Membaca Inskripsi Aksara Jawa di Gapura Munggah Ampel
REKAYOREK.ID Inskripsi beraksara Jawa pada Gapura Munggah di komplek Sunan Ampel, sangat penting bagi sejarah Surabaya. Komplek Sunan Ampel ini berada di kawasan Ampel Denta, sebuah desa perdikan kuno yang berada di antara sungai Pegirian dan Kalimas.
Inskripsi ini pernah dibaca oleh petugas museum Mpu Tantular pada tahun 2018. Hasil bacaannya berbunyi “Adhanawalewa Wawadha Arangu Asasawapa”. Menurut petugas museum Mpu Tantular inskripsi yang tergolong Sengkalan Memet ini berangka 1461.
Tapi sayang pembacaannya tidak diurut dari belakang yang mestinya 1641 Saka atau relevan dengan 1719 M.
Hal ini sempat menimbulkan kekurang yakinan atas pembacaan tahun 2018. Karenanya rajapatni bersurat kepada Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jatim agar dilakukan pembacaan ulang. Balasan surat dari pihak BPK XI hanya menyampaikan bahwa gapura itu adalah bagian Cagar Budaya dari masjid Ampel dan makam Sunan Ampel. Belum pada substansi permintaan pembacaan ulang atas inskripsi pada blandar kayu di Gapura Munggah.
Kala itu ada rencana meminta Abimardha Kurniawan, filolog dan sekaligus dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga. Belum sampai sempat memintanya untuk membaca inskripsi tersebut, ternyata dapat info dari seorang kawan pegiat sejarah klasik Surabaya Tepe Wijoyo yang mengabarkan bahwa inskripsi itu telah dibaca ulang oleh Abimardha Kurniawan yang hasil pembacaan dan sekaligus telaahnya dimuat di akun Facebooknya.
Hasil Pembacaan Abimardha Kurniawan
Pada 22 Januari 2025, Saya kemari (gapura Munggah) atas sebuah informasi seputar inskripsi dengan aksara Jawa pada ambang pintu gapura paduraksa ini. Orang-orang menyebutnya “Gapura Munggah”, gapura yang menjadi pintu masuk ke kompleks masjid dan makam Sunan Ampel dari sisi selatan.

Ada dua baris inskripsi pada ambang pintu berbahan kayu itu, namun yang masih memungkinkan untuk dibaca adalah baris pertama. Untuk baris kedua kondisinya lumayan aus. Tapi satu baris itu pun sudah cukup untuk menjelaskan kronologi gapura ini. Kalau ditransliterasikan mengikuti kaidah IAST (dengan ĕ untuk bunyi schwa atau “pĕpĕt” /ǝ/), jadinya: kĕrtiniṃpandhitavinayaṃ — — hiṃratu // haṃkaniṃvarsa // kĕrtining paṇḍita winayang ing ratu, angkaning warsa,
“perilaku pendeta dibayang-bayangi oleh raja”, angka tahunnya.
Kiranya, tidak ada bagian teks yang tertutup oleh plang putih yang bertuliskan “Ampel Suci” itu (– –). Dengan begitu, kita temukan sebuah kronogram bhūtasaṃkhyā yang kalau diuraikan menjadi kĕrti (4) paṇḍita (7) winayang (6) dan ratu (1). Jadi berangka 4761 sehingga kalau dibaca dari belakang menjadi 1674 dalam tarikh Jawa (antara 2 Desember 1748—10 Desember 1749), atau sezaman dengan masa akhir pemerintahan Pakubuwana II di Surakarta (1745—1749).
Komposisi kronogram ini sangat mirip dengan inskripsi dari Goa Surocolo, Bantul, Yogyakarta, yang sekarang tersimpan di Museum Nasional, Jakarta (D.148).
Kronogram dalam inskripsi Surocolo: kĕrtining panĕmbah winayang ing ratu (diplomatik: kṛtinniṃpannĕmbaḥvinnayaṃhiṃratu), 1624 tarikh Jawa (antara 18 Mei 1703—5 Mei 1704). Jadi, perbedaan antara keduanya terletak pada bilangan puluhan: paṇḍita (7) dan panĕmbah (2).
Inskripsi Goa Surocolo tersebut menandai jasa (yasa) Susuhunan Ratu Amangkurat (kiranya yang dimaksud adalah Amangkurat III atau Sunan Mas yang memerintah antara 1703—1705).
Sekian dulu. Kurang lebihnya mohon maaf. Nuwun.
Sejarah Penting Surabaya
Itulah hasil pembacaan filolog Abimardha Kurniawan tentang Gapura Munggah yang ternyata gapura ini menjadi penggalan cerita Sejarah Surabaya.
Prof Purnawan Basundoro yang berbicara sebagai Nara sumber dalam Forum Perangkat Daerah / Lintas Perangkat Daerah Dalam Rangka Penyempurnaan Rancangan Awal Rencana Kerja Dinas Perpustakaan dan Kearsipan kota Surabaya tahun 2025 di Convention Hall Siola jalan Tunjungan Surabaya pada 26 Februari 2025 mengatakan bahwa kita harus bisa menghidupkan sejarah (masa lalu). Menghidupkan dalam arti mampu menarasikan masa lalu (sejarah) agar dapat dimengerti oleh generasi sekarang
Ini ada kaitannya dengan rencana kerja Dispusip Kota Surabaya yang akan mengenalkan naskah naskah kuno termasuk manuskrip. Inskripsi Gapura Munggah juga layak menjadi obyek yang mampu mengungkap sejarah Surabaya.
Dari pembacaan terakhir oleh filolog Abimardha Kurniawan pada awal tahun 2025, Abimardha berhasil membaca yang maknanya bisa dimengerti. Yaitu berbunyi: “kĕrtining paṇḍita winayang ing ratu”, yang artinya “perilaku pendeta dibayang-bayangi oleh raja”.
Sengkalan Memet ini menunjukkan angka 1674 dalam tarikh Jawa atau relevan dengan antara 2 Desember 1748 – 10 Desember 1749), atau sezaman dengan masa akhir pemerintahan Pakubuwana II di Surakarta (1745—1749).
Secara literatur sengkalan yang berbunyi “kĕrtining paṇḍita winayang ing ratu” dapat dimengerti. Bahasa Jawa atas aksara Jawa ini bermakna. Karenanya, pada bagian gapura Munggah ini perlu dibuatkan papan informasi yang mentransliterasi aksara Jawa.
Sesungguhnya ini terkait dengan agenda Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya.@PAR/nng