Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Memoar Wartawan Biasa-Biasa #29

Kartu Pers Saya Disita Sipir Penjara Kalisosok

Oleh: Amang Mawardi

Kusni Kasdut sosok kontroversial –perampok yang pernah jadi pejuang– melarikan diri lagi. Kali ini dari LP Lowok Waru, Malang. Persisnya pada 10 September 1979. Artinya, sudah 8 kali

Kusni Kasdut kabur dari sel sejak sosok ayah dua orang anak ini “berkarier” sebagai perampok licin, mulai 1950-an.

Pelariannya kali ini lagi-lagi bikin geger masyarakat akibat pemberitaan pers yang gencar.

Sekira seminggu setelah Kusni Kasdut melarikan diri, kami jajaran perwakilan Jatim diperintah redaksi Jakarta untuk mewawancarai (mantan) salah satu istrinya di kawasan Krian, Sidoarjo.

Saya lupa saat itu diberi alamat persis rumah atau sekadar denah.

Sore hari sekira pukul 4: saya, Budi Santoso koresponden Pos Kota yang biasa ngepos di UGD Dr. Soetomo yang saat itu masih berlokasi depan RRI Surabaya –diantar kepala divisi pemasaran Didied Wardojo dengan Colt 120 station wagon yang masih terbilang gres– meluncur ke arah barat dari kantor perwakilan di Jalan Embong Wungu 49 A, Surabaya.

Setengah jam kemudian, sekira 500 meter sebelum Pasar Krian, mobil kami hentikan, dan diparkir di sekitar situ. Lantas kami nyeberang jalan.

Persis di seberang jalan, ada sungai kecil mengalir ke arah barat laut. Di sepanjang tepian sungai itu di sisi barat, membujur jalan kecil selebar kira-kira 5 meter mengikuti aliran sungai. Saya perkirakan ini sub-jalan utama.

Di sub-jalan utama sisi kanannya, terletak gang-gang yang jarak satu sama lain 15-20 meter.

Kalau tidak salah kami memasuki gang kedua dari jalan raya, menuju rumah (mantan) istri Kusni Kasdut itu.

Setelah kami anggap tepat sasaran, terdapat rumah gubuk berdiri di atas dasar urugan tanah setinggi lebih kurang setengah meter.

Suasana sekitar –tetangga kanan kiri rumah gubug itu, sepi– tak terlihat anak-anak bermain atau “tukang bakso” lewat.

Setelah kami mengetuk pintu dan dibukakan oleh pemilik rumah wanita berusia sekira 40 tahun, tinggi kurus, berwajah oriental, dengan rambut pendek dimodel Demi Moore dalam film Ghost yang ngetop seputar tahun itu, kami dipersilakan masuk.

Masih tersisa garis-garis kecantikan pada wajah wanita pendiam ini.

Dalam suasana lampu temaram rumah gubug misterius –mengingat di kanan kiri umumnya rumah-rumah tembok– kami mencium bau ikan asin.

Sebelumnya kami sudah diberi tahu oleh redaksi di Jakarta kalau (mantan) istri Kusni Kasdut sehari-hari berjualan ikan asin di Pasar Krian.

Mungkin bau tersebut berasal dari beberapa keranjang atau kardus stok ikan asin.

Dari wawancara minim jelang magrib itu, saya menyimpulkan bahwa dalam hari-hari pelariannya, Kusni Kasdut nyamper di rumah wanita yang hidup sendirian ini.

Pada sekian tahun kemudian, berdasar info dan berita sana-sini, pihak berwajib sudah mengetahui kemana saja titik-titik pelarian Kusni Kasdut. Tinggal menyergap saja.

Makanya, sore itu saya tidak melihat “tukang bakso” atau “pedagang keliling” lainnya di depan rumah gubug tersebut yang biasanya diperankan reserse atau petugas intelijen.

Akhirnya pada tanggal 17 Oktober –sebulan seminggu setelah pelariannya– Kusni Kasdut ditangkap di sebuah rumah sahabatnya yang mantan pejuang di Jalan Pandegiling, Surabaya.

Tanggal 8 Agustus 1979, saya meluncur ke LP Kalisosok. Sebab ada kabar, Ninik anak sulung Kusni Kasdut dari mantan istri pertama –dimana saat itu Ninik tinggal di Cipinang, Jakarta bersama suami– hari itu akan membezuk Kusni Kasdut.

Depan LP Kalisosok banyak orang-orang berdiri. Baik yang ada persis di depan penjara tersebut maupun di depan pinggiran seberang jalan. Saya berada di pinggiran seberang jalan bersama Mas Sutiman koresponden Kompas dan Mbak Yuli wartawati majalah Topik.

Karena menganggap ada momen bagus, saya lantas menyeberang jalan, mendekati pintu gerbang. Lantas motret suasana seputar depan pintu gerbang yang ramai oleh pembezuk yang belum diizinkan masuk, lantaran tengah berlangsung shooting film Kusni Kasdut.

Entah dari mana munculnya, tiba-tiba saya didatangi petugas berpakaian preman, lantas dilempari banyak pertanyaan, antara lain apa saya ada izin motret.

Lantas saya diminta menunjukkan kartu pers. Setelah saya keluarkan, langsung diambil petugas tadi. Selanjutnya dia masuk ke pintu kecil yang sebelumnya tertutup yang menjadi bagian dari pintu gerbang besar tebal kokoh dari rumah penjara itu.

Lantas saya dinasihati Mas Sutiman bahwa jangan mudah mengeluarkan kartu pers. “Kartu itu ibarat penguat nyawa wartawan.”

Setengah jam kemudian, sipir tadi menghampiri saya untuk mengembalikan kartu pers. Kali ini berubah lunak diiringi permintaan maaf.

Langsung didonder Mas Sutiman. “Anda ini siapa, berani-berani nyita kartu wartawan! “.

Sipir ini minta maaf lagi, disusul ucapan, “Saya cuma menjalankan perintah.”

(Mas Timan, dimanakah Anda sekarang? Apa kembali ke kampung halaman di Tulungagung ?).

Para pembezuk masih banyak yang berada di luar. Belum diizinkan masuk. Jumlahnya makin banyak.

Sekira sejam kemudian, pintu gerbang dibuka, mobil sedan muncul dari dalam dengan salah satu penumpang wanita berambut ikal berkaca mata lebar gelap, duduk di jok belakang. Itulah Ninik putri sulung Kusni Kasdut sebagaimana foto wajahnya sering dimuat di banyak media cetak.

Berita disitanya kartu pers saya, lantas dimuat di Jawa Pos tanggal 11 Desember 1979.

Kalau lihat kode wartawan di bagian bawah berita yaitu ‘DD’ ini adalah initial Darma Dewangga. Entah darimana Darma tahu peristiwa disitanya press card saya.

Dua hari setelah Kusni Kasdut dieksekusi mati pada 16 Februari 1980, saya dan Hardjono meluncur ke Probolinggo, persisnya di Kecamatan Wirobarang, untuk menemui Sri Sumarah Ediningsih. Beliau mantan istri pertama Kusni Kasdut.

Bu Ediningsih waktu itu sudah menikah lagi. Bambang anak kedua Kusni Kasdut ikut keluarga ini. Usia Bambang saat itu saya perkirakan sama dengan saya, sekitar 26 tahun.

Rumah Bu Ediningsih terletak di kawasan pinggiran Kota Probolinggo, jalan di sekitar rumah berupa makadam diliputi lingkungan yang bersih dan asri.

Kami ditemui Bu Ediningsih. Kemudian menyusul Bambang.

“Tadi barusan saya juga diwawancarai wartawan majalah kempo (maksudnya majalah Tempo),” ujar wanita blasteran Indonesia Timur dan Belanda ini.

Meski membekaskan sedih lantaran ayahnya barusan dieksekusi karena kejahatan kriminalnya, tapi Bambang bangga bahwa ayahnya dulu adalah pejuang pada era perang kemerdekaan, begitu intisari percakapan kami dengan Bambang (dan ibunya juga).

Setelah pamit, kami diantar Mas Bambang jalan kaki menuju makam Kusni Kasdut yang tak jauh dari rumah Bu Ediningsih.

Makam Ignatius Waluyo alias Kusni Kasdut yang pernah divonis: seumur hidup, mati, lima setengah tahun, dan 12 tahun ini — masih basah dan terlihat serakan kembang-kembang harum menghampar di atasnya.@

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...