Memoar Wartawan Biasa-Biasa #30-Habis
Cita-cita Saya Jadi Pengarang, Bukan Wartawan (Seri ke-3)
Oleh: Amang Mawardi
Aktivitas Team Musik dan Tari Wismilak ternyata tidak berhenti pada peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-30, tetapi masih dilanjut –misalnya– ikut mengisi acara yang ada hubungannya dengan serikat buruh.
Pada suatu malam, para perwakilan serikat buruh se-Surabaya berkumpul di Hotel Ramayana Jalan Basuki Rachmad, Surabaya. Saya lupa dalam rangka apa. Peringatan Hari Buruh? Ulang Tahun Serikat Pekerja? Gak tahu, lupa saya. Kejadiannya sudah hampir 50 tahun lalu.
Yang jelas, team kesenian Wismilak malam itu menyajikan musik dan tari-tarian. Team ini lebih selektif dibanding saat peringatan hari kemerdekaan tempo hari. Penyanyinya dikurangi, demikian juga nomor-nomor tari yang disajikan. Saya masih tetap pegang bongo dan MC.
Malam itu ada MC lagi selain saya. MC yang ini perannya jauh lebih banyak. Namun, bagi saya yang sedikit peran, sudah membuat begitu bangga.
Bayangkan, saya yang anak kampung, cuma lulusan STM, bisa berdiri di depan pejabat Tingkat II Departemen Tenaga Kerja dan para tokoh buruh, kendati cuma berperan sebagai “Co-MC”. Apalagi tampil di hotel berbintang yang pertama kali saya masuki.
Bercelana gelap, berbaju putih lengan panjang dan berdasi, begitulah ‘outfit’ saya saat itu: Keren, Lur ! Ditambah rambut klimis hasil polesan minyak rambut Lavender. Wow!
Yang lebih bangga lagi, di acara itu saya ketemu Djoko Pratomo salah satu dramawan beken di Surabaya. Djoko yang asal Lumajang ini, sering dipanggil dengan Djoko Supo.
Ternyata Mas Supo perwakilan buruh Gas Asam Arang.
Saya pikir perasaan dan tindakan saya saat itu bukan kesombongan, tapi bangga dan senang yang membuncah.
Namun sesudah itu, saya harus kembali pada realitas bahwa saya cuma buruh harian PT Wing On yang anak perusahaan pabrik rokok Wismilak. Lantas, timbul lagi perasaan kecewa campur mangkel lantaran perlakuan “diskriminatif”.
Boleh jadi saya kelewat baper soal “diskriminatif” ini. Orang lain mungkin menganggap biasa.
Contoh: karyawan bulanan keluar masuk pintu gerbang tidak digeledah seluruh tubuh, tapi berbalik dengan karyawan harian. Meski kadang saking rutinnya, tangan Pak Keamanan cuma nempel-nempel doang.
Yang “bulanan” dapat makan siang, “harian” tidak. Tentu, perolehan pendapatan juga beda. Padahal kerjanya sama beratnya.
Maka itu, lantas timbul tekad: saya harus berani memulai sesuatu yang baru!
Saatnya tiba mengikuti ujian masuk ke AWS.
Saya termasuk yang lulus di antara sekitar 50 orang yang diumumkan. Perasaan saya, dulu yang ikut ujian masuk ya segitu jumlahnya. Berarti lulus semua.
Apakah tabungan saya sudah terkumpul Rp 15.000 untuk membayar uang gedung? Justru yang 6 bulan lalu Rp. 4.000, malah berkurang jadi Rp. 3.000.
Tapi saya malah bilang ke Pak Tarip kepala tata usaha AWS uang saya cuma Rp. 2.500. Ya yang Rp. 500 untuk simpanan saya.
Sesudah melalui diskusi yang tidak rumit, Pak Tarip bilang: “Ya, sudah gak papa, yang penting tiga bulan kemudian uang gedung harus lunas.”
Hari pertama kuliah jumlah mahasiswa yang masuk cuma sekitar 30 orang. Kemana lainnya?
Mungkin diterima di perguruan tinggi lain, lagi berhalangan, atau barangkali sedang lembur kerja.
Banyak mahasiswa se-angkatan saya –1975– yang usianya di atas 30 tahun, di antaranya Maga Syahiran (staf humas Pemprov Jatim), Soleman (karyawan Jamu Iboe), dan seorang anggota Polri dengan pangkat letnan satu yang saya lupa namanya.
Teman-teman sering menggodanya: “Iki opo, Pak. Uleg-uleg (ulegan) yo?…” sambil menunjuk-nunjuk salah satu pinggang polisi yang nampak sedikit menonjol.
Kalau sudah “kesal” lantaran diguyoni, polisi asal NTT ini lantas mencabut “ulegan”-nya, dan meletakkannya di atas meja dosen, “iki lho uleg-ulege… ” disertai rentetan tawanya dan disusul tawa yang lain. Tentu saja, saat itu belum ada kuliah. Dosen berhalangan mengajar atau telat hadir.
Mahasiswa yang polisi ini dikenal ramah. Entah karena sering absen, saat saya di tingkat II sudah tidak lagi kelihatan sosoknya. Mungkin mendapat promosi ke lain daerah.
Saat minta izin seminggu lantaran mengikuti orientasi mahasiswa, Pak Pek yang Dirut tidak keberatan. Tentu saja seminggu itu pula saya tidak terima bayaran.
Waktu masuk kembali, saya disewoti Tante Pek. Padahal saya sudah izin suaminya. (Waktu itu sudah timbul rasa heran: bukan perusahaan keluarga kok bisa ya suami-istri sama-sama bekerja di perusahaan yang sama).
Sedikit saya beri gambaran: Pak Pek sosoknya tinggi semampai, ganteng, tegas, ramah, selalu mengenakan pakaian serba putih, dan senantiasa bersandal kulit. Rokok tidak pernah lepas dari bibirnya.
Sedangkan Tante Pek –maaf– mirip wanita Tionghoa yang tinggal di kampung. Rambut agak keriting, tinggi besar, selalu mengenakan rok terusan di bawah lutut, nyaris tanpa make-up. Juga, cuma bersandal. Pokoknya Tante Pek ini “antitesa” dari Pak Pek.
Kalau Tante Pek sudah mulai menginspeksi, baik bagian saya (‘metalizing’), penggergajian, atau bagian lainnya, suasana seperti tersirep. “Awas he…Tante Pek lewat. Awas…” Begitu teman-teman memberi isyarat.
“Kemana saja kamu lama tak terlihat…” begitu teguran Tante Pek. Lantas saya jelaskan apa adanya. Dan dengan tambahan bahwa saya sudah izin Pak Pek.
Saya berharap ada sedikit simpati dan kekaguman terhadap seorang buruh harian yang punya greget untuk maju, nyatanya datar-datar. Setelah penjelasan saya itu, Tante Pek berlalu begitu saja.
Ada staf karyawati termasuk baru di bagian saya. Sosoknya cantik, tinggi semampai. Dari wajahnya menunjukkan blasteran Tionghwa-Bule. ‘Tacik’ ini baru saja lulus dari Universitas Widya Mandala.
Tahu saya gundul ‘crew cut’ dan barusan tidak masuk seminggu, lantas didekati, diajak ngobrol, antara lain ditanya, “Baru ikut Posma ya…?” dan lain-lain.
Meski tak ada senyum keluar dari ‘tacik’ ini, saya menangkap ada simpati muncul dari dalam dirinya.
Walau saya tidak masuk seminggu dan nihil bayaran (namanya saja buruh harian), saya mendapat duit yang jumlahnya lebih besar dari uang bayaran seminggu.
Ceritanya –saat Posma, dari para senior– kami ditugasi berjualan koran hasil sumbangan sejumlah perusahaan koran yang ada di Surabaya. Saya lupa berapa kami harus setor ke para senior pembina Posma per ekslemparnya. Macam-macam harganya, tergantung banyaknya halaman. Jelasnya, tidak mahal. Harga koran harian per ekslempar saat itu kira-kira Rp 5. Kami boleh menjual di atas harga pokok.
Oleh para senior kami diberi waktu dalam 3 jam koran sejumlah lebih kurang 15 ekslempar harus habis. Dan itu berlangsung selama Posma berjalan: 5 hari.
Meski saat SD saya pernah berjualan layangan, dan saat SMP berdagang keliling kuwe dan mercon (di Pasar Blauran) gamang juga mendapat tugas itu.
Ada beberapa teman yang koran jatahnya dibeli sendiri. Atau dibeli sebagian, lantas disisakan 2-3 eklempar, seolah-olah sudah berjuang keras menyelesaikan tugas itu.
Saya sempat mikir, “Apa ya harus saya beli sendiri koran-koran ini? Lha duitnya?”
Akhirnya saya dan 3-4 teman se-Posma mencoba tidak menyerah. Kami petang itu bergerak menuju THR yang jaraknya dari kampus cuma sepelemparan batu. Yang saya ingat dari rombongan kami cuma Rumlina Hutabarat. Lain-lainnya siapa ya? Tatang? Tipuk? Sudjiman? Lupa saya.
Di THR ada yang berjualan bersama-sama, tapi saya memilih sendirian.
Ketika memasuki deretan rumah-rumah makan yang ada di bagian utara kompleks THR ini untuk menjajakan koran-koran jatah saya, ternyata tak sesusah yang saya bayangkan.
Kebanyakan tak ada yang menolak. Mereka empati pada mahasiswa yang lagi “diplonco” ini. Banyak yang memberi berlebih.
Bahkan ada anak muda parlente seusia saya saat di salah satu rumah makan di situ yang membayar koran saya dengan lima ratus rupiah!
Makanya saat Posma berakhir, terlintas di pikiran, ‘mestinya Posma itu 10 hari, bukan 5 hari.’ Masalahnya duit dari berjualan koran di Posma untungnya sangat-sangat banyak.
Setelah itu, jam aktivitas saya nyaris sehari penuh. Pukul 06.30 – 16.00 bekerja, 17.00 – 20.30 kuliah.
Jam 4 sore saat bel pulang berbunyi, saya bergegas ke toilet buruh pelintingan yang jaraknya lumayan jauh dari bagian saya, sekitar 200 meter.
Tidak mungkin saya mandi di toilet-toilet PT. Wing On yang kotor dan berdebu lantaran hamburan serbuk gergaji yang letaknya berdekatan dengan divisi penggergajian. Toilet di sini cocoknya hanya untuk kencing.
Tentu saja untuk memasuki deretan toilet buruh pelintingan, saya harus mengendap-endap. Kalau ketahuan, bisa diusir.
‘Onok wong lanang melbu kene, iki sopo’, begitu sekiranya ketahuan. Saya bayangkan, lantas saya diurak, diusir-usir oleh para mbak di situ.
Kadang “kompleks” toilet ini sepi disebabkan tidak ada garapan, jam dua siang para buruh linting dipulangkan.
Manakala lupa tidak bawa sabun, seringkali tangan saya meraba-raba lubang angin, siapa tahu ada sabun disembunyikan di situ. Kadang bukan sabun mandi yang saya temukan, tapi sabun cuci. Hii…barusan buat nyuci apa yaa. Tapi acuh aja, yang penting tubuh saya bersih tak berminyak.
Setelah itu jalan kaki menuju kampus yang jaraknya sekitar 3 kilometer. Atau kalau punya duit, naik bemo ‘Len O’.
Begitulah “ritual” saya setiap hari, sampai akhirnya saya diterima di Harian Pos Kota atas rekomendasi Ivans Harsono yang ketua Senat Mahasiswa.
Dua tahun sudah saya bekerja di PT Wing On dengan segala romantisme problematika.
Di sela-sela pekerjaan di situ, saya sempat menghasilkan beberapa puisi dan dua esai yang dimuat di koran lokal Harian Bhirawa dan di surat kabar Ibukota Harian Merdeka edisi Minggu.
Puisi saat itu tak ada honornya, tapi esai yang dimuat di lembar budaya Harian Bhirawa misalnya, honornya Rp. 500.
Saat saya beritahu pada jam istirahat mau menguangkan wesel honor saya, teman-teman di bagian saya pesan, “Ojo lali mulihe tuku seger-seger (maksudnya kuwe/penganan).”
Ada pendapat menggelitik ketika saya mulai berkarier di Pos Kota, di antaranya dari Peter Apollonius Rohi mantan ketua Senat Mahasiswa AWS.
“Mestinya Amang itu bukan di Pos Kota, tapi di Kompas atau Surabaya Post,” kata Peter yang lantas menambahkan, “Pos Kota bukan habitatnya… ” Kalau diproyeksikan ke terminologi sekarang: Pos Kota bukan DNA saya.
Sebagaimana banyak kalangan pers tahu, Pos Kota dikenal sebagai “koran keras”, sarat berita-berita kriminal. Dan itu dianggap tidak cocok dengan ‘background’ saya yang berkomunitas sastra dan seni.
Tapi bagi saya, keluar dari “penjara keminderan” sebagai buruh harian menuju dunia jurnalistik yang sarat apresiasi (setidaknya untuk saat itu) adalah anugerah yang luar biasa.
Seandainya bisa diulang, saat saya diterima sebagai koresponden Pos Kota seputar 40 tahun lalu, saya akan berkata: “Halooo dunia jurnalistik… Iam coming!”.@