Memoar Wartawan Biasa-Biasa #12
Hal-Hal Sepele di Seputar Kantor Perwakilan
Oleh: Amang Mawardi
Kantor Perwakilan Pos Kota Jawa Timur menghadap ke timur di Jalan Bubutan kembar (jalur cepat dan jalur lambat) yang jaraknya dari pertokoan Wijaya (sekarang mal BG Junction) sekitar 150 meter.
Kira-kira 4-5 rumah di sebelah kanan kantor kami terdapat jalan membujur barat-timur yang kalau tidak salah: Jalan Koblen Kidul. Di ujung utara jalan ini, di sebelah kanan, berdiri bangunan lumayan besar: kantor PN Garam.
Di samping kiri kantor ini, di Jalan Koblen Kidul, adalah got di pinggir sepanjang jalan tersebut.
Di atas got di samping kantor BUMN itu, berdiri warung yang menjual 3-4 menu masakan dan beberapa camilan. Samping kiri-kanan dan depan warung, ditutup dengan tirai kain.
Saya kalau maksi sering di warung ini. Kadang saya pesan untuk dikirim ke kantor. Salah satu menu favourit saya: nasi krengsengan.
Selain sering makan di warung ini, acara maksi saya lainnya, berjalan kaki ke arah timur, melewati kampung Temanggungan, sampailah di Jalan Baliwerti. Di situ ada penjual nasi goreng dan mie jawa yang bisa menggoyangkan lidah saya penuh gairah. Kadang pesanan nasi goreng, saya minta ditaburi irisan kol mentah.
Kembali ke warung di atas got tadi. Suatu hari saat saya sedang maksi, tak lama kemudian saya lihat seorang anak seusia 10 tahun menyibakkan tirai. Lantas anak berwajah –maaf– kampung ini, terlihat tolah-toleh, celingak-celinguk, sesekali menatapkan pandangan ke pemilik warung maupun yang lagi makan atau yang sekadar ngopi.
Barangkali, yang membedakan dengan anak-anak kampung sekitar situ adalah pakaian anak ini. Dia memakai kaos putih bersih (meski tidak putih sekali), bercelana pendek ketat menempel di perut serta paha dan…bersandal. Rambutnya klimis di-pomade. Tampak agak mentereng.
Kalau dianalogikan, sosok ini mungkin mirip komedian Sule waktu seusia dia. Kira-kira begitu gambarannya. Namun, anak ini terlihat agak cakep dikit.
Karena sikapnya agak aneh, lantas saya tanya: “Lapo, Le ?!” (Ngapain, Nak).
Dengan sikap ‘pede’ anak ini segera menjawab: “Paklik, kula tumbasaken jajan, paklik… “. (Om, saya belikan kuwe, om…).
Saya tertegun sejenak, lantas saya katakan : “Sudah, ambil sana! “, dalam bahasa Jawa.
“Sule” kecil itu segera menebarkan pandangan ke deretan piring-piring yang berisi jajanan di situ, lantas mengambil nagasari, disusul : “Suwun, paklik “. Lantas lenyap di balik tirai.
Sampai saat ini jika mengingat peristiwa itu, dalam benak muncul pertanyaan : “Iku anake sopo?” Anak siapa ini?
Apa mungkin anak dari luar kota nekad pergi ke Surabaya untuk piknik, lantas kehabisan sangu?
Atau jangan-jangan anak kampung sekitar situ yang orangtuanya PNS golongan rendah atau pegawai kantoran –maaf– yang level ‘low’ atau apalah.
Sikap ‘pede’ dan sepertinya di “luar kebiasan” itu yang lantas terekam di memori saya bertahun-tahun.
***
Di pinggir Jalan Bubutan, di bagian selatan, dan ujung utara Jalan Koblen Kidul terdapat 6-7 kios penjual obat.
Sebelum mendirikan kantor perwakilan, saat Pos Kota masih koordinatoriat –setelah Ivans Harsono dan saya diajak makan malam Pak Harmoko– beliau turun dari taksi dan membeli obat di salah satu kios di situ. Sementara, saya dan Ivans menunggu dalam taksi.
Rumah Ivans Harsono terletak di Jalan Yasan Praja, di belakang Jalan Bubutan, tetapi kalau tidak salah, masih ada 2-3 jalan lagi. Setelah itu, baru Jalan Yasan Praja. Mungkin, oleh karena itu Ivans hafal siapa-siapa pemilik kios obat beroda tersebut.
Tetapi ada sesuatu di luar pemikiran saya yang sifatnya motivatif.
Suatu hari Ivans Harsono agak jengkel. Saya lupa kejengkelan ini ditujukan kepada teman-teman redaksi atau pemasaran.
“Mungkin kita bisa bercermin dari sikap Pak Achmad sehari-hari. Beliau ini siapa sih. Tapi lihat sikap ‘pede’ dan ramahnya… ” kata Ivans.
Pak Achmad adalah salah satu penjual obat kaki-kaki lima yang paling mentereng tongkrongannya.
Sosoknya tinggi atletis, berkulit kuning, mengingatkan saya pada bintang film tahun 1970/1980-an Zaenal Abidin. Yang sedikit membedakan, Pak Achmad dahinya sedikit agak lebar dan tak berkumis.
Setiap berpapasan di jalan, Pak Achmad selalu mengangguk dan tersenyum ramah.
Tahu ‘outfit’ yang dikenakan beliau setiap hari? Baju bersih yang dimasukkan celana gelap bersih, sepatu mengkilap dan ber-jas tanpa dasi. Padahal beliau cuma penjual obat kaki lima. Saya pikir tidak salah kalau Ivans mengatakan itu.
***
Sebetulnya yang hendak saya paparkan ini tidak masuk hal “sepele” sebagaimana dua cerita di atas.
Depan kantor kami adalah pemberhentian bus kota. Banyak copet turun dan kumpul di situ, terutama setelah berhasil mencopet uang atau barang penumpang bus.
Kadang saya menganggap mereka bukan pencopet, tetapi rampok berkedok copet. Sebab, banyak para korban yang kebanyakan wanita, terpaksa turun di ‘stop bus’ itu, setelah dikepung dan dikeroyok kawanan pencopet dalam bus.
Definisi copet bagi saya adalah: mengambil barang orang lain dari pakaian atau bagian tubuh tanpa diketahui pemiliknya.
Mestinya turun di tujuan lain, karena terkepung dalam bus, para korban dan calon korban, sering turun di stop bus depan kantor kami. Eh…di bawah, di trotoar, sudah berkumpul komplotan pencopet lainnya, tapi masih di keroyok juga, akhirnya masuk ke bagian depan ruang kantor perwakilan yang digunakan usaha toko buku, foto copy dan stationery, yang lantas tembus ke ruang redaksi.
Benar-benar brutal!
Kalau sudah masuk ke ruang redaksi, mereka aman. Sesekali mereka kami ajak ngobrol dan suguhi minum.
Jika dirasa aman –setelah komplotan copet tadi naik ke bus kota untuk mencari sasaran lain– mereka yang berlindung di kantor kami, melanjutkan perjalanan ke tujuan, tentu tidak dengan naik bus kota.
Sesekali saya berdiri di trotoar depan kantor perwakilan yang tempat bus menurunkan penumpang itu, mendengar percakapan para pencopet.
Ada pencopet yang sangat muda, ngomong ke temannya: “Mosok kene sik durung oleh pelaris, wis dijaluki pak (dia menyebut nama).”
Maksudnya: dia belum berhasil menggaet duit atau barang penumpang, sudah dimintai duit oleh pak oknum bintara dari salah satu kesatuan yang backing pencopet-pencopet itu.
Pak oknum tersebut sering kalau ketemu saya, saling menunduk dan senyum.
Mungkin tahu kalau saya salah satu warga kantor dimana dia sering berdiri di depan situ.@