Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Memoar Wartawan Biasa-Biasa #13

Digerebeg

Oleh: Amang Mawardi

Suatu pagi lebih kurang pukul 08.00 di seputar tahun 1983-1984, seorang koresponden Pos Kota di Jawa Timur, hadir sebagaimana setiap pagi di kantor perwakilan untuk selanjutnya melaksanakan tugas-tugas harian.
Yang (hendak) saya ceritakan ini tentang peristiwa yang dialaminya semalam.

Sedikit saya beri background tentang dia : ibunya berasal dari Sulawesi Utara, ayahnya dari NTT.

Tubuhnya tidak bisa dibilang kecil, tapi tidak juga besar. Yang tepat, barangkali: mendekati sedang. Namun, kebesaran jiwanya menenggelamkan hal-hal yang berkaitan dengan idealisasi perkara proporsi tubuh.

Yang jelas, sosok ini punya kepribadian kalem, ramah — tapi tetap dalam koridor ngomong seperlunya, bijak menempatkan diri, dan : smart!

Pada awal tahun 1980-an, dia memenangi perhargaan jurnalistik sebagai juara utama tentang bahaya kenakalan remaja bagi sendi-sendi negara dengan fokus studi kasus beberapa perkara di Pengadilan Negeri Surabaya.

Baru pada tahun berikutnya PWI Jawa Timur memberi penamaan pada juara utama jurnalistik dengan : Anugerah Prapanca.

Konon, Empu Prapanca (Dang Acarya Nadendra) dikenal sebagai pencatat sejarah Kerajaan Majapahit yang hidup pada abad ke-14 sebagaimana tertulis pada kakawin Negara Kertagama.

Peraih Anugerah Prapanca pertama Maria Andriana jurnalis LKBN Antara, juga alumnus Akademi Wartawan Surabaya (AWS) sebagaimana sosok yang menjadi bagian dari serial saya ini.

Pada suatu kelak, Mbak Andri menjadi koresponden Antara di Tokyo selama empat tahun.

Kembali pada sosok yang sedang fokus saya tulis, dia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa AWS.

Saat bertugas di Jakarta di harian Pos Kota selama tiga bulan –ketika saya mengurus kartu anggota PWI pada tahun 1978 dan mampir di kantor pusat– lantas oleh sosok ini diajak tidur di rumah Om-nya di Depok dimana di seputar situ seingat saya banyak saya temui pohon-pohon besar yang boleh jadi adalah pohon kenari.

Setelah meletakkan jaketnya di sandaran kursi, dilanjut duduk berseberangan dengan posisi duduk saya yang dibatasi meja, lantas dia bercerita:

“Mang, kemarin di rumah (dia menyebut nama pacarnya) ada aneh-aneh… ”

Mendengar awal ceritanya, saya agak mengerenyitkan dahi, terutama yang menyangkut kosakata ‘aneh-aneh’ yang buat saya memang agak “aneh”.

“Aneh-aneh gimana?”

Lantas dia bercerita bahwa sekira tiga jam sehabis mengantarkan pacarnya pulang di kawasan Kampung Malang, Surabaya — rumah pacarnya didatangi pemuda-pemuda kampung.

Tentu orangtua dan pacarnya kaget bukan main-main. Apalagi saat itu mereka sudah pada tidur.

Ternyata, pemuda-pemuda kampung itu menganggap tidak sopan karena pacaran sampai larut malam.

Baru pacar dan keluarganya ‘ngeh’.

Cerita sebenarnya: sehabis mengantar pacarnya pulang sekira jam 9 malam, motor ditinggal di samping rumah karena ada masalah pada mesin, sudah tidak mungkin mencari bengkel motor yang masih buka. Lantas dia pulang naik angkutan umum ke rumahnya di kawasan Darmo Kali.

Jadi, begitu duduk perkara kenapa rumah pacarnya digerebeg sejumlah pemuda kampung malam itu, gara-gara mas-mas ini melihat motor Honda gelatik masih parkir di samping rumah.

Setelah sekian tahun berkarier di Pos Kota sebagai koresponden, dia nyambi sebagai penyiar radio.

Pada sekian tahun kemudian, sosok ini makin moncer kariernya di dunia broadcast. Boleh jadi, dialah pelopor jurnalisme radio di Tanah Air. Atau paling tidak salah satunya.

Dia menjadi dosen terbang jurnalisme radio. Juga, diundang ke mana-mana, baik di dalam maupun luar negeri sebagai pembicara. Dan, seingat saya, dua kali sosok ini mengenyam pendidikan jurnalisme radio di Amerika Serikat.

Ketika sosok ini meninggal dunia lebih kurang dua tahun lalu dalam usia 63, netizen di fesbuk selama seputar seminggu membicarakan prestasi dan kebaikan-kebaikannya.

Saya teringat ucapan wartawan dan penyair Toto Sonata, “Cobalah Anda tampilkan sosok lain untuk kita ‘rasani’, ada saja kelemahan-kelemahan pada dirinya. Namun, tidak pada diri yang sedang kita perbincangkan ini.”

“Mungkin ada,” lanjut Toto. “Tapi saya sulit menemukan kelemahan pada dirinya. Dia ‘humble’, cerdas, dan telaten menekuni dunia ‘broafcast’ radio,” ujar penulis buku ‘Meniti Jalan Tasawuf’ ini.

Teman-teman jurnalis di Surabaya, pasti sudah tahu arah tulisan saya ini. Siapa? Ya, betul: Errol Jonathans, Direktur utama Radio Suara Surabaya! @

Komentar
Loading...