Mitigasi Untuk Resolusi Aksara Nusantara
Oleh: Nanang Purwono
INDONESIA kaya akan bahasa daerah (ibu). Menurut Balai Bahasa Jawa Timur bahwa Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah. Beberapa bahasa daerah, yang paling banyak digunakan di antaranya adalah Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Madura, Bahasa Bugis, Bahasa Aceh, Bahasa Bali.
Untuk menyatukan etnis yang berbeda beda itu, Indonesia memiliki bahasa persatuan dan sekaligus bahasa Nasional. Yaitu Bahasa Indonesia sebagai mana termuat dalam Sumpah Pemuda. Satu Bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Bahasa adalah salah satu Dari 10 objek pemajuan kebudayaan, yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. UU ini merupakan acuan legal-formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia. Kekayaan Budaya, yang sangat erat dengan bahasa daerah adalah Aksara Daerah.
Karenanya Aksara daerah sebagai bagian dari kebudayaan daerah perlu dilestarikan. Melestarikan aksara daerah dapat mendorong penciptaan ekspresi, yang memperkaya kebudayaan bangsa.
Jika di Indonesia ada lebih dari 700 bahasa daerah. Sementara jumlah Aksara daerahnya ada 12 aksara, seperti Aksara Jawa, Bali, Sunda, Bugis atau Lontara, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Aksara Mandailing, dan Kerinci (Rencong atau Incung).
Aksara-aksara tersebut merupakan bagian dari kekayaan budaya yang kemudian disebut Aksara Nusantara.Aksara Nusantara adalah istilah yang merujuk pada sistem tulisan tradisional, yang digunakan di Indonesia, terutama aksara abugida turunan Brahmi melalui Aksara Pallawa yang masuk ke Nusantara.
Tulisan tradisional ini bukan tulisan yang mengunakan Aksara Latin seperti Huruf A sampai Z. Masing masing Aksara tradisional ini berbeda Dari satu daerah ke daerah lainnya. Itulah kekayaan bangsa Indonesia.
Sangat disayangkan jika kemudian Aksara Tradisional ini semakin pudar seiring dengan perubahan zaman. Semakin disayangkan lagi jika ada daerah di Indonesia malah menggunakan Aksara asing. Seperti di desa Cia Cia, Bau Bau, Sulawesi Tenggara. Masyarakatnya menggunakan Aksara Korea (Hangeul) untuk bahasa Cia Cia. Bahkan aksara ini menjadi Aksara formal di daerah itu.
Aksara Nusantara ini tidak hanya semakin memudar, tetapi terancam akan hilang dan ironisnya malah muncul Aksara tradisional asing, yang sama sekali tidak local wisdom.
Dalam kehidupan modern dewasa ini penetrasi budaya asing akan semakin kuat, jika ketahanan budaya Nusantara ini lemah. Maka cepat atau lambat sendi sendi Kebudayaan bangsa ini kemasukan sel sel Budaya asing. Akibatnya kita akan kehilangan jati diri dan ruh bangsa.
Ketahanan Kebudayaan harus diutamakan sebagai salah satu komponen penting dari ketahanan nasional.
Karenanya setiap daerah, yang masih memiliki Aksara daerah, harus sadar untuk melestarikannya. Semua daerah yang memiliki Aksara daerah harus saling mendukung dan menguatkan untuk bersama sama melindungi dan melestarikan Aksara Nusantara.
Untuk itu dibutuhkan wadah bersama yang kelak bisa menghasilkan produk produk sebagai payung hukum dalam berkegiatan Pelestarian Aksara Nusantara. Dari produk hukum inilah akan lahir pula kegiatan kegiatan praktis dan strategis untuk melindungi dan melestarikan Aksara Nusantara. Wadah apakah itu? Wadah itu bisa berupa Pertemuan besar yang disebut Jambore. Yaitu Jambore Aksara Nusantara. Jambore akan memetakan langkah mitigasi untuk upaya Resolusi Aksara Nusantara.
Mitigasi adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana (terhadap Aksara Jawa) yang dilakukan sebelum dan setelah bencana terjadi.
Resolusi adalah putusan atau kebulatan pendapat, yang berisi tuntutan atau permintaan dalam rapat atau musyawarah demi penyelamatan dan Pelestarian Aksara Nusantara.@
*) Ketua Puri Aksara Rajapatni