Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Parkir

Oleh: Anggie D. Widowati

Pagi yang cerah. Seorang lelaki gemuk duduk bersantai sambil merokok. Namanya Hamidi, tetapi biasa dipanggil Onta. Mungkin karena kulitnya kecoklatan dan tubuhnya besar. Wajahnya pun bloon tak berdosa seperti seekor unta.

Laki-laki itu duduk di kursi dari ban bekas di depan rumah kontrakannya. Asap mengepul dari mulutnya, ditemani segelas kopi hitam dan pisang goreng buatan mak Rus warung sebelah.

Karena pagi sudah lumayan gerah, dia mencopot kaosnya dan hanya mengenakan sarung kotak-kotak warna biru tua yang sudah lusuh.
Ada beberapa lubang di sarung itu, akibat percikan bara rokok yang melompat dari mulutnya.

Sepiring pisang goreng mengundang selera, pisang dan kopi itu berdampingan di meja berbahan ban bekas yang terlihat kokoh. Kopi dan pisang goreng adalah sarapan yang sempurna pagi itu.

Sesekali diliriknya telepon genggam yang tergeletak di sebelah piring itu. Lalu berpaling lagi memandangi jalanan gang dari salah satu pintu seng yg terbuka. Begitu santainya dia mengepulkan asap rokok.

Kontrakan itu berada di tengah kebun Haji Daim. Sebelumnya adalah bengkel las. Setelah pengontraknya pindah, Onta mengantikan sebagai pengontrak yang baru.

Rumah itu hanya sederhana, meskipun sudah ditembok tetapi belum seluruhnya jadi. Belum dicat dan masih berlantai semen. Seluruh rumah dan halaman ditutup dengan seng, hingga rumah itu tak terlihat dari luar.

“Tok, tok, tok,” seseorang mengetuk gerbang seng.

“Masuk,” kata Onta.

Dua laki-laki masuk ke halaman kontrakan itu. Onta tersenyum menyambut mereka.

“Ini bang Onta?” tanya seorang laki-laki kurus bercelana jins berjaket parasit biru tua.

“Betul, ada keperluan apa?”

“Saya Sopyan, dan ini teman saya Adip,” kata orang itu lagi.

Onta membetulkan duduknya dan mematikan rokok yang sudah pendek, lalu dia mengambil sebatang lagi dan menyalakan rokok itu.

“Silakan duduk,” katanya.

Dua tamunya pun duduk di kursi dari ban yang kosong di depan Onta.

“Saya mau minta tolong bang,” kata Sopyan.

“Kami ini penjaga parkir swalayan Mama Mart, ada lima lokasi di daerah Pahitan ini. Semua menjadi wilayah kekuasaan kami, tapi kebanyakan pemilik swalayan tak mau menggunakan jasa parkir kami,” kata Adip mengutarakan maksud tujuannya menemui Onta.

“Kalian diusir?”

“Enggak secara terang-terangan, mulai dua hari yang lalu, mereka pasang tulisan: ‘parkir gratis’, jadi kami gak bisa berkutik,” kata Adip.

“Pembelinya pun begitu, sering tak mau bayar, mungkin karena tulisan itu.”

“Terus maunya kalian apa?”

“Katanya bang Onta bisa membuat mereka mau menerima penjaga parkir,” kata Sopyan.

“Ya sudah, nanti selama seminggu akan beraksi, kalian penjaga parkir jangan ikut campur, kalian pergi dari wilayah itu sampai kami selesai melakukan aksi.”

“Berapa lama bang?”

” 2-4 bulan.”

“Lama sekali.”

“Biar terlihat natural, ini harga jasa kami, mau tidak,” kata Onta menyodorkan kertas dengan corat-coret pensil.

“Kalau dua bulan kami makan apa bang?”

“Ya terserah, mau ngamen atau ngemis terserah kalian, bukan urusan saya, mau apa enggak?”

Sopyan dan Adip saling berpandangan. Lalu mereka berbisik dan Adip kemudian mengatakan persetujuan dengan Onta.

“Berikan saya DP dulu,” kata Onta kemudian.

“Bukannya nanti bang, langsung dibayar lunas,” kata tukang parkir itu.

“Kalau tidak ada DP gimana saya bayar anak buah saya?”

Sopyan melirik Adip memberikan isyarat. Adip membuka tas kecilnya dan mengeluarkan dompet.

“Berapa bang?”

“Dua juta,” kata Onta menatap tajam mata Adip.

*

Siang yang panas. Onta dan dua anak buahnya Manto dan Gufron duduk dijok motor, tak jauh dari Mama Mart.
Seorang wanita dengan dua anak kecil memasuki halaman Mama Mart dan memarkir motor maticnya di halaman. Wanita ini menjadi target.

Ibu itu menggendong anaknya yg kecil dan menuntun anaknya yang lain yang kira-kira usia masuk sekolah dasar.
Onta melirik Gufron untuk mengikuti ibu itu.

Dengan langkah tenang Gufron masuk ke swalayan belagak berbelanja. Dia mengikuti ibu itu dengan memegang keranjang belanjaan yang diisi beberapa bungkus mie instan.

Si ibu terlihat repot memegang tangan anaknya dan menggendong salah satunya. Namun si anak sulung berlarian kesana kemari membuat ibu itu kesal. Setelah beberapa saat ibu target itu terlihat mengantri di kasir.

Keranjangnya tergeletak di lantai didorongnya dengan kaki. Ketika ibu itu mau maju ke kasir Gufron mendahuluinya, laki-laki itu menyerobot antrian.

“Bang belakang saya,” kata si ibu.

“Saya buru-buru,” kata si Gufron.

“Nggak boleh begitu bang, kata laki-laki yang mengantri di belakang ibu muda itu.

“Tidak usah ikut-ikutan.” kata Gufron pada lelaki itu.

Setelah pembeli di depan Gufron selesai. Tibalah giliran laki-laki itu di kasir. Gufron mengeluarkan beberapa bungkus mie instan dan satu batang sabun.

“Yang ini beli dua gratis satu ya mbak.” Tanya Gufron pada kasir sambil menunjukkan bungkusan mie instan.

“Ada tulisannya nggak Pak.”

“Tidak ada, yang sebelahnya yang ada sih.”

“Sebentar saya cek dulu ya,” kata si kasir sambil melangkah ke rak mie instan.

Beberapa saat kasir itu berada di antara rak-rak itu untuk mengecek diskon seperti yang dikatakan Gufron. Tak lama kemudian dia muncul kembali dan berdiri di belakang meja kasir.

“Yang ini tidak diskon pak, bapak mau.”

“Harganya.”

“Tetap 3000.”

“Bukan dua gratis satu.”

Kasir itu menggeleng. Kalau yang rasa soto mie aja yang diskon.

“Ya sudah ini saja,” kata Gufron.

Gufron merasakan si ibu target tadi terlihat gelisah. Dua anaknya mulai merengek dan rewel. Begitu pun dengan laki-laki yang ada di belakang itu.

Gufron sengaja memperlama dengan mencari uangnya di dalam tasnya. Dirogoh dengan tangannya yang kasar dan hitam, tak juga ketemu uang itu. Dia pun kemudian menuangkan isi tasnya di meja kasir.

Uang recehan bertebaran di meja, dan Gufron menghitung uang recehan itu satu-persatu dan diberikan kepada kasir yang wajahnya mulai memerah menahan marah.

“Cepetan napa bang, lelet amat sih bayar aja,” kata bapak tua merasa kasihan pada ibu yang kerepotan.

“Sabarlah pak, saya lupa menaruh uang itu dimana.”

“Makamya kalau mau belanja disiapin dulu uangnya.”

Gufron diam saja, tidak menjawab laki-laki yang mulai kesal pada di pencuri antrian itu.

*

Di luar, Manto, beraksi ketika ibu dua anak yang menjadi target itu masuk swalayan. Sementara Gufron memperlama ibu itu belanja, Manto mulai membuka stop kontak motor matic itu dengan kunci T.

Dia dipekerjakan oleh Onta karena keahliannya mencuri motor. Dia sudah ahli menyalakan motor apapun, matik maupun manual.

Setelah beberapa saat Manto sudah menyalakan motor matic curian itu dan kabur.

Onta masih menunggu Gufron yang mematai korban di dalam swalayan. Begitu motor curian dibawa kabur, Onta dan Gufron menyusul meninggalkan lokasi itu.

Tak beberapa lama, terjadilah kehebohan di halaman swalayan, karena hilangnya sebuah motor. Ibu dan anak-anaknya yang masih kecil itu menangis setelah tahu motornya dicuri.

Gufron dan Onta langsung menuju lokasi penadah di wilayah yang lumayan jauh dari lokasi pencurian.

“Bagaimana CCTV-nya tadi bang?” tanya Gufron.

“Santai, aku sudah menyogok karyawan biar mematikan CCTV-nya.”

Setelah kejadian itu, Onta menyebarkan isu bahwa Mama Mart itu, tidak aman. Kronologi si ibu dengan dua anak yang berbelanja dan kecurian itu tersebar kemana-mana.

“Ibu itu bawa dua anak, kasihan, pas keluar supermarket, motornya sudah tak ada,” kata si Onta pada tetangganya yang sedang ngumpul di teras salah satu rumah.

“Berarti tempat itu tidak aman,” sahut tetangganya.

“Biasanya di situ kan ada bang parkir, kemanakah mereka,” kata yang lain.

“Entahlah, tidak ada tukang parkir,” kata si Onta.

Seminggu kemudian di swalayan yang berbeda terjadi pencurian motor. Onta dan teman-temannya adalah pelaku pencurian motor itu. Seperti dalam peejanjiannya Onta akan mencuri motor di lima swalayan lima wilayah kekuasaan Adip dan Sopyan.

Setelah pencurian bertubi-tubi, masyarakat yang heboh. Mereka memilih berbelanja yang ada tukang parkirnya, meskipun jaraknya jauh.

Melihat pembelian masyarakat yg menurun, para manager melakukan rapat dengan sesama manager di Mama Mart. Dari rapat itu diputuskan untuk mempekerjakan para tukang parkir. Dua tukang parkir yang pernah ada di situ pun dipanggil untuk keperluan itu.

“Karena mengingat rawannya pencurian di Mama Mart, dan kami takut swalayan menjadi sepi, saya meminta anda menjadi tukang parkir di Mama Mart. Kami punya lima Swalayan yang butuh tukang parkir,” kata salah satu manager.

Sopyan dan Adip pun bersedia, mereka mengumpulkan para tukang parkir di wilayah itu untuk berbagi lokasi dan waktu.

“Terima kasih bang Onta, sekarang kami sudah markir di Mama Mart,” kata Sopyan lewat Wa.

“Yang penting lunasi dulu uang sisanya,” balas Onta sambil menyesap kopi paginya.@

Sumber: anggiedwidowati.blogspot.com

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...