Papan Reklame di Viaduk Kereta Api Jalan Sulawesi Disoroti
REKAYOREK.ID Ternyata benar, viaduk kereta api di jalan Sulawesi Surabaya telah tertutupi papan reklame. Isu ini menjadi sorotan DPRD Kota Surabaya.
Tidak cuma itu, ada juga warga Kota yang menghubungi Begandring dan menanyakan kok bisa papan reklame didirikan menutupi bangunan cagar budaya viaduk kereta api di pertemuan jalan Sulawesi dan Kertajaya.
Pada Rabo sore (22/2/2023) Begandring mendatangi obyek yang berlokasi di pertemuan jalan Sulawesi (barat) dan jalan Kertajaya (timur). Tentu Begandring tidak memiliki kapasitas menjawab itu. Pertanyaan warga atas hal hal ganjil yang mestinya dialamatkan ke pemerintah Kota tapi bersarangnya ke Begandring.
Dari pengamatan lapangan, memang dua papan reklame raksasa itu menutupi badan viaduk di kedua sisinya (menghadap ke jalan Sulawesi dan jalan Kertajaya). Masing masing papan reklame ditopang oleh dua tiang pipa berdiameter lumayan besar dan berbingkai besi.
Viaduk sisi timur sudah ada reklame nya. Berisi reklame otomotif mobil. Sementara viaduk sisi barat masih kosong tapi terbungkus lembar media berwarna putih dan siap dipasang reklame. Secara fisik, dua bingkai reklame ini terpasang di atas relung viaduk. Sebagian badan (separuh) viaduk bagian atas tertutup reklame.
Akibatnya bingkai reklame ini meninggi dan hampir menutupi atap kereta api jika ada kereta lewat. Secara fisik kontruksi reklame memang tidak menyentuh body viaduk. Tapi secara estetika merusak pemandangan.
H.P. Berlage, bapak arsitektur moderen ketika memberi ceramah di Dewan Kota pada 1923 terkait dengan pembangunan jembatan Gubeng mengatakan bahwa konstruksi jembatan harus estetika selain fungsi yang menghubungkan kawasan Gubeng dan Simpang.
Para arsitek di Hindia Belanda dalam mendesign karya arsitektur selalu memikirkan estetika selain fungsi. Tidak hanya rumah dan gedung, tapi juga jembatan jembatan, termasuk viaduk viaduk kereta api.
Secara fisik pagar atau tepian viaduk dibuat tidak tinggi agar penumpang kereta bisa melitah pemandangan urban, lalu lintas kendaraan. Ini menjadi hiburan bagi penumpang kereta api agar tidak bosan dengan pemandangan hamparan sawah.
Sebaliknya, bagi pengguna jalan seperti mobil, motor, sepeda, dokar dan lain sebagainya juga bisa melihat keindahan viaduk yang dilalui kereta. Ada beberapa viaduk kereta api di Surabaya: di jalan Sulawesi, jalan Gembong, jalan Kapasari, jalan Bubutan dan jalan Pahlawan. Semua tepian viaduk dirancang berpagar rendah.
Sekarang viaduk menjadi sasaran penempatan reklame. Menguntungkan bagi pihak tertentu dan merugikan pihak umum. Viaduk di pertemuan jalan Sulawesi dan jalan Kertajaya adalah lokasi strategis karena kawasan ini merupakan salah satu kawasan bisnis di kota Surabaya.
Demi estetika dan demi perlindungan cagar budaya, di obyek cagar budaya ini pernah ada larangan pemasangan reklame. Sekitar tujuh tahun lalu ada larangan penempatan reklame pada dan di depan bangunan cagar budaya karena dianggap mengganggu dan merusak cagar budaya.
Adalah Vinsensius Awey, yang saat itu sebagai anggota dewan (2014-2019), demi tegaknya perda Cagar Budaya, ia bersikeras menolak pemasangan reklame di BCB dan di depan BCB yang dianggap mengganggu. Ia “berperang” melawan kebijakan kota saat itu.
Akhirnya, tidak hanya obyek viaduk yang dilarang, koridor jalan Tunjungan yang penuh dengan reklame juga harus bersih dari papan reklame. Setelah penurunan papan reklame, jalan Tunjungan langsung terlihat terang dan vintage.
“Kala itu di era walikota Tri Rismaharini. Saya bisa memaklum jika sdah ada penghapusan status cagar budaya pada obyek itu. Namun jika belum ada penghapusan, ini namanya pelanggaran perda Cagar Budaya”, kata Awey.
Isu ini ternyata sudah menjadi perhatian Imam Syafi’i, anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, yang sekaligus sebagai anggota Pansus Penataan Kawasan Reklame. Ia menyoroti keberadaan papan reklame yang menutupi Viaduk kereta api di jalan Sulawesi. Pasalnya viaduk itu masuk dalam daftar Bangunan Cagar Budaya kota Surabaya.
“Bangunan cagar budaya tidak boleh dikurangi atau ditambah dengan hal-hal lain. Itu sudah bertahun-tahun lalu dan aturan itu belum dicabut,” ujar Imam Syafi’i yang mantan Redaktur Jawa Pos dan direktur JTV.
Dikhawatirkan jika satu BCB diduga dinodai dengan pelanggaran, maka dikhawatirkan akan ada pelanggaran pelanggaran serupa di kemudian hari.
Lebih jauh, Imam menegaskan, kalau bangunan cagar budaya diperbolehkan dipasang papan reklame yang akibatnya merusak fisik atau merusak estetika, itu adalah pelanggaran. Padahal bangunan cagar budaya itu harus dilindungi dari kerusakan.
“Sekarang ada di Viaduct Gubeng, terus nantinya bisa jadi akan ada bangunan cagar budaya lainnya yang dipasang papan reklame juga. Ini kan jelas aturannya. Kalau tidak boleh, ya sudah batalkan saja izinnya,” ujarnya.
Dalam sebuah dengar pendapat (hearing) di DPRD Kota Surabaya, menurut Imam, bahwa Dinas Cipta Karya sebagai terundang atas nama pemerintah kota bisa mengeluarkan ijin karena telah mendapatkan rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya.
Ketika Ketua Tim Ahli Cagar Budaya, Ir. Retno Hastijanti dikonfirmasi, ia mengatakan bahwa warga kota bisa menanyakan langsung ke rapat TACB yang diadakan di kantor Disbudporapar Kota Surabaya di gedung Siola setiap hari Kamis siang.
Sementara itu Ketua Pansus Penataan Kawasan Reklame DPRD Kota Surabaya, Arif Fathoni, menegaskan bahwa bangunan cagar budaya tidak boleh ada titik reklame.
Karenanya terkait papan reklame di Viaduct Gubeng yang sudah diterbitkan IPR oleh Pemkot Surabaya, Toni menyatakan bahwa Pemkot Surabaya harus meninjau ulang atau membatalkan IPR tersebut.
Obyek yang sudah berstatus cagar budaya, menurut undang undang harus dilindungi. Sementara menurut Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, A. Hermas Thony, walikota Surabaya Eri Cahyadi sudah ada keberpihakan terhadap bangunan cagar budaya.
“Komitmen itu nampak dengan dilanjutkannya penataan Kawasan Cagar Budaya Tunjungan menjadi Tunjungan yang berlabel “Tunjungan Romansa”. Suatu pengembangan yang berbasis Cagar budaya. Artinya visualisasi vintage dari Cagar budaya ditampakkan. Dengan kasus viaduk kereta api di jalan Sulawesi, yang sudah tampak kok mau ditutupi. Ini sangat ironis”, jelas Thony.
Banyak bangunan Cagar budaya di kota Surabaya. Pun juga banyak bangunan yang diduga sebagai bangunan Cagar budaya.
“Dulu, walikota sebelum Pak Eri sudah memotong reklame yang berdiri megah di situ, dengan konsekwensi Pemkot kehilangan pajak reklame yang nilainya besar demi tujuan agar viaduk bisa terekplorasi secara lebih utuh di mata masyarakat. Spirit baik itu diteladani dan tindak lanjuti oleh spirit walikota sekarang dengan langkah mengupas semua ornamen yang menutupi BCB di jalan Tunjungan, dan hasilnya luar biasa”, jelas Thony.
Thony menambahkan bahwa arsitektur lama yang tidak pernah dilihat oleh masyarakat menjadi inspirasi. Kawasan yang dulu ditinggalkan, sekarang banyak digandrungi, menjadi jujugan warga. Tunjungan menjadi magnet.
“Begitu berhasil, lha kok viaduk yang menjadi panutan pembongkaran reklame reklame lainnya saat itu, sekarang kok mau dipasangi reklame lagi. Mesakne Mas Wali”, tambah Thony.
Fenomena ini menggambarkan spirit baik walikota, tetapi ditangkap terbalik oleh pihak pihak tertentu. Ini paradoks dan bahaya jika diteruskan dalam proses pembangunan masa depan.
“Jadikanlah langkah walikota sebagai panutan dan patron, karena kebijakan walikota adalah upaya mewujudkan RPJMD yang sudah ditetapkan untuk kemajuan surabaya 5 tahun kedepan”, pungkas Thony.@nanang