Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Mengenal Sosok Ulama Besar Kharismatik KH Achmad Asrori Al Ishaqy

Konon saat Yai Rori belajar di Pondok Pesantren, diketahui oleh santri lain bahwa Yai Rori malah tidak aktif mengikuti kegiatan belajar mengaji (membaca kitab). Ketika hal itu dilaporkan kepada KH Mustain Romli selaku pengasuh Pondok Pesantren malah memakluminya. “Biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” ucap KH Mustain Romli saat itu.

REKAYOREK.ID KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA yang akrab disapa Yai Rori, ataupun Gus Rori, lahir di Surabaya pada tanggal 17 Agustus 1951. Merupakan putra keempat dari sepuluh bersaudara, anak dari KH Muhammad Utsman Al Ishaqy dan Nyai Hj. Siti Qomariyah binti KH. Munadi.

Dari jalur ayahnya KH. Muhammad Utsman Al Ishaqy merupakan keturunan ke-14 dari Sunan Giri, sehingga beliau menyandang gelar Al Ishaqy yang dinisbatkan kepada Maulana Ishaq (ayah kandung dari Sunan Giri).

Sedangkan dari jalur sang ibu, silsilah nasab KH. Achmad Asrori bersambung dengan Sunan Gunung Jati, Cirebon. Sehingga, jika diruntut silsilah nasab (keturunan) Yai Rori bersambung dengan Nabi Muhammad SAW di urutan yang ke-38.

Berikut silsilah nasabnya: Achmad Asrori al Ishaqy – Muhammad Utsman Al Ishaqi – Nyai Surati – Kyai Abdullah – Mbah Dasha – Mbah Salbeng – Mbah Jarangan – Kyai Ageng Mas – Kyai Panembahan Bagus – Kyai Ageng Pangeran Sadang Rono – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guwa – Syaikh Fadllullah (Sunan Prapen) – Syaikh Ali Sumadiro – Syaikh Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) – Syaikh Maulana Ishaq – Syaikh Ibrohim Akbar (Ibrohim Asmorokondi) – Syaikh Jamaluddin Akbar (Syaikh Jumadil Kubro) – Syaikh Ahmad Syah Jalal Amir – Syaikh Abdullah Khon – Syaikh Alwi – Syaikh Abdullah – Syaikh Ahmad Muhajir – Syaikh Isa ar Rumi – Syaikh Muhammad Naqib – Syaikh Ali al ‘Iridhi – Syaikh Ja’far Shodiq – Syaikh Muhammad al Baqir – Sayyid Ali Zainul ‘Abidin – Sayyid Imam al Husain – Sayyidah Fathimah az Zahro – Nabi Muhammad SAW.

Ilmu Ladunni

Beliau Yai Rori hanya mengenyam pendidikan formal sampai kelas tiga Sekolah Dasar (SD) saja. Selanjutnya, seperti umumnya putra kyai di daerah Jawa, Yai Rori lalu menimba ilmu di sejumlah pondok pesantren ternama sebagai persiapan untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan dari ayah Beliau KH Muhammad Utsman Al Ishaqy.

Sesuai dengan keinginan sang ayah, pada tahun 1966, pondok pesantren yang pertama kali menjadi tempat belajar Yai Rori adalah pondok pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang yang kala itu diasuh oleh KH. Musta’in Romly, yang juga seorang Mursyid Tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah.

Setelah setahun mondok atau nyantri di Peterongan, Yai Rori melanjutkan studi ke pondok pesantren Alhidayah di Desa Tretek Pare Kediri yang diasuh oleh KH. Juwaini bin Nuh.

Di pesantren ini, Yai Rori belajar selama tiga tahun. Sedangkan kitab-kitab yang didalaminya kebanyakan adalah kitab tasawuf dan hadits seperti kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al Ghazali dan Shahih Bukhari. Meski terhitung cukup singkat, namun banyak sekali kitab yang dikhatamkan oleh Yai Rori.

Dari Kediri, Yai Rori kemudian melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren Al Munawwir, Krapyak Jogjakarta di bawah asuhan KH. Ali Ma’shum. Namun di pesantren ini, durasi belajar Yai Rori hanya selama beberapa bulan saja. Selanjutnya, Beliau belajar di salah satu pesantren di Desa Buntet Cirebon yang diasuh oleh KH. Abdullah Abbas. Di pesantren ini, Yai Rori hanya belajar selama setengah tahun.

Yai Rori oleh para guru (Kyai) yang membimbingnya sebagai pribadi yang istimewa, berkharisma terpancar dari sosoknya yang sederhana dan pengetahuan agamanya sangat luas. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pengikut maupun yang mendengarkan perkataannya.

Bahkan, menurut keluarga dekatnya sewaktu muda Yai Rori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Meski mondhok (jadi santri) tak teratur, berpindah-pindah tapi beliau mampu menyerap ilmu agama dengan sangat baik dari Pondok Pesantren yang pernah disinggahi.

Konon saat Yai Rori belajar di Pondok Pesantren, diketahui oleh santri lain bahwa Yai Rori malah tidak aktif mengikuti kegiatan belajar mengaji (membaca kitab). Ketika hal itu dilaporkan kepada KH Mustain Romli selaku pengasuh Pondok Pesantren malah memakluminya. “Biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” ucap KH Mustain Romli saat itu.

Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan Yai Rori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT).

KH Muhammad Utsman Al Ishaqy, ayah Yai Rori juga merasa kagum atas kepintaran anaknya. Bahkan, Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau belajar mengaji kepadanya.”

Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus Kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Padahal saat itu usai Yai Rori masih relatif sangat muda yakni 30 tahun.

Perjalanan Dakwah

Sejak muda, tanda jika Yai Rori akan menjadi seorang tokoh panutan atau ulama besar yang kharismatik sudah nampak jelas oleh orang-orang dekatnya. Terutama saat beliau sedang menuntut ilmu agama di beberapa Pondok Pesantren (Ponpes), mulai dari ponpes yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Jawa Barat.

Yai Rori muda yang saat itu akrab disapa Gus Rori berdakwah dengan menyasar kaum muda (milineal) atau pemuda jalanan yang biasa keluar atau berkeliaran diwaktu malam hari. Padahal, saat itu KH Muhammad Utsman Al Ishaqy masih membutuhkan tenaga beliau untuk membantu mengajar di Ndalem sebutan Ponpes Raudlatul Muta’allimin Darul ‘Ubuudiyyah yang berlokasi di kelurahan Jatisrono, Kecamatan Semampir, Surabaya.

Metode dakwah yang dilakukan Gus Rori terbilang cukup unik, yakni dengan mengikuti hobi para kawula muda jalanan. Seperti bermain musik, nongkrong, ngopi dan lainnya yang biasa dilakukan anak-anak muda saat itu. Sehingga anak-anak muda yang didekatinya, sedikit demi sedikit bisa menerima ilmu yang diselipkan oleh Gus Rori melalui cangkrukan disertai obrolan ringan ketika mereka semua sedang bercengkrama atau berkumpul.

Metode dakwah yang diterapkan Gus Rori sangat mirip dengan apa yang dulu pernah dilakukan oleh para Wali pendakwah Islam generasi awal ketika masuk di Indonesia. Khususnya di tanah Jawa, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sunan yang lantas dikenal dengan istilah Wali Songo (Sembilan Wali).

Dimana, cara Wali Songo berdakwah pada waktu itu adalah melalui proses akulturasi budaya Islam dan budaya lokal yang telah mengakar kuat ditengah-tengah kebiasaan masyarakat. Para Wali atau Sunan tidak lantas langsung ‘membabat habis’ budaya-budaya lokal yang pada waktu itu bisa dibilang ‘kurang Islami’ seperti wayangan, gendingan, kendorenan (kenduri), dan lain sebagainya.

Jamaah Al Khidmah saat mengikuti Majelis Dzikir Manaqib dan Maulidurrasul Muhammad SAW. Foto: ist

 

Namun, budaya-budaya lokal justru digunakan sebagai sarana pendekatan ataupun sarana untuk menarik minat penduduk pribumi terhadap Islam. Sehingga, setelah timbul ketertarikan dalam diri penduduk pribumi, pada tahap selanjutnya, secara psiklogis mereka tentu juga akan lebih siap untuk menerima dakwah Islam.

Apa yang dilakukan oleh Yai Rori muda pun kurang lebih juga sama seperti itu. Beliau tidak langsung justifikasi atau melarang, aktivitas-aktivitas kurang produktif (untuk tak menyebutnya: kurang bermanfaat, seperti cangkrukan dan lainnya) yang telah menjadi kebiasaan dari para pemuda jalanan di Gresik yang menjadi obyek dakwah pertama Beliau pada waktu itu.

Namun, aktivitas-aktivitas para pemuda justru dijadikan oleh Gus Rori sebagai ‘pintu masuk’ untuk memulai membimbing mereka dalam misi dakwanya. Dibalut dengan tutur katanya yang halus, lembut dan santun serta telaten. Para pemuda yang beliau dekati akhirnya terpengaruh oleh dibimbingnya dan mau diajak agar tidak hanya berkumpul-kumpul dengan sesama komunitasnya (kelompoknya) saja. Tetapi juga dibimbingnya untuk mau ikut kumpul-kumpul, bersama dengan orang-orang shaleh melalui Majlis Dzikir maupun pengajian agama.

Pola pendekatan yang sangat mengena itu, pelan-pelan membuat para pemuda yang didekati Gus Rori menjadi semakin terkesan dan tertarik oleh bimbingan Gus Rori. Hingga akhirnya para pemuda yang merasa senang dengan kepribadian beliau, menjadi patuh dan nurut untuk diajak apapun termasuk mengadakan Majelis Manaqiban dan pengajian di Gresik.

Seiring dengan terus berjalannya waktu, semakin lama semakin banyak pula pemuda Gresik yang tertarik dengan metode ataupun konsep dakwah yang diterapkan oleh Gus Rori. Bahkan, Majelis Manaqiban yang pertama kalinya digelar di kampung Bedilan, Gresik menjadi cikal bakal dari kegiatan besar yang sangat familiar dikenal masyarakat dengan istilah Manaqib dan Majelis Dzikir, Maulidurrasul Muhammad SAW digelar sebagai represntasi dakwah yang beliau lakukan.

Seiring dengan perjalanan waktu, kegiatan yang digagas Gus Rori terus berkembang dengan cepat hingga harus diadakan secara rutin pada setiap bulannya dengan membaca Manaqib Syaikh Abdul Qodir Al Jilany, pembacaan Maulid (Maulidurrasul Muhammad SAW) dan tanya jawab keagamaan yang langsung dijawab oleh Hadratus Syech Romo KH Achmad Asrori Al Ishaqy.

Kumpulan atau Jamaah Majelis yang digagas dan dipimpin KH Achmad Asrori Al Ishaqy, awalnya oleh beliau diberi nama KACA (karunia cahaya agung). Namun, oleh beliau nama itu diganti dengan sebutan Orong-Orong agar lebih familiar atau gampang diingat latar belakang anak-anak muda yang mengikutinya. Secara harfiah, Orong-Orong adalah binatang melata yang biasa keluar pada malam hari.

Secara filosofis, pemberian nama Orong-Orong disesuaikan dengan perilaku anak-anak muda pengikut Gus Rori saat itu yang rata-rata memang mempunyai latar belakang kebiasaan keluar pada waktu malam hari.

Dalam perkembangannya, nama Orong-Orong ini menjadi emblem jati diri para pengikut setia (Jamaah) yang kemudian menjadi lebih terkenal ditengah-tengah masyarakat luas dibandingkan dengan nama KACA. Bahkan, Orong-Orong inilah yang saat ini telah bermetamorfosis menjadi embrio dari lahirnya nama Jamaah Al Khidmah.

Meski saat memulai misi dakwa terbilang masih muda, tapi ketokohan Gus Rori yang kharismatik serta sikap Beliau yang non partisan (netral) terhadap kelompok Islam tertentu maupun terhadap partai politik tertentu. Membuat Beliau sangat disegani, oleh berbagai kalangan masyarakat dari strata sosial serta kelompok yang berbeda-beda hingga petinggi pemerintahan.

Majelis yang Beliau pimpin tidak bersifat eksklusif, tapi inklusif terbuka secara umum dan luas bagi siapapun untuk masuk dan mengikutinya tak peduli dari kelompok manapun. Maka tak mengherankan jika dalam Majelis yang Beliau pimpin, semua kalangan membaur menjadi satu. Sehingga, masyarakat maupun orang-orang dilingkungan pemerintahan yang notabenenya mempunyai pandangan keagamaan atau politik yang berbeda-beda saat itu. Sering kali terlihat rukun serta mau untuk duduk bersama-sama dalam Majelis yang dipimpin beliau KH Achmad Asrori Al Ishaqy.

Pandangan Santri, Murid dan Masyarakat

Menurut salah seorang Jamaah Al Khidmah Gresik, yang mengklaim diri dulunya sebagai Orong-Orong, Muhammad M (45) bahwa hampir semua orang dari berbagai latar belakang. Mulai, orang biasa, pengusaha, pejabat tinggi negara, kepala pemerintahan, pembesar dijajaran TNI maupun Polri, hingga pimpinan perusahaan dibuat takjub dan manut oleh petuah dan bimbingan dari KH Achmad Asrori Al Ishaqy.

“Saya saksinya dan mengetahui sendiri atas ke kharismatikan beliau Hadratus Syach Romo KH Achmad Asrori Al Ishaqy saat mempimpin kegiatan Majelis Dzikir, Manaqib dan Maulidurrasul Muhammad SAW dimanapun saja. Selalu seperti magnet yang diikuti oleh ribuan jamaahnya. Bahkan orang-orang penting, di era pemerintahan Presiden Suharto.”

Sehingga setiap Majelis yang diselenggarakan Romo Yai Asrori, selalu diikuti oleh Menteri, juga Gubenur, Bupati maupun pejabat tinggi dimiliter dan kepolisian. Mereka semua membaur bersama menjadi satu dengan khusuk mendengarkan bimbingan beliau Romo Yai Asrori dan tak jarang sampai harus menitihkan air mata saat ikut berdzikir bersama dan mendengarkan panjatan doanya.

“Presiden BJ Habibi pun juga pernah ikut hadir dalam Majelis Dzikir, Manaqib dan Maulidurrasul Muhammad SAW yang berlangsung di Gedung Grahadi Surabaya (Kantor Gubenur Jawa Timur),” beber Muhammad.

Jamaah Al Khidmah. Foto: ist

 

Muhammad mengaku sejak tahun 1993 silam, dirinya aktif mengikuti kegiatan yang dipimpin KH Achmad Asrori Al Ishaqy.

“Saya dulu rutin mengikuti kegiatan Hadratus Syech Romo Yai Asrori, sejak usia saya masih belasan tahun. Saya selalu ikut kegiatan beliau, tak hanya di Gresik dan Surabaya saja. Tetapi saya juga mengikutinya hingga ke Malang, Jombang hingga ke Jakarta bersama rombongan kawan-kawan Orong-Orong saat itu,” tuturnya.

Tak terbantahkan disetiap kegiatan Majelis Dzikir, Manaqib dan Maulidurrasul Muhammad SAW yang rutin digelar Yai Rori, baik di Gresik maupun di Ponpes As Salafi Al Fitrah Surabaya maupun daerah lainnya. Selalui dipenuhi jamaah yang bukan hanya orang-orang biasa, tetapi juga Ulama-Ulama besar baik dari Indonesia maupun Timur Tengah.

“Bahkan dulu, ada istilah penganjian Minggu Akhir di Ponpes Ndalem Sawah Pulo Surabaya yang sering saya ikuti setiap Badha Asar (setelah Sholat Asar). Karena, Jamaahnya kian membludak dan banyak hingga tidak mampu menampung. Acara Minggu Akhir ini, setahu saya kemudian dipindah ke Ponpes Al Fitrah Kedinding dan waktu kegiatannya diganti dari yang sebelumnya sore menjadi pagi. Jamaah yang hadir disetiap kegiatan Minggu Akhir, ada yang datang dari, Malaysia, dan Singapura,” katanya.

“Kegiatan keagamaan yang dipimpin langsung oleh Romo Yai Rori, tak hanya sebatas pada Majelis Dzikir, Manaqib dan Maulidurrasul Muhammad SAW saja. Namun, juga ada kegiatan rutin pada setiap tiba bulan Ramadhan. Yakni, Sholat Malam berjamaah yang diberbagai Masjid secara bergiliran,” tandasnya.

Harus diakui, sejak Yai Rori RA membuka pengajian rutin bulanan di Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah Surabaya, banyak membawa keberkahan. Seperti, kenakalan remaja berkurang drastis dan kegiatan anak-anak muda di Gresik khususnya menjadi agamis (religius).

Sedangkan bagi masyarakat Surabaya ada berkah tersendiri terutama bagi yang tinggal disekitar pondok atau yang ditempati kegiatan. Sebab roda perekonomian masyarakat, terutama para pemilik warung makan atau warung kopi, pemilik kos-kosan/penginapan, hingga, abang tukang becak, sopir angkot, taksi, dan berbagai jenis usaha/profesi lainnya ikut mengalami peningkatan penjualan sangat signifikan terimbas barakoh Majelis.

Dagangan apapun yang dijualnya saat momen Majelis digelar selalu ramai oleh pembeli. Bahkan, sopir angkot, taksi hingga angkutan umum juga merasakan imbas dengan memperoleh peningkatan income (pendapatan). Sebab, kendaraan jenis apapun saat ada kegiatan Majelis selalu dipenuhi penumpang yang hendak ikut maupun akan pulang dari kegiatan Majelis.

Metamorfosis Orong-Orong menjadi Al Khidmah, sebutan bagi jamaah Majelis Dzikir Manaqib dan Maulidurrasul Muhammad SAW dilakukan oleh KH Achmad Asrori Al Ishaqy. Didasari atas kesadaran beliau, bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya. Sehingga, beliau kemudian berfikir jauh ke depan demi keberlangsungan pembinaan jamaahnya yang jumlahnya jutaan orang agar bisa tetap terwadahi dengan baik. Karena, beliau ingin kegiatan yang telah rintisnya itu tetap abadi hingga akhir zaman.

Maka diresmikanlah organisasi keagamaan yang diberi nama Jamaah Al Khidmah. Organisasi ini dideklarasikan secara resmi pada tanggal 25 Desember 2005 di Semarang Jawa Tengah. Dengan tujuan Al Khidmah bisa menjadi fasilitator sekaligus penyelenggara kegiatan semacam Event Organizer (EO) dalam menyelenggarakan Majlis Dzikir, Majlis Khatmil Qur’an, Maulidurrasul Muhammad SAW, dan Manaqib serta kegiatan keagamaan lainnya yang bertujuan untuk syiar Islam.

Terbukti hingga saat ini, Al Khidmah telah menjadi organisasi yang banyak diketahui oleh masyarakat luas. Tak hanya sebatas dalam kegiatan Majelis Dzikir Manaqib dan Maulidurrasul Muhammad SAW saja, tetapi juga Majelis lamaran, Majelis akad nikah, Majelis tingkepan, Majelis memberi nama anak yang baru dilahirkan dan lainnya.

Terbentuk Al Khidmah, menjadikan organisasi ini mampu membina para Jamaahnya bisa lebih terarah dan teratur dengan sangat baik. Apalagi, keterbukaan organisasi Al Khidmah yang tidak membatasi siapapun untuk bisa masuk menjadi anggotanya tanpa harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

KH Acmad Asrori Al Ishaqy wafat pada hari Selasa pukul 02.00 WIB dini hari tepatnya tanggal 26 Syaban 1430 Hijriah atau 18 Agustus tahun 2009 dalam usia 58 tahun, setelah sakit selama kurang lebih 3 tahun. Karena cinta dan sayangnya beliau terhadap santri maupun jamaahnya, Yai Rori meski kondisinya sakit, beliau masih sempat memimpin Haul Akbar di Pondok Pesantren Al Fithrah dengan menggunakan tabung oksigen sebagai alat bantu pernafasan yang disediakan oleh pihak dokter pribadi beliau.

Haul Akbar pada tahun 2009 di Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah Surabaya itu, menjadi kebersamaan Beliau yang terakhir kalinya bersama ratusan ribu jamaah dan santri-santri Beliau. Wafatnya Yai Rori merupakan kehilangan besar bagi para santri Jamaah Al Khidmah, serta murid di Tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah Al Utsmaniyyah yang Beliau pimpin dan telah tersebar hampir di seluruh Indonesia serta beberapa negara di Asia Tenggara.

Wafatnya Mursyid Tarekat yang memiliki ciri khas bahasa atau tutur kata yang santun, lembut, hingga membuat jamaahnya khusyuk dan tak jarang ikut larut dalam tangis saat beliau berdzikir maupun memanjatkan do”a untuk memohon ampunan dan maghfiroh kepada Allah SWT. Meninggalkan kesedihan yang mendalam dan seolah terjadi kiamat kecil bagi para pecinta dan pengagum (santri dan murid) Beliau yang tergabung dalam Jamaah Al Khidmah maupun santri di pondok.

KH Achmad Asrori Al Ishaqy RA dimakamkan dikawasan Masjid lama yang berada di kompleks area Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya. Ketika pembangunan atau perbaikan makam beliau dilakukan, ditemukan sumber mata air tepat di sebelah timur pesarean (makam) Beliau. Meski kawasan sekitar lokasi pemakaman merupakan kawasan yang berdekatan dengan laut, tapi anehnya mata air yang muncul tiba-tiba itu memiliki rasa yang tawar dan tidak asin sedikitpun. Tak hanya itu saja, airnya juga sejuk menyegarkan ketika diminum maupun dibuat untuk bersuci (wudhu).

Kemunculan mata air itu, tentu bagi Jamaah Al Khidmah hal ini mengingatkan pada kebiasaan Beliau semasa membimbing atau memimpin Majelis sering dimintai ‘air barokah’ oleh murid-murid Beliau serta kebiasaan Beliau yang sering terlihat membuka tutup botol air mineral yang disuguhkan kepada Beliau ketika mengikuti majlis-majlis Al Khidmah.

Ketika dalam majlis sowanan dan Beliau dimaturi oleh seseorang yang saudaranya sedang sakit pun misalnya, Beliau biasanya juga akan memintanya untuk mengobatinya dengan air manaqib atau air khushushi. Pada akhirnya, sumber mata air yang ada di sekitar pesarean Beliau tersebut dipugar sedemikian rupa oleh pengurus pondok agar siapapun yang sedang berziarah kepada Beliau, bisa tetap merasakan kesegaran dan keberkahan air barokah dari Beliau, seperti halnya ketika Beliau masih sugeng dulu. Wa Allahu a’lam

Perkembangan Jamaah Al Khidmah

Sepeninggal KH Achmad Asrori Al Ishaqy Jamaah Al Khidmah tetap eksis dalam menyelenggarakan majlis-majlis dzikir tidak beda dengan seperti ketika Beliau masih hidup. Bahkan, anehnya Jamaah Al Khidmah ini secara kuantitas justru mengalami perkembangan yang sangat signifikan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Banyak daerah kabupaten/kota maupun provinsi yang pada saat Yai Rori masih sugeng (hidup) belum ada Jamaah Al Khidmahnya, namun sepeninggal Beliau. Jamaah Al Khidmah bisa muncul dan berkembang pesat di berbagai daerah, begitu pula dengan perkembangan di luar negeri. Seperti di Filipina, Thailand dan di Belgia, Al Khidmah berdiri sebagai organisasi legal (resmi).

Menurut Ketua Pengurus Pusat Jamaah Al Khidmah H M Uripan sampai saat ini kepengurusan jamaah Al Khidmah sudah berdiri di 77 kabupaten/kota di 9 provinsi di Indonesia termasuk di Papua. Sedangkan kepengurusan di luar negeri sudah terbentuk di Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Belgia, dan Saudi Arabia. Bahkan, perkembangannya masuk kedalam kampus-kampus hal itu membuktikan bahwa Jamaah Al Khidmah dicintai seluruh lapisan masyarakat. Maka tak heran jika jumlah Jamaah Al Khidmah mencapai jutaan orang dari berbagai kultur dan budaya yang tersebar diberbagai belahan dunia.

Cerita Kehidupan Sufistik

KH Muhammad Utsman Al Ishaqy RA, ayah KH Achmad Asrori Al Ishaqy RA sudah wafat. Enam tahun sebelum meninggal, ada cerita menarik terkait dengan peristiwa diangkatnya Yai Rori oleh Yai Utsman untuk menjadi Mursyid Tarekat ini.

Dikisahkan bahwa sejak tahun 1975, Yai Rori sebenarnya telah dibujuk oleh Yai Utsman agar bersedia dibaiat dan selanjutnya mau meneruskan tampuk kemursyidan tarekat sang ayah. Namun Yai Rori selalu berusaha menghindar dan mencari-cari alasan agar tidak mengemban amanat yang sangat berat itu. Salah satu alasan yang sempat diungkapkan Yai Rori adalah masih ada beberapa kakak kandung Yai Rori yang lebih tua dari Beliau. Seperti KH Acmad Arifin Al Ishaqy tapi kenapa justru Beliau yang lebih muda yang ditunjuk untuk mengemban amanat besar itu.

Meski demikian, pada akhirnya tepat pada tanggal tepatnya pada hari Senin Pon 17 Ramadlan 1398 H atau 21 Agustus 1978 Masehi. KH Acmad Asrori Al Ishaqy dibaiat dan diangkat sebagai Mursyid Tarekat yang memang sudah dipersiapkan oleh ayahandanya KH Muhammad Utsman Al Ishaqy untuk menggantikannya.

Pengangkatan Yai Rori sebagai Mursyid Tarekat itu, berlangsung di rumah almarhum H. Jamil ayah dari H. Mas’ud yang berlokasi di Kelurahan Kroman, Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik. Saking senangnya dengan hal ini, Yai Utsman langsung mengajak sang putra yang telah lama digadang-gadang agar mau menerima amanat dari para gurunya ini, lantas mengajak Yai Rori untuk berziarah ke makam Kyai Romli Tamim di Peterongan Jombang yang pada waktu itu juga bertepatan dengan haul Beliau.

Peristiwa bersejarah ini, oleh Yai Rori kemudian diabadikan dengan ‘menduplikasikannya’ ke dalam suatu rangkaian majlis dzikir untuk para jamaah Beliau pada setiap tanggal 17 Ramadlan. Yaitu, setelah Ashar diadakan majlis dzikir di sekitar Kroman, dan kemudian dilanjutkan dengan berziarah bersama-sama serta mengikuti majlis haul ke makan Kyai Romli Tamim di Jombang. Dan aktivitas ‘napak tilas’ ini sampai sekarang masih dilaksanakn secara rutin oleh jamaah Al Khidmah.

Dari sang ayah inilah, Yai Rori untuk pertama kalinya menerima pelajaran dan pendidikan sufistik serta tarekat. Dalam gurauannya, Yai Rori sering menyebutkan bahwa Yai Utsman adalah ayah, guru, teman, dan sekaligus musuh. Menjadi ayah saat dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi guru saat belajar. Menjadi teman saat bersama-sama di perjalanan. Dan menjadi musuh saat berdebat membahas ilmu.

Yai Utsman banyak memberikan dasar dan pengaruh dalam kehidupan sufistik Yai Rori. Hal ini dikarenakan Yai Utsman sangat terkenal dengan akhlak Beliau yang mulia. Bahkan, dalam bacaan amaliah khushushi disebutkan bahwa Yai Utsman ini bukan saja sebagai mursyid tarekat, tapi sekaligus juga mursyid akhlak.

Di antara tarbiyah Yai Utsman kepada putranya Yai Rori adalah:

Pertama, penanaman sikap rahmatan lil’aalamiin. Yai Utsman pernah berpesan kepada Yai Rori: “Hadapilah orang awam dengan sikap belas kasih sayang, tidak sekedar dengan ilmu”.

Kedua, penanaman sikap tawadlu’. Yai Utsman berpesan kepada Yai Rori agar selalu membawa kitab, atau setidaknya membawa catatan ketika memberikan mau’idhah, hal ini dilakukan agar terhindar dari sikap sombong dengan ilmu dan kemampuan yang dimiliki. Karenanya, semasa sugengnya dulu, Yai Rori juga sering terlihat membawa/mengantongi, memegang, dan bahkan membuka kitab Iklil ketika memimpin istighatsah ataupun doa tahlil, meski tak selalu dilihat/dibaca.

Ketiga, tuntunan dan bimbingan rabithah, riyadlah, dan mujahadah. Melalui ketiga cara ini, Yai Utsman mencoba untuk mengingatkan bahwa apapun yang diperoleh oleh Yai Rori tidak akan pernah bisa terlepas dari berkah para pendahulu/guru yang disertai dengan kesungguhan usaha dan ikhtiar lahir-batin. Namun, enam tahun berselang setelah pengangkatan Yai Rori sebagai Mursyid Tarekat, Yai Utsman wafat tepatnya pada bulan Januari 1984 dalam usia 77 tahun.

Yai Rori juga bukan tipikal orang yang hanya bisa berdakwah dengan ucapan maupun tulisan saja. Justru tak sedikit pula yang meyakini bahwa antara dakwah Beliau yang berupa dedawuhan dan tulisan (yang tersebar dalam banyak VCD, MP3, serta kitab-kitab karya Beliau) dengan dakwah Beliau yang berupa teladan atau contoh perbuatan secara langsung, jika dihitung, jumlahnya akan lebih banyak yang terakhir disebut ini. Sebab, bahasa perbuatan lebih fasih daripada bahasa ucapan. Dan Beliau tentu mengetahui hal ini serta telah mempraktikkannya hingga dilakukan oleh sejumlah murid-murid beliau saat ini yang tersebar diberbagai wilayah hingga ke Papua dan Timur Tengah. @joss

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...