Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Syaman Akhudiat Belajar Dari Beras

REKAYOREK.ID Lahir di Rogojampi, Banyuwangi, 6 Mei 1946. Sering memenangkan sayembara penulisan naskah drama versi Dewan Kesenian Jakarta. Diantaranya, Grafito (1972), Jaka Tarub (1974), Rumah Tak Beratap (1974), Bui (1975) dan RE (1977). Pernah mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Amirika Serikat. Naskah-naskah terjemahannya: Raja Ubu (Alfred Jarry), Jalan Tembakau dan Anak yang Dikubur dipentaskan oleh teater SAE, Jakarta.

Belajar Dari Beras

Menurut Akhudiat, dia belajar melek (membuka mata) huruf dari mengaji dan itu berkat pengarahan emaknya (Ibu) dan ustad yag mengajar ngaji.

Baginya emaknya dan ustad yang mengajar ngaji adalah guru yang sesungguhnya dan di luar ke dua orang ini, gurunya adalah perpustakaan.

Kata guru nyajinya, ”Beras itu kalau jumlahnya satu lalu ditumbuk akan pecah, tapi kalau jumlahnya banyak akan lembut karena tumbukannya membawa gesekan percampuran dari beras yang satu dengan yang lainnya”.

Itulah yang menurut Diat, bahwa guru ngajinya itu luar biasa dalam menafsirkan kehidupan. Karena semua itu baru bisa dirasakan ketika waktu sudah jauh meninggalkan pesan tersebut, dari saat sekarang melihat perjalanan karya-karyanya.

Dari sinilah awalnya beras ketika di tarik kembali pada masa sekarang oleh Diat. Baginya komunitas seperti Bengkel Muda sangat penting sekali menurut dirinya. Dimana tempat berkumpul berbagai orang dengan macam-macam latar belakang.Lalu antara satu dengan yang lainnya; pengalamannya saling bergesek, pengetahuannya saling bergesek, sehingga memunculkan berbagai macam penafsiran yang komplek.

Di Bengkel Muda, berkumpul dengan berbagai macam manusia dengan berbagai macam latar belakang pikirannya masing-masing.

Disana kita saling bergeser, berdebat, sehingga pengetahuan kebenaran bisa menjadi luas.

Cuma di sana ketawa harus dibatasi, jangan terlalu banyak tertawa nanti kita larut. Perlu diketahui ‘Mulutmu Harimaumu’.

Begitu terlalu banyak mengumbar tawa akan sia-sia dengan yang selama ini kita lakukan.

Itulah pentingnya kalimat sastra tersebut, jadi harus bisa mengambil jarak.Jangan sampai komunitas hanya jadi gardu tempat keluar masuknya orang saja.

Di Indonesia seni ini adalah tempat perjuangan yang luar biasa. Jangan berharap pada pemerintah, pemerintah mengurusi kesehatan saja tidak mampu. Itulah pentingnya komunitas dan pentingnya mengambil jarak, seni adalah perjuangan yang paling berat.

“Saya mengambil jarak, dan waktu saya habiskan di perpustakaan. Ini sudah menjadi kebiasaan saya sejak kecil. Kelas 1 Sekolah Dasar, saya sudah gemar membaca. Di seberang sekolah saya ada toko buku setiap istirahat waktu saya habiskan untuk membaca di sana. Di rumah bapak saya langganan Koran tiap hari saya membaca. Belum di rumah pak De dan pak Lik yang rumahnya masih berdekatan, beberapa lemarinya penuh dengan buku” terangnya dengan sungguh-sungguh.

Mulai kecil Akhudiat memang suka baca buku yang aneh-aneh yaitu dunia di luar sana. Diat, memang tidak suka bacaan-bacaan yang biasa-biasa yang segala sesuatunya sudah bisa diketahui dan di tebak. Jadi juga tidak heran kalau cerpennya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Dede Utomo, diterbitkan di tiga penerbitan: dua antologi dan satu majalah. KIAS (Komite Eksukutif Festival Indonesia di Amerika Serikat) dalam antologi sebelas cerpen Indonesia bertajuk ‘New York After Midnight’ (1991), disunting Styagraha Hoerip.

Cerpen Akhudiat yang sekaligus jadi judul antologi ini menurut redakturnya sangat kontemporer sekali. Redakturnya berpendapat, ”saya belum pernah membaca cerpen semacam ini”.

Cerpen Akhudiat, ceritanya maju-mundur

“Surabaya nostalgis suasananya, ketika saya menonton ‘kuintet (lima pemain) jazz warga AS kulit hitam dihalaman terbuka bawah pohon jambu biji dan mangga di Lembaga Indonesia Amirika (LIA) Jalan dr Sutomo tahun 1983.

Drummer, menggebuk semua perlengkapannya dengan dinamais, ritmis dan liris, serta sering memejamkan mata bagai meditasi. Mengingatkan pada kuartet (empat pemain) jazz di panggung Of-Broadway, Village Theatre, di Greenwich Village, New York City, tahun 1975.

Mereka bersama Black Theatre Ensamble mementaskan teater musik-tari drama bertajuk Hi, I Can Cope.Meditasinya pada pembukaan dan penutupan “non-stop reviue” dengan tari ritual penari tunggal lelaki kulit hitam, berminyak oleh keringat, kepala gundul, hanya pakai secarik cawat, melambangkan kelahiran manusia di zaman purba dikehadirannya kini.

Setelah nonton teater Afro, saya masuk rongga bawah trotoar 8 th Evanue di 14 th Street, masuk kereta bawah tanah (subway), menuju utara dan muncul di Harlem, Lenox avenue di 135 th Street.

Tentu saja, saya teringat masuk terowongan Mrawan dan Gerahan dengan kereta api Banyuwangi-Jember. Subway di Manhattan itu telah saya lihat gambar-gambarnya di majalah Life ketika SLTP di Jember, 1960…”, paparnya dengan semangat.

Demikian juga naskah-naskah Diat bisa dijuluki ‘Power of Art’. Bisa ditafsirkan diluar cerita demikian bentuknya juga bisa ditafsirkan yang lain. ‘Brain Drain’ , berpindahnya otak.

Naskah Joko Tarub misalnya, ketika ditafsirkan kembali pada saat kekinian, Joko Tarub melihat Indonesia cuek, tidak menganggap apa-apa. Tapi ketika Joko Tarub di Jepang, dia bisa Jadi seorang Profesor yang ahli elektromagnit yang baru. Ini namanya melanjutkan misi sebagai spesies kehidupan manusia yang servive. Kalau dulu cara manusia mempertahankan kehidupan musuhnya yang dihadapi ‘riil’ binatang.

Kalau sekarang beda lagi, sesama manusia yang anti manusia (predator).

Menurut penelitian yang paling baru bahwa pikiran manusia itu belum aktif, beda dengan nabi pikirannya aktif semua. Menurut dia, ilmu pengetahuan di luar sana masih banyak yang belum dijamak, belum ditemukan. Mimpi misalnya; Mimpi itu di dalam otak atau di luar otak?Hal itu masih belum terjawab. Dan masih banyak yang lain. Masih ada 10 masalah yang belum diselesaikan di ilmu kedokteran modern.

Sementara dengan perjalanan umurnya yang semakin bertambah, Diat merasa di suruh istirahat lewat sakit, agar tidak terus blusukan. Semua keinginannya selalu tersampaikan. Ingin pentas di gedung Mitra, ingin pentas di Taman Ismail Marzuki, ingin mengikuti penulisan IOWA, sumua sudah dilewatinya.

Menurut Diat, seniman hidupnya harus seimbang, tidak boleh rumah tangganya berantakan. Jangan sampai seperti orang-orang sekarang, bisa sukses tapi dari hutang. Hutang boleh tapi jangan selalu berhutang.

Lalu Diat juga melihat gejala teater yang akan datang hendaknya harus juga pandai membaca gelagat perubahan. Oleh karena itu karya-karya yang sudah disiapkan Diat untuk akan datang, semacam diilhami drama-drama pendek. Drama-drama pendek, semacam Stan Up Komedi, Ten Minute Play. Karena yang dia rasakan orang sekarang sudah tidak bisa lagi menonton pertunjukan secara full. Sebab percepatan hidupnya 24 jam tidak cukup. Dan bentuk pertunjukannya belajar dari tukang sulap atau jual obat jalanan atau ledhek.

Mencari kerangka jalan teaternya Akhudiat terdengar aneh apabila kita menempatkan garis besar teater kontenporer yang ada karena Akhudiat mempunya misi realisme magisnya sendiri.

Naskah-naskahnya secara material mempunyai tantangan tersendiri bagi para penggarap sehingga secara tehnik harus membentuk pencarian untuk menguak struktur dramaturgi yang belum dialami.

Dari sinilah sejarah gagasan menuntut ketotalan untuk mencapai sifat yang bisa dicerna dari unsur-unsur proses pencarian. Teater Akhudiat adalah teater titik balik dari tradisi lama bahkan yang purba sekali.

Akhudiat membutuhkan ledakan-ledakan gagasan yang di anggap inovasi purba yang sulit dipahami.

Hal ini tak lebih dari sebuah perluasan proses, pemberian nilai kembali yang harus diterima sebagai konteks yang berbeda. Teater ini benar-benar penuh dengan kombinasi bervarian dan berwujud gagasan-gagasan yang terus berkembang.

Bisa dikatakan teater senantiasa lebih dari sekedar bahasa. Bahasa itu sendiri bisa dibaca, namun teater sejati hanya bisa diwujudkan dalam pementasan. Hadir sebagai variety show dimana perwujudannya mengandung unsur-unsur efek teaterikal abstrak murni yang kuat.

Semua peristiwa itu seringkali memiliki makna metafisis mendalam dan mengekspresikan lebih dari yang dapat diungkapkan oleh bahasa. Penonton diantarkan untuk menyaksikan kekuatan ajaib, atau melebihi keajaiban?

Inilah usaha terjauh Akhudiat untuk mengungkap kedalaman hidup dengan kecerdikan manusia. Semua ini merupakan pembelokan kemampuan manusia dengan komoditas tubuh dan fikirannya bahkan menancap pada masa lalu dengan segala kepurbaannya.

Manusia adalah binatang ajaib dan jalan menuju masa lalu akan ditemukannya dengan berbagai pendekatannya. Manusia bisa melakukan hal yang aneh tapi mereka ubah menjadi sesuatu yang biasa-biasa. Ini merupakan kekuatan metafisis aneh dari sifat kongkrit dan keterampilan dalam pertunjukan teater.

Hal ini sama juga dengan yang dilakukan oleh para Saman (dukun masa lalu) menciptakan atmosfis tradisi sekunder yang kuat dan sama dengan akar dalam teater dimana mendapat kekuatan vitalitas yang baru.

Naskah-naskah Akhudiat muncul bersama-sama proses penggarapan dengan membawa tehnik realitas yang masih mentah, tidak terikat dengan segala aturan dramaturgi yang ada. Semua serba tidak ada batasan sehingga aturan ruang dan waktu tidak ada perhatian. Semua struktur alur yang ada di acak sedemikian rupa, demikian juga ungkapan yang disampaikan dijungkir balikan.

Dalam drama-drama Diat, realismenya adalah mimpi-mimpi, halusinasi-halusinasi yang menimbulkan rasa penasaran dan itu bisa dihadirkan sebagai paradox. Sehingga sesuatu yang bermuatan fantastis bersifat paradox.

Ungkapan tersebut merujuk pada drama-dramanya bahwa hal-hal yang serius bahkan mengerikan sekalipun menakjubkan, bercampur baur dengan sindiran dan kelucuan. Yaitu realisme datar bercampur dengan unsur-unsur yang sangat fantastis dan magis.

Garapan Teaternya:

Syair Bunga Koran (1977)

Di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Hare Rumemper, Bawong SN, Sian Dyhs)

Naskah yang mencoba keluar dari kemungkinan panggung yang permanen. Bisa pentas dimana saja, di taman misalnya, karena disana banyak peristiwa sosial yang bermacam-macam. Dan tiba-tiba muncul seniman gelandangan yang membacakan puisinya di tengah-tengah orang banyak.

Romantisme sekali tapi juga ada segi humornya. Diat tidak tergantung pada panggung yang prosenium.Munculnya Diat membuat panggung non prosenium ketika Motinggo Busye mementaskan ‘Malam Jahanam’.

Naskah ini luar biasa, settingnya rumah nelayan sehingga memungkinkan para pemainnya bisa keluar masuk yang tidak berbatas dengan penonton.

Gagasan inilah yang akhirnya dikembangkan Diat ke drama ‘Syair Bunga Koran’ dalam bentuk non prosenium.

Joko Tarub (1974)

Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya dan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Bawong SN, Hermin Munif, Hare Rumemper, Lydia, Rini Sherdil, Yudhit Sariyowan, Rini Paling-paling, Inggrid,Patty, M. Djupri, Darsono, Amir Kiah, Rochim, Chusnul, DS Yono, Tudjuddin Nur, Iim Santoso dll).

Dongeng atau cerita legenda yang dihadirkan pada masa kini.Dimana Joko Tarub ingin lepas dari kaidah-kaidah lama atau masa lalu.

Dengan sendirinya peran dalang yang dihadirkan dalam cerita ini selalu menjadi ajang penolakan bahkan perlawanan ketika pakem dan aturan lama ditrapkan pada Joko Tarub.

Demikian juga Nawang Wulan pinginnya jadi artis. Baru keluar panggung sudah tidak mau diatur dalang, dia tidak ingin jadi anak wayang.

Diat melihat semua teater selalu diatur dengan aturan tehnik dan pakem. Diat ingin melepaskan semua itu agar pertunjukan jadi dinamis. Apa saja harus bisa terjadi di atas panggung atau tempat lain diluar panggung seperti yang dilakukan oleh teater jalanan.

Pertunjukan kesenian di Surabaya yang menggunakan panggung prosenium yang terakhir, menurut Diat, hanya Srimulat. Surabaya memang kota industri tidak ada seni yang Adi Luhung. Jadi hampir semua pertunjukannya lebih mengarah ke humor dan hiburan.

BUI (1976)

Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Bawong SN, Hare Rumemper, Sian Dyhs, Wally Sherdil).

Garapan ini menjelang Akhudiat berangkat ke IOWA untuk mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Amerika Serikat. Sesudah pementasan drama Bui, paginya berangkat ke Amirika.
Saat itu masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Masa Sukarno dan Suharto.

Banyak orang yang di penjara tanpa diadili, dari mulai itulah seakan-akan tidak ada batasan sel. Para penghuni tahanan lalu bermain-main dengan kayalannya, ruang tahanan benar-benar tidak ada batasan dan meluas seperti lapangan. Namun ketika mereka sadar lagi dari kayalannya kembalilah mereka ke Bui lagi.

Demikian juga para sipir ketika mereka pulang dari tahanan mereka ingin kembali ke tahanan lagi karena mereka melihat dunia di luar tahanan lebih kejam.

Mirip kondisi saat ini, misinya hanya bermain-main; saling menjegal, berkelahi.Mereka semua sedang memainkan angan-angannya.

Rumah Tak Beratap (1975)

Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Roni Tripoli, Wally Sherdil, Vincentius Djauhari, Tadjudin Nur, Hermin, Rini, Rini Sherdil).

Setiap Diat pulang latihan teater dari Bengkel Muda selalu pulang malam dan naik bemo dan turun di terminal Wonokromo (Joyoboyo) karena kos-kosannya dekat terminal. Yang Diat rasakan terminal ini kalau malam sepi sekali dan kalau siang ramai sekali dengan bermacam-macam keriuhan yang dilakukan banyak orang.Ada pengamen, ada ledhek, ada orang jualan, ada orang bertengkar dan lain sebagainya.

Begitu peristiwa tersebut diangkat Akhudiat ke panggung.Ada ledhek, yang biasanya menari dan menyanyi, disuruh berbicara.

Dari sinilah ada anak muda yang mencoba menyenangi perubahan komunikasi pertunjukan ledhek ini.

Dari situ ide ceritanya mulai berkembang dan jadi menarik.Perlu diketahui saat itu masih belum ada seni pop art sedang tarian Serampang 12 di Surabaya juga jadi tontonan yang menarik.Saat itu di Surabaya kesenian jadi dinamis dan semua masyarakat terlibat secara langsung.

Lalu muncullah Mall, seniplek, seni pop culture, pilihan menjadi banyak dan meluas. Akhirnya pusat-pusat kebudayaan menjadi menyempit dan jadi kantong-kantong budaya.

Apapun yang terjadi akhirnya seni masih tetap ada dan harus diperjuangkan. Meskipun pada saat ini pahamnya lain, kekuatan seni lebih di pakai untuk mendukung partai politik, untuk mendukung ormas atau untuk sebuah kegiatan kerja. Seni sudah jadi hiburan belum bisa dipahami yang lebih dari hiburan seperti layaknya dulu. Untuk mengembalikan ke pemahaman semula seniman teater harus tahu kekuatan itu.

Sampai saat ini yang baru bisa mempertahankan kekuatan tersebut baru seni sastra karena sastra sudah punya misi yang jelas. Sebelum huruf ditemukan, sastra sudah punya misi melalui dongeng dan penuturan.

Graffito (1974)

Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya.
(Naskah/Sutradara: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Roni Tripoli, Amy Kuntjoro, Tadjudin Nur, DS Yono, M. Djupri, Amir Kiah, Hermin Munif, Rini Sherdil, Yudhit Sariyowan, Rini Paling-paling, Petty, Lydia, Ance Suyono, Rita Suyono, Ingrid dll)

Berangkat dari corat-coret (mural) kegelisahan anak-anak muda. Lalu ada anak muda yang beraktivitas diluar kebiasaan yang ada, biasanya ada peristiwa. Kegelisahan semacam ini dilakukan seumur remaja dan belum kawin. Hadirlah para pemeran yang muncul di panggung anak muda yaitu Limbo dan Eyesha.

Kedua remaja ini adalah pasangan anak muda yang sedang jatuh cinta dimana meneruskan niatnya dalam jenjang perkawinan. Namun diluar rencana semua itu jadi gagal karena kedua dari mereka ini berbeda agama.

Akhirnya mereka lari dan membuat keputusannya sendiri yaitu nikah main-main.

Dari peristiwa yang berani mengambil resiko ini, Akhudiat sebagai penulis mencoba menurunkan Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih sebagai saksi. Dalam naskah ini Akhudiat nampak sekali kalau membela kaum perempuan. Baginya perempuan sama dengan derajat kesejatian, orang yang melahirkan anak oleh karena itu jangan sampai berbicara “Ah……..”, pada orang tua perempuan.

Bahkan bicara, ”Tidak……”, apalagi membentak dan menghina.

“Makanya saya tidak setuju kalau ada penafsiran bahwa, perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam. Semua mahluk diciptakan sama dari tanah, cuma yang membedakan hanya satu. Nilai ketaqwaannya”, menurut Akhudiat.

Melihat perkawinan yang dibatalkan Akhudiat sangat tidak setuju.

“Ternyata orang-orang kota tidak religius beda dengan orang-orang desa”, ungkapnya.

Sebelum tahun 70-an kota Surabaya sangat religius sekali. Saat itu semua toko yang ada di Surabaya waktu siang jam 12.00 tutup dan sorenya jam 16.00 baru buka, ini menunjukan jam-jam tersebut jam beribadah.

Demikian juga bioskop main dimulai malam hari sesudah Mahrib. Saat itu produsen sangat menghormati sekali pada konsumen.Produsen mengikuti konsumen tapi akhirnya terbalik. Lebih banyak opsennya dan muncullah menjadi sekuler.

Monserat (1975)

Pentas bersamaan “Monserat” dan “Jangan Nangis Ayo Menyanyi”, di gedung pertemuan UNAIR, Tegalsari, Surabaya.
(Monserat. Naskah: Immanuel Ruble.Diterjemahkan: Asrul Sani. Disadur: Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Hare Rumemper, Nasar Battati, Cahyo Sudarso, Sian Dyhs, Rochim Dakkas, Solikin Jabbar, BusroYusuf, Hermin Munif, Sandra Rumemper).

Naskah terjemahan ini dramatiknya menguatkan. Ini contoh drama yang kuat, tegas tidak ada keraguan. Tiap-tiap pikiran punya sudut pandang masing-masing sehingga setiap peran melihat sudut pandang dirinya sendiri jadi kuat. Pandangan-pandangan para peran yang kuat inilah bisa jadi benar semua dan bisa jadi salah semua.Ini semua karena kepentingan politik yang bermain-main (politiking).

“Jangan Nangis Ayo Nyanyi” (1975) adalah drama anak-anak. Naskah: Akhudiat. Pemain: Rini, Dewanto, dan koor.

“Scapin Bangsat”, naskah Moliere dan diterjemahkan oleh Tajudin Nur (1976)………………………………………
“Suminten” (1983)…………………………………………….

‘RE’

(Naskah RE hanya berlangsung dalam proses latihan. Karena Akhudiat keburu memenuhi undangan ke Iowa, Amerika Serikat).

’RE’ adalah pengalaman masa kecil Akhudiat, ketika bermain layang-layang di kuburan. Selalu melihat upacara penguburan mayat yang dipimpin pak Modin baca Talkhin.

Bagi Akhudiat pak Modin ini luar biasa sekali. Dia bisa mempertemukan dunia orang yang meninggal, dunia orang hidup yang sedang mengantar ke pemakaman dan dunia pak Modin yang berhubugan denga Tuhan dalam peristiwa yang bersamaan. Pak Modin ini bisa membawa pesan kebenaran pada orang yang meninggal lewat bacaan-bacaan Talkhinnya.

Sedangkan yang masih hidup menyimak dengan renungan lewat kesadaran spiritualnya.Dalam peristiwa ini ada ruang yang berbeda antara yang mati, para pelayat, dan pak Modin.

Semua ini dipertemukan oleh pak Modin dalam bacaan Talkhin yang isinya, agar yang mati bisa menjawab semua pertanyaan Malaikat tentang perbuatannya di dunia lewat penuturan pak Modin.

Peristiwa inilah yang mengagumkan bagi Diat. Tiga alam yang berlainan sedang menembus ruang dan waktu bisa dipertemukan di peristiwa penguburan, hal yang luar biasa sekali.

Diat baru menemukan kalau karya Talkhin ini ternyata dibuat oleh seorang Sufi. Dan sebelum ada agama cara semacam ini dikerjakan oleh seorang Shaman. Biasanya digunakan untuk pengobatan orang sakit.Caranya Shaman mengobati orang sakit dengan melakukan ritual puasa 40 hari – 40 malam, sampai dirinya jadi sekarat bahkan hampir mati.

Inilah cara mereka mendekat pada Tuhan. Darisinilah akhirnya menjadi trans dan kata-kata yang keluar dari mulut si Shaman dianggap kebenaran. Kata-kata inilah asal-usul Talkhin. Mencari sendiri dalam pencarian Tuhan hingga trans lalu apa yang diucapkan Shaman dianggap ‘wahyu’.

Di Banyuwangi juga ada namanya Seblang, di Cirebon juga ada. Semua negara yang dikelilingi lautan Teduh selalu dipengaruhi Shaman. Di India, Jepang, Meksiko, Cina masih ada. Dari sinilah naskah ini berawal, dialog mbah Modin yang luar biasa untuk dipentaskan dengan adegan penguburan mayat. Pentas sebagai upacara.@

*) Tulisan ini bagian dari buku biografi pertunjukan Bengkel Muda Surabaya oleh Zainuri yang akan segera terbit

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...