Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Mutiara Peradaban Kota di Kampung Pecinan Surabaya

REKAYOREK.ID “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, adalah salah satu peribahasa yang populer di kalangan masyarakat. Peribahasa ini mengandung arti bahwa seseorang sudah sepatutnya mengikuti atau menghormati adat istiadat yang berlaku di tempat tinggalnya.

Peribahasa ini tidak hanya populer tetapi juga telah melegenda. Inilah sebuah konsep adaptasi budaya (cultural adaptation) bagi siapapun ketika mulai membuka lembaran baru hidup di suatu daerah, entah untuk jangka waktu yang panjang atau pendek. Di sanalah tercipta nilai nilai perpaduan budaya (cultural integration values) dan cara cara hidup (ways of life).

Kiranya konsep adaptasi kultural ini sangat dibutuhkan di suatu negara yang majemuk seperti Indonesia. Bahkan di suatu daerah, seperti di Surabaya, dimana kemajemukan itu nyata adanya. Apalagi kota ini adalah sebuah kota pelabuhan yang memiliki sifat terbuka. Keberagaman menjadi warna kehidupannya.

Di abad 13 atau bahkan sebelumnya, Surabaya yang berada di muara sungai Pa-Tsih-Kan (Kalimas/Kali Surabaya), adalah gerbang keluar masuk pedalaman Jawa. Ada sumber sumber, yang dengan jelas mencatat kehadiran bangsa asing ke Jawa melalui sungai Pa-Tsih-Kan. Mereka adalah Mongol (1293), Cheng Ho (1433), VOC (1612) dan Marga Han (1700).

Selain mereka, juga masih ada bangsa bangsa asing lainnya yang masuk ke Surabaya seperti Arab, khususnya dari Haddramaut. Mereka berkoloni mendekati sebuah kawasan dimana terdapat rumah ibadah Islam, Masjid Ampel yang didirikan oleh Raden Rahmad pada pertengahan abad 15 di Ampel Denta, sekarang kampung Ampel.

Pada abad 18 Pemerintah Kolonial melalui Undang Undang Wilayah (kampung), Wijkenstelsel, menciptakan permukiman berdasarkan etnis. Ada kampung Pecinan, kampung Arab dan Melayu (Vreemde Oosterlingen), Kampung Eropa (Belanda) dan golongan pribumi.

Kebijakan ini diambil setelah ada peristiwa pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia tahun 1740, sehingga orang Tionghoa tidak dibolehkan bermukim di sembarang tempat. Karenanya melalui kebijakan kependudukan Pasal 163 Indische StaatSregelling Wet van 2 September 1854, Ned. S. 1854-2, S. 1855-2 jo. 1, maka dengan tegas kawasan permukiman dibagi menjadi 3 (tiga) golongan penduduk, yakni : (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing, seperti Tionghoa, India, Arab; dan (3) Golongan Pribumi.

Di kota Surabaya tidak terlepas dari pemberlakuan peraturan itu. Penduduk Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) bermukim di timur sungai Kalimas. Sedangkan warga Eropa bermukim di seberangnya (barat Kalimas). Antara keduanya, warga Timur Asing khususnya etnis Pecinan terbilang sudah lebih lama mendiami wilayah yang berada di antara dua sungai (Kalimas dan Pegirian).

Adalah keluarga Marga Han, salah satu dari tiga Marga Etnis Tionghoa (The dan Tjoa), yang bertempat di Pecinan Surabaya ini. Meski secara teritorial dan judicial, keberadaan masing masing etnis dibedakan, namun secara sosial dan kultural mereka terlibat dalam pembauran, seperti dalam bidang perdagangan dan sosial budaya.

Bisnis dan perdagangan menyatukan mereka dalam sebuah interaksi yang mutual (saling menguntungkan). Bahkan terjadi dalam interaksi yang semakin intensif karena ada perkawinan silang antar etnis, seperti Cina dan Jawa. Belum lagi pembauran dalam hal agama dan kepercayaan. Agama tidak memandang suku dan ras. Di Surabaya, pemeluk agama Islam, yang kala itu mulai berkembang sejak kehadiran Raden Rachmad, terdiri dari warga lokal, Arab dan China.

Bahkan di Kawasan Pecinan sendiri, misalnya di rumah persembahyangan nenek moyang keluarga Han, atau biasa disebut Rumah Abu Han, arsitektur bangunannya mencerminkan keberagaman etnis.

Robert Han, ahli waris keluarga Han, yang ditemui di Rumah Abu Han dalam momen sembahyangan keluarga Hari Raya Imlek pada Sabtu  21 Januari 2023 mengatakan bahwa kehadiran nenek moyangnya di Surabaya sudah menunjukkan etiket alkulturasi budaya yang harmonis dalam rancang bangun rumah.

“Coba lihat, rumah ini dibangun dengan corak Jawa, kolonial dan tentunya Tionghoa”, kata Robert kepada tim penulis begandring.com.

Tim penulis Begandring.com mengapit Robert Han dan Mega Tanuwijaya. Foto: tim

 

Robert Han (generasi ke 9 Marga Han di Jawa) dalam acara keluarga di rumah Abu Han ini didampingi oleh Mega Tanuwijaya (istri) dan Hubert Putra Han (anak). Mereka adalah pewaris yang sangat ngugemi (memegang teguh) tradisi nenek moyang.

Datang ke rumah leluhur di jalan Karet Surabaya adalah wujud nyata interaksi dan komunikasi yang selalu mereka jaga dengan leluhur. Agama dan kepercayaan boleh berbeda, tapi tradisi sebagai bagian dari budaya leluhur tidak boleh luntur.

Mega Tanuwijaya mendukung lestarinya tradisi nenek moyang keluarga Han. Menurutnya rumah leluhur tidak hanya bersifat fisik belaka, tapi dibalik hadirnya dan lestarinya rumah leluhur adalah wujud jembatan komunikasi yang menghubungkan mereka sekarang dengan para pendahulu. Karenanya Hubert Putra Han diajak sebagai bagian dalam proses regenerasi menjaga jembatan komunikasi di kemudian hari.

Tidaklah heran jika rumah leluhur Marga Han di jalan Karet terlihat sangat terawat, tertata dan terjaga. Rumah leluhur Marga Han ini bagai teropong waktu dengan lensa yang jernih untuk melihat sejarah masa lalu Surabaya.

Surabaya sejak dulu sudah tercipta sebagai kota yang multikultural. Orangnya beragam etnis. Untuk melihat masa lalu Surabaya, bahkan hingga ke masa kedatangan bangsa Mongol (1293 M), Cheng Ho (1433) dan pendahulu Marga Han di Jawa (1700-an), rumah leluhur Han ini berkontribusi kepada kota Surabaya.

Membakar uang kertas sebagai simbol ritual kirim doa kepada leluhur. Foto: tim

 

Rumah leluhur, yang umum disebut Rumah Abu ini, bagai museum hidup (living museum). Dia bukan sebuah artefak, yang dipajang dalam bingkai etalase entitas yang bernama museum. Tapi Rumah Abu Han sendiri adalah in situ museum. Rumah dan segala isinya adalah sebuah museum yang berdiri di kawasan bersejarah dalam peradaban Surabaya. Rumah Abu Han tidak berdiri sendiri, tapi ia bertengger di kawasan yang lingkungannya menyimpan berjuta cerita baik yang sudah terungkap maupun yang berpotensi diungkap. Ini semua adalah kekayaan sejarah dan budaya Surabaya.

Tentu menjadi tugas bersama dalam upaya menjaga dan melestarikan aset bersejarah ini. Tidak kalah pentingnya adalah upaya pemanfaatannya sebagai media edukasi, ilmu pengetahuan, penelitian dan kebudayaan.

Melalui Rumah Abu Han, dapat diketahui riwayat keluarga dalam peran dan tatanan pemerintahan klasik Surabaya, kebudayaan dan dalam percaturan dagang internasional yang membawa nama Surabaya dikenal di kancah perdagangan global pada masanya.

Karenanya ketika Rumah Abu Han terawat, terjaga dan tertata dengan baik bagai sebuah mutiara peradaban kota Surabaya, maka lingkungan dimana Rumah Abu Han berada diharapkan bisa mengimbangi penampilan mutiara kota ini. Rumah Abu Han adalah sebagian dari isi potret dalam bingkai Kampung Pecinan Surabaya.@Nanang

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...