Memoar Wartawan Biasa-Biasa #30
Cita-cita Saya Jadi Pengarang, Bukan Wartawan (Seri ke-1)
Oleh: Amang Mawardi
Sebagaimana pernah saya singgung pada serial tulisan saya sebelumnya, sejak duduk di bangku STM II (Kimia Industri) Surabaya, saya hobi menulis puisi yang disiarkan di Radio Rajawali dan dimuat di koran lokal Surabaya seperti di Harian Jawa Pos, Harian Bintang Baru, Mingguan Pelita Kota dan Mingguan Surabaya Express.
Apalagi setelah saya bergabung dengan grup diskusi sastra “Sanggar ‘6 Januari ’73”, dunia literasi genre fiksi ini telah begitu menyita aktivitas masa remaja saya.
Sebagaimana masa remaja lainnya dimana saat itu lagu-lagu populer yang didengungkan Koes Plus, Panjaitan Bersaudara, Peter Wood, Eddie Preregina dan sejumlah nama lainnya, saya pun “terbius” pesona musik dan selebrasinya.
Namun, nama Chairil Anwar, Asrul Sani, Rendra, Taufik Ismail, Yudhistira Ardinugraha, Suwarno Pragolapati, dan sejumlah nama sastrawan lainnya, juga begitu mengesankan saya.
Saat ujian yang waktu itu saya mendapat lokasi di ruang laboratorium, menjumpai soal yang susahnya bukan main. Akibatnya cuma saya ‘penthelengi’.
Lantas kertas buram untuk orak-orek mengkalkulasi, saya tulisi ‘sastra sastra sastra sastra dan seterusnya’ hingga mengisi seperempat halaman kertas buram itu.
Bu Siti Asiati guru Kimia Organik yang saat itu sedang berjalan mengelilingi ruang tersebut dalam rangka mengawasi, berhenti di sisi kanan saya dan memperhatikan orak-orek tersebut, kemudian: “Apa itu…?”
Saya sedikit mendongak menatap wajah Bu Situ dan mengatakan dengan pelan: “Enggak apa-apa, Bu…”
Lantas Bu Siti tersenyum dan melanjutkan inspeksinya.
Boleh jadi Bu Siti tahu hobi saya di dunia sastra saat itu.
Setelah dinyatakan lulus, 3 bulan kemudian saya diterima bekerja di PT Wing On anak perusahaan Pabrik Rokok Wismilak di kawasan Potroagung, di bagian (semacam) laboratorium.
Kenapa saya katakan ‘semacam’, karena tugasnya cuma nyampur-nyampur laker (cairan bening kental) untuk mendasari barang-barang plastik yang nantinya diubah dengan cara disemprot pakai cat warna emas, atau di-metalizing — dimasukkan dalam tabung besar– lantas di-vacuum sebagai bagian dari proses pemerakan (di-perakkan).
Jadi tidak ada proses analisa sama sekali. Maka itu saya katakan ‘semacam’ laboratorium.
Di situ saya cuma buruh harian. Gajinya sehari Rp 120 ditambah dapat dua bendel rokok Wismilak afkiran (1 bendel=10 batang).
Dua bendel Wismilak ini lantas masing-masing per bendelnya saya bungkus menyerupai bentuk bungkus rokok dengan kertas sampul warna coklat. Kemudian saya jual ke kios-kios rokok dengan harga per bungkusnya Rp 60.
Bukan perkara sulit untuk menjual rokok-rokok afkiran ini. Banyak kios rokok yang mau membeli.
Rasanya ya sama dengan Wismilak dalam bungkus asli. Bedanya batangan rokok itu pada kerapian hasil proses pelintingan.
Jadi, bayaran saya sehari di situ jika ditotal Rp 120 + Rp 120 (hasil penjualan jatah 2 bendel rokok) = Rp 220. Kalau dalam seminggu tak ada absen, saya menerima bayaran Rp 1.440.
Jam kerjanya 06.30 – 16.00, dengan istirahat setengah jam.
Biasanya orang kerja 07.00 – 15.00 jika sesuai peraturan ketenaga-kerjaan.
Ternyata pada kemudian hari saya baru ngerti kalau hitungan jam kerja di anak perusahaan Wismilak yang terletak di area pabrik rokok itu, memang kelebihan jam kerja. Dan itu sudah dimasukkan pada hitungan lembur.
Demi ngirit, untuk makan siang, saya oleh Ibu dibontoti nasi secukupnya dan diberi lauk kukus putih telur yang dimasukkan ke dalam sebuah rantang lantas dibungkus kain serbet.
Lauk kukus putih telur? Emang ada?
Ceritanya begini:
Di sebelah kanan rumah ortu saya di kawasan Kelurahan Pacarkeling, sebelah kanan selisih satu rumah, adalah rumah Pak Niti.
Rumah Pak Niti lebih kecil dari rumah kami, tapi halaman rumah Pak Niti sangat luas.
Pada puluhan tahun kemudian, tanah Pak Niti dikaplingi dan dijuali. Di situ sekarang berdiri 10 rumah seukuran tipe 36.
Pak Niti punya menantu, saya biasa manggil Mas Nadim (istri Mbak Titik anak angkat Pak Niti).
“Anak” Pak Niti&Bu Niti cuma satu, ya Mbak Titik itu.
Mas Nadim & Mbak Titik lantas membangun rumah di sebagian halaman belakang yang waktu itu masih banyak pohon gayam, mangga, jambu, rumpun bambu, dan kebun ubi jalar.
Areal tanah Pak Niti di bagian belakang dikelilingi kolam berbentuk huruf ‘U’. Saya sering mancing ikan betik dan gabus di situ.
Nah, Mas Nadim & Mbak Titik punya usaha rumahan membuat kuwe macam lemper, nagasari, kuwe tok, dan masih banyak lagi.
Industri kuwe rumahan ini saya kategorikan menengah ke atas. Lantaran bukan dititipkan di warung-warung, tapi di toko-toko kuwe besar.
Tentu selain tepung, gula, dan komponen lainnya sebagai bahan membuat kuwe, ada juga telur.
Nah, telur ini hanya diambil kuningnya. Putihnya ditampung di puluhan rantang yang lantas dijual ke tetangga dengan harga sangat murah.
Ibu saya termasuk salah satu pembeli. Putih telur dalam rantang lantas dikukus. Setelah itu dipotong jadi empat, dan yang seperempat itu diletakkan di atas rantang nasi bontotan saya.
Begitu “ritual” makan siang tiap hari. Sesekali saja dikombinasi dengan lauk lainnya.
Saya masuk ke industri ini atas jasa baik ibu mertua mbak saya. Saat saya bertandang ke rumah mbak saya, ditanya “sudah kerja apa belum (setelah tiga bulan lulus STM II)?”
Saya jawab, “Belum, Mbah… ”
“Sebentar ya, nak Amang… ”
Lantas Mbah Mi (panggilan ibu mertua mbak saya) bergegas ke bagian belakang depan rumah. Di situ tempat kos banyak wanita buruh pabrik Wismilak. Jarak rumah mbak saya ke Wismilak sekira 250 meter.
Lantas Mbah Mi kembali menemui saya: “Temui sekarang Mbak (saya lupa namanya, sebut saja ‘Wati’). Dia punya koneksi orang penting di Wismilak… ”
Saat itu juga saya temui Mbak Wati yang disebut Mbah Mi tadi.
Intinya saya disuruh bikin surat lamaran, lantas temui Pak Gunawan. Mungkin anak perusahaan Wismilak yang belum lama berdiri, masih butuh karyawan.
Keesokan hari, saya berangkat ke Wismilak, dengan membawa map berisi surat lamaran berikut lampiran-lampiran penunjangnya.
Setelah melapor ke satpam (tahun 1974 seingat saya satpam belum berseragam putiih-biru atau coklat-coklat seperti sekarang) disertai menyebut nama ‘Wati’ yang kos depan rumah mbak saya itu.
“Penting ini, Pak,” kata saya yang tak mengatakan terus terang kalau mau melamar pekerjaan.
“Silakan masuk,” kata Pak Satpam yang kalau lihat logatnya seperti dari Indonesia bagian Timur.
Setelah itu saya disuruh nunggu di ruang dalam poliklinik yang hari itu sedang tidak buka; bukanya seminggu cuma dua kali.
(Pada kemudian hari, teman-teman di bagian kerja saya sehabis periksa di poliklinik ini, seringkali berkata dengan setengah kecewa : “Opo… cuma dikasih obat, gak disuntik.” Bagi mereka –dan mungkin saya waktu itu– disuntik lebih manjur daripada cuma diberi obat…wkwkwk…).
Tak lama kemudian dari arah selatan berjalan pelan sosok bertubuh tinggi atletis menuju poliklinik. ‘Ini mungkin Pak Gunawan…’, saya membatin.
Benar, ternyata Pak Gunawan.
Setelah mengutarakan maksud saya dengan menyebut nama ‘Wati’ yang merekomendasi, Pak Gunawan berkata: “Siapa ya Wati itu…?” dengan kalem. Eladalah!
Rupanya nama ‘Wati’ cuma dikenal Pak Satpam, tapi tak dikenal oleh Pak Gunawan.
Namun, map surat lamaran saya geser, saya dekatkan ke posisi Pak Gunawan.
“Maaf ya, Mas. Perusahaan kami sudah tidak menerima karyawan… “.
“Tolong, Pak. Saya butuh kerja…”.
Lantas dengan cepat map saya buka, berkas-berkas saya beber hampir memenuhi permukaan (mungkin) meja dokter.
Pak Gunawan yang kalem berwibawa ini lantas mikir sebentar.
“Di sini bayarannya kecil. Sehari Rp 120. Dan dapat rokok (afkiran) dua bendel…”
“Mau! Saya mau!” spontanitas saya. Jangankan Rp 120, dibayar Rp 100 sehari pun saya oke.
“Besok masuk kerja, ya…”
Lantas Pak Gunawan saya salami.
Dalam perjalanan pulang dengan sepeda mas saya, hati saya berbunga-bunga.
(Sejak sepeda jengki saya hilang dua tahun sebelumnya saat saya tinggal untuk latihan teater di Balai Pemuda, praktis saya tak punya sepeda lagi. Sering pinjam sepeda mas atau adik saya).
Menjadi buruh harian seringkali nelangsa. Karyawan bulanan dapat makan siang, sementara yang harian macam saya kalau makan siang “sembunyi” di belakang mesin melahap bontotan dari rumah berupa nasi putih, kukusan putih telur dan sambal sedap buatan Ibu saya.
Belum lagi kalau “eker-ekeran” soal hitung-hitungan uang lembur dengan bendahara Mbak Tahi Lalat di bawah hidung itu (saya lupa namanya) setelah tiba giliran saya dalam antrean beberapa saat. Pas hari Sabtu.
Setelah dijelaskan, baru saya paham. (Siapa bisa mengalahkan Mbak Tahi Lalat yang dikenal teliti soal ‘itung-itungan’ duit? Siapa?).
Yang saya heran, setelah sekian tahun saya tak bekerja di PT Wing On, saya sekilas sempat berpikir bahwa saya yang tinggi, kurus, berkulit mendekati gelap dan jauh dari tampang ganteng, kok bisa-bisanya ditunjuk jadi sekretaris Ikatan Karyawan Brawijaya ranting PT Wing On yang ketuanya Pak Gunawan.
Pengurusnya cuma ada tiga: Ketua, Sekretaris, Bendahara. Saya lupa siapa bendaharanya. Yang jelas bukan Mbak Tahi Lalat.
Yang melantik di ruang direksi seorang pria berusia 40-an bersosok tinggi tegap, dengan posisi jari kanan kami membentuk huruf ‘V’ diangkat sejajar dengan telinga.
Sejak dilantik hingga saya keluar dari perusahaan ini, tak sekalipun pernah diadakan rapat. Rupanya serikat buruh perusahaan ini didirikan sekadar ada, sebagai syarat berdirinya sebuah perusahaan. Saat pelantikan itu saya belum nyambi kuliah.
Ada juga catatan penting saat saya kerja di PT Wing On saat belum nyambi kuliah.
Suatu hari saya dipanggil Pak Pek, Dirut perusahaan ini.
“Amang, kamu tahu kan Pak Gwan (kepala bagian saya) sudah seminggu tidak masuk… ”
“Ya, Pak Pek… “dengan kalimat dan gesture sesopan mungkin. (Atau saya sopan-sopankan).
“Ini gaji seluruh karyawan Wing On mau dinaikkan. Tolong bikin gambaran dengan peringkat rajin tidaknya, di bagianmu…”
Deg! Saya kaget. Kok saya?
“Maaf, Pak Pek. Sebaiknya Pak Yanto yang senior atau Mas Kusnan… ”
Pak Yanto mantan karyawan PT PAL dan kabarnya pernah dikirim ke Vladivostok tempat pembuatan kapal terbesar di Uni Soviet.
Sedang Mas Kusnan asal Kertosono ini bersosok kalem dengan pengetahuan agama yang luas. Pada kemudian hari beliau diterima di Coca Cola, Pandaan – Pasuruan.
“Sudah, kamu aja!”
Dengan halus, saya menolak lagi.
“Oke, kalau kamu ga mau, (bagian) metalizing gak ada kenaikan!”
Akhirnya saya nyerah. Lantas 12 karyawan bagian metalizing saya bagi 3 kategori: A, B, dan C.
Untuk saya, saya kosongi.
Yang terbanyak di kategori B.
Yang saya heran, setelah realisasi gaji baru, ada beberapa yang bersikap lain terhadap saya. Menjadi tidak akrab, terutama dari 2 orang yang masuk klasifikasi C. Mereka kok tahu kalau saya dipanggil Pak Pek pada suatu hari, padahal pertemuan dengan Pak Pek dilakukan saat jam istirahat.
Suatu hari, saat membantu seksi lain karena di seksi saya sedang tidak ada pekerjaan, tiba-tiba teringat kata-kata mutiara yang saya baca di majalah Monitor (waktu itu dikelola TVRI Pusat, belum oleh Kompas Group) di rumah Pak Suroso saat saya kos dalam rangka praktik kerja lapangan di Semen Gresik: “Orang-orang sukses biasanya adalah orang-orang yang berani memulai sesuatu yang baru.” Saya lupa siapa yang menulis quote itu.
Saya berpikir, kalau saya di sini terus, seumur hidup saya, paling mentok jadi mandor. Apalagi yang saya lakukan di sini, jauh dari minat dan bakat saya.
Saya harus berani memulai sesuatu yang baru. Apa yang harus saya lakukan?@