Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Memoar Wartawan Biasa-Biasa #30

Cita-cita Saya Jadi Pengarang, Bukan Wartawan (Seri ke-2)

Oleh: Amang Mawardi

Apa yang harus saya mulai sebagaimana tindak lanjut quote di majalah Monitor itu bahwa orang-orang sukses biasanya orang-orang yang berani memulai sesuatu yang baru?

Saya harus kuliah untuk menunjang cita-cita saya yang sejak lama saya obsesikan: menjadi pengarang!

Untuk itu akan lebih afdol jika dibarengi pengetahuan berbahasa Inggris. Sebab dari bahasa itulah saya akan mengenal seluk beluk sastra dunia. Apalagi jika mengingat, nilai ujian Bahasa Inggris saya di SMP: 9 (sembilan).

Pernah suatu saat saya punya pikiran, kalau tabungan saya sudah terkumpul cukup, saya akan ngontrak rumah kecil. Rumah itu akan saya jadikan toko meracang (sembako). Lantas saya beli mesin tik bekas.

Sambil menunggu warung, saya selingi dengan ngetik puisi, cerpen atau novel. Keren ‘kali ya.

Setelah keputusan untuk kuliah, saya mulai rajin menabung. Pendapatan Rp 1.440 seminggu dimana yang separuh saya berikan Ibu, selanjutnya separuhnya lagi mulai saya tabung.

Dari sisa separuh yang saya serahkan Ibu –yang biasanya saya gunakan nonton bioskop Bahari Jaya di Pacarkeling, makan bakso kotak depan gedung bioskop itu, atau nonton sandiwara non-stop review Lokaria di THR, selanjutnya saya abaikan. Benar-benar puasa nonton dan njajan.

Pernah Mas Wid kakak saya yang sering meminjamkan sepeda, ngomong pinjam duit tabungan saya untuk keperluan rumah-tangganya, saya abaikan — demi ngebetnya saya pingin kuliah. Saya katakan bahwa duit tabungan saya sudah tidak ada, karena sudah saya pergunakan untuk suatu keperluan. Padahal tidak sepenuhnya habis, masih ada sebagian. Kalau ingat itu, hati saya seperti teriris. Kok bisa ya saya punya tindakan setega itu…

Perguruan tinggi yang jadi bidikan saya, akhirnya saya putuskan yaitu IKIP Sastra Inggris (ekstension) yang kuliahnya sore hari di Jalan Genteng Kali (sekarang Kementerian Pendidikan Kanwil Jatim).

Pada suatu sore saya datangi kampus itu. Saya temui tenaga administrasinya. Ternyata untuk tahun depan, jurusan Sastra Inggris akan ditutup. Sementara tahun kuliah saat itu, tengah berjalan. Namun, jurusan lainnya masih dibuka.
Kecewakah saya? Rasanya tidak.

Lantas saya ubah ke Plan B: Akademi Wartawan Surabaya (AWS). Tak ada rotan, akar pun jadi. Asal rotan itu tetap saya anggap kuat. Toh jika nanti saya jadi wartawan, masih dekat dengan dunia kepengarangan. Sama-sama dunia literasi.

Saya lantas teringat Tiny Frida teman teater ketika sama-sama aktif di Teater Aksera (Akademi Seni Rupa Surabaya) yang anggotanya tidak saja mahasiswa akademi tersebut, tapi juga para pelajar SLTA.

Tiny Frida di kalangan sastrawan Surabaya cukup dikenal. Dia cerpenis produktif.

Saat itu Tiny mahasiswi tingkat I AWS.

Intinya, saya ingin tahu banyak tentang AWS.

Bagaimana cara ngontak Tiny, sementara saya pagi sampai sore harus kerja. Ngontak via telepon? Telepon siapa? Telepon umum? Saat itu belum ada. Rumah Tiny pun tak ada telepon. Dan yang lebih utama, ini: Bagaimana cara menelepon? Caranya pun saya tidak tahu. Bener ini!

Akhirnya saya bikin surat. Surat saya titipkan Bambang pacar Ani Rukmawati. Dan Ani adalah adik R yang dulu mengabaikan cinta pertama saya saat duduk di STM II (Kimia Industri) Surabaya.

R tinggal sekelurahan dengan rumah saya, cuma beda kampung. Jaraknya kira-kira 200 meter. Di situ Bambang sering ngapeli Ani Rukmawati.

Bambang dan Ani teman sekelas di STM II (Kimia Industri) Surabaya. Mereka adik kelas Fitriansyah kakak Tiny Frida.
Oia Fitri ini laki-laki, dulu teman sekelas saya. Tapi tinggal kelas.

Sekian puluh tahun kemudian dalam acara reuni, Fitri bilang: “Saya dulu tidak naik bukan karena goblog, tapi nakal. Mbolosan… ”

Saya pikir Fitri benar. Setelah lulus STM kimia itu, dia diterima sebagai karyawan Petrokimia, Gresik, bersaing dengan ribuan pelamar dalam tes yang ketat.

Isi surat yang saya titipkan ke Bambang dan diteruskan ke Fitri untuk diberikan Tiny, saya ingin mengetahui seluk beluk AWS dan syarat-syarat memasukinya.

Jawab Tiny dalam balasan surat yang kalimatnya terstruktur rapi, intinya tak bisa menjelaskan secara panjang lebar. “Lebih baik Anda datang ke kampus. Nanti saya jelaskan,” tulis Tiny.

Sore itu dengan sepeda pinjaman milik Bulik saya (beliau dengan suaminya tinggal di kamar belakang), sesudah pulang kerja, saya menuju Jalan Kapasari 3-5 : kampus AWS.

Saya diterima Tiny, dan duduk di plengsengan depan ruang kelasnya.

Setengah jam kemudian saya diantar ke Pak Tarip kepala tata usaha. Dijelaskan, uang gedung dipatok Rp 15.000. Tes kuliah akan dimulai sekitar 6 bulan lagi. Tabungan saya sudah terkumpul sekitar Rp. 4.000. Masih ada kesempatan untuk nabung lagi, meski harus sangat intens untuk mencapai Rp. 15.000 itu.

Kembali ke Potroagung ke “Kampus Wismilak” (he-he-he). Suatu hari saya dipanggil untuk ‘meeting’ di aula. Di situ ada Pak Tommy GM Wismilak yang atlet anggar nasional, beberapa staf Wismilak dan PT Wing On, serta sejumlah teman senior yang wanita dari bagian pelintingan.

Ternyata ‘meeting’ rapat Peringatan 30 Tahun Hari Kemerdekaan R.I.

Karena angka unik ’30 tahun’ itu, maka peringatan HUT Kemerdekaan di Wismilak dan seluruh Tanah Air, diperingati meriah dibanding sebelum-sebelumnya.

Maka di Wismilak perlu diadakan upacara Agustusan, berbagai lomba, tari-tarian, band & nyanyi — dimana puncak acara (resepsi) akan diselenggarakan di aula Wismilak. Semua dilakukan oleh karyawan, kecuali pemain melodi yang anak kepala bengkel Wismilak.

Saat latihan, ada gadis dari bagian pelintingan yang menyanyikan lagu ‘Sepanjang Jalan Kenangan’ yang biasa dinyanyikan Teti Kady. Dia bagian dari team musik. Saya kebagian pegang perkusi bongo merangkap MC.

Suaranya boleh juga. Agak datar tapi merdu.

Mbak ‘Sepanjang Jalan Kenangan’ ini usianya sekira 18 tahun. Saya saat itu 22 tahun. Tinggi tubuhnya sekira 155 sentimeter. Kulitnya kuning, ada ‘gingsul’ di salah satu giginya. Kalau pas latihan, rambutnya beberapa kali dikepang dua. Karena sering ketemu, timbul simpati.

Ternyata ‘si kepang dua’ ini tinggal di gang 2, sementara saya di gang 1 — di kampung Gersikan, Kelurahan Pacarkeling itu. Pantas saya seperti pernah tahu wajah ini.

Pernah sekali saya ke rumahnya yang kecil tapi bersih. Setelah itu tidak pernah lagi. Entah karena apa, saya lupa. Mungkin dia sudah punya pacar.

Mudah-mudahan bukan lantaran dia cuma lulusan SD. Betapa merasa bersalahnya saya kalau hanya untuk alasan itu. Boleh jadi, saya masih terobsesi R, teman sekelas dulu.@

Komentar
Loading...