. Bakri dan istrinya dibegal. Mobilnya dibawa kabur kawanan perampok. Semua perhiasan emas yang dipakai Juleha dilucuti. Gelang, kalung, cincin dan anting-anting dibawa kabur perampok. Bahkan telinga Juleha berdarah seperti ada bekas tarikan paksa. Bakri hanya memakai sempak warna ungu. Tak hanya itu, keduanya dibuang di tepi hutan Jati dengan mulut dilakban dan kaki serta tangannya terikat. Bakri dan Juleha ditemukan warga yang sedang mencari kayu. Untungnya mereka masih hidup.

Tiga hari kemudian Bakri dan Juleha dibawa pulang ke rumahnya setelah dirawat ke rumah sakit. Kerabat dan keluarganya berkumpul di rumah mewah itu. Beberapa tetangga juga menjenguknya sekedar ingin tahu kondisi keduanya saat ini seperti apa. Bakri dan Juleha duduk tercenung di kursi ruang tamu. Suasana senyap. Mereka ingin mendengar keduanya bercerita. Tapi bisu.

Sampai kemudian seseorang mengetuk pintu rumah itu. Santri Kyai Imron mengucap salam. Setelah masuk di ruang tamu, santri itu menyodorkan sesusatu kepada Juleha. “Cincin ini dari Kyai Imron. Beliau berpesan semoga cincin ini bisa dibuat tambahan modal usaha…soal wc di surau sudah ada hamba Alloh yang memperbaikinya..” ujar santri itu lalu ijin pamit.

Bakri hanya melongo. Juleha menjerit. Keras menembus langit….@

Komentar
Loading...