Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

May Ling

Oleh: Anggie D. Widowati

Aku membuka email dan menemukan pesan yang tak terduga. Pesan pendek itu, dari May Ling, alias Ling Ling. Ling Ling, sahabatku masih keturunan China. Matanya sipit. Kulitnya putih bersih seperti kulit buah langsat. Dan dia pernah mengajariku tentang suatu hal yang menjadi prinsip hidup orang China: ulet dan kerja keras.

“Semua ini hampir membuatku gila, tetapi kemudian aku mengundang Mami tinggal di rumah, Lee sangat senang dan Samantha juga berubah. Akhirnya kami bersama lagi, berempat, aku, Mami, Lee dan Samantha. Setelah ada Mami di rumah, Steve, adik kesayanganku jadi punya alasan untuk menengokku. Padahal hampir dua tahun kami tak saling bersapa.”

Ling Ling menghilang beberapa tahun yang lalu, setelah perkawinannya dengan Chuck kandas. Perkawinan atas dasar perjodohan itu tak mampu mengikat mereka, setelah keduanya kemudian menyadari bahwa cinta tak berpihak kepada mereka. Chuck jatuh cinta pada perempuan lain, dan May Ling tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan bahtera rumah tangganya.

Aku membuka lap top dan mencari data-data lama. Nomor telepon dan alamat teman dari masa ke masa aku simpan di lap top. Ku cari nama May Ling.

Lalu aku mencatatnya pada secarik kertas. Dan berjalan ke ruang tengah untuk menelpon. Tetapi sia-sia. Nomor itu sudah tidak berfungsi. Akhirnya aku kembali ke kamar dan memasang modem di lap topku. Aku buka kembali email itu.

To: [email protected]
Senang mendengar kabarmu. Aku berusaha menelpon tetapi nomor yang aku miliki sudah tak berfungsi. Maukah kamu memberiku nomor yang baru?
Please Reply.

Beberapa saat kemudian, Ling memberi nomor telepon, nomor rumah usaha di Surabaya dan juga alamat lengkapnya.

To: [email protected]
Teleponku 0312267456, alamatku, jalan Kembang Jepun, 42E, Surabaya.

Sil, aku ingin kamu berkunjung ke rumahku. Aku ingin kau melihat aku, Mami, Lee dan Samantha mengelola toko. Kami harus bekerja keras untuk membangun kembali hidup kami. Kami bisa meskipun tanpa Chuck.

Aku naik kereta eksekutif dari Gambir dan turun di Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Aku menghabiskan malamku di kereta dengan lap topku. Menyelesaikan tulisan yang harus dead line hari ini. Tetapi tak ada satu kata pun yang mau keluar dari pikiranku. Akhirnya aku tutup kembali lap top dan aku mencoba mengingat-ingat wajah Ling.

Mungkin dua atau tiga tahun yang lalu aku terakhir bertemu Ling. Ling tinggi, putih dengan rambut sepunggung yang disemir merah. Ling sangat cantik. Dua anaknya Lee si sulung dan Sam, selalu diajak kemana-mana ketika dia pergi. Aku berkenalan dengan perempuan China itu, ketika mereka masih tinggal di Jakarta.

Dari luar, mereka adalah keluarga yang ideal, Ling yang cantik, dan suaminya Chuck yang tampan dan sukses. Tetapi dibalik semua itu, mereka menjalani kehidupan perkawinan yang rapuh.

“Suamiku memiliki kekasih,” kata Ling.

“Ah, nggak mungkin, Chuck orang baik,” ujarku.

“Dia memang baik, bahkan sangat baik, tetapi dia tidak mencintaiku,” katanya.

“Sedangkan kamu sendiri gimana? Apakah kamu mencintainya, Ling?”

Ling menggeleng.

“Kami dijodohkan, aku bertahan hanya untuk Lee dan Sammy, tetapi sebetulnya aku tersiksa.”

“Kalian tidak saling belajar untuk mencintai?”

“Hati tak bisa dibohongi.”

Aku bahkan tak dikabari ketika Ling dan Chuck bercerai. Dan dua anaknya ikut Ling. Setelah itu Ling menghilang. Aku tak pernah berhasil menghubunginya lagi. Nomor telepon Chuck juga ganti, aku kesulitan untuk menghubungi mereka berdua.

Pukul delapan pagi, kereta sampai di stasiun Pasar Turi. Aku menenteng tas travel kecil di tangan kananku dan tas lap top di pundak kiriku. Pagi masih dingin. Kabut tipis membayang di atas deretan rel yang menggigil kedinginan. Beberapa orang calon penumpang tidur di kursi peron, menunggu keretanya datang.

Seorang perempuan menyapaku. Kupalingkan wajahku padanya, May Ling. Perempuan itu membentangkan tangannya untuk menyambutku.

“Sisil…”

Aku memeluknya.

Ada seorang anak perempuan enam tahun. Samantha. Anak itu memandangi kami berpelukan. Lalu aku menariknya untuk bergabung. Aku tahu Ling masih kangen padaku. Ada ikatan antara kami berdua, ikatan entah.

“Aku gagal,” katanya.

Itu adalah kata-kata yang haram diucapkan oleh orang China. Kami melepaskan pelukan, lalu berjalan menyusuri koridor stasiun menuju halaman parkir.

“Apa kabar bojomu?” tanyanya.

“Kami juga pisah.”

Ling kaget. Mata sipitnya melotot mungil.

“Jangan bercanda.”

“Iya, kami bubar,” ujarku meyakinkan.

“Tetapi kenapa, siapa laki-laki yang menolakmu, nggak mungkin deh.”

“Oh, itulah kenyataan yang aku alami, dia berpaling ke perempuan lain, Ling.”

“Terlalu lama kita tidak berkabar, maafkan aku, aku benar-benar terpuruk.”

“Aku baik-baik saja, tak perlu menyalahkan dirimu sendiri, kita pasti bisa bertahan.”

Kami meluncur dengan mobil kijang lama. Ling duduk di belakang sopir, dan Sam puterinya duduk bergelayut di sebelahnya. Aku duduk pada sisi kiri Sam. Mobil itu hanya memiliki jok di depan dan tengah saja, karena memang digunakan untuk mengangkut barang-barang saat belanja.

Kami berhenti di sebuah toko kelontong. Seorang perempuan tua berdiri di depan pintu menyambut kami. Di sebelahnya ada anak laki-laki 15 tahunan memandangi kami turun dari mobil itu. Aku menyalami mereka dan Mami, perempuan tua itu, tersenyum senang menyambutku.

“Apa kabar, Mi?” tanyaku.

“Baik, lihat ini semua usaha Ling,” katanya.

Aku mengangkat jempol sambil tersenyum.
Lalu aku beralih pada Lee. Dia menyalamiku. Lee sangat tampan. Mirip Chuck. Hidungnya mancung, dan kulitnya putih bersih. Biar pun mengenakan baju seadanya, tidak merusak ketampanannya. Tampaknya mereka masih prihatin. Orang China selalu begitu, kalau belum sukses hidup mereka sederhana. Mereka tidak peduli penampilan, yang penting kerja keras.

“Kelas berapa kamu, Lee?”

“Kelas satu SMP, Te,”

“Siip!” aku mengankat jempol padanya.

Kami bertiga, aku, Ling dan Sam masuk ke dalam. Di belakang toko kelontong itu, mereka berempat tinggal. Sebuah rumah lama yang kokoh. Pasti mahal. Kami duduk di ruang tamu, yang hanya memiliki tiga kursi dan sebuah meja sederhana.

“Lee masuk siang, jadi kalau pagi membantu, omanya jaga toko, sementara aku mengurus Sammy. Nanti siang, setelah makan siang, ganti aku yang jaga toko, Mami istirahat,” katanya.

“Kau hebat,” pujiku.

“Ini baru berjalan setahun, sebelumnya aku hanya terkapar di kamar. Lalu ada yang menjual toko ini. Aku pun memutuskan untuk menjual rumah lama di perumahan itu, dan membeli rumah ini serta memulai usaha baru, anak-anak tidak menentang. Kemudian aku meminta Mami tinggal dengan kami. Mamilah kekuatanku.”

“Kenapa kamu terpuruk, itu bukan kamu banget.”

“Karena aku mulai mencintai Chuck.”

“Oh Tuhan, Ling aku mengerti, pasti itu berat.”

“Dan aku kalah oleh keadaan, semuanya memaksaku bertahan, tetapi Chuck tak bisa, Chuck tak pernah belajar mencintaiku.”

Air mata bergulir di pipinya yang putih. Perempuan itu menangis.

“Biarpun aku tak bisa memiliki Chuck, aku harus sukses, aku harus bertahan, kasihan anak-anak kalau sampai terlantar. Aku datang ke Mami, Mami memintaku kembali ke Surabaya dan membuka usaha lagi dari nol,” katanya.

“Aku salut, Ling.”

“Perjodohan ya begini ini, selalu berakhir kurang bagus.”

“Mungkin memang bukan jodohmu.”

“Karena itu, orang China selalu hidup dengan keluarga besarnya, aku ingin bersama Mami sampai kapanpun, dan anak-anak tidak pernah mengabaikan aku, meskipun kondisiku buruk, karena aku selalu mengurus mereka ketika kecil.”

Seseorang masuk. Lelaki bermata sipit dengan tubuh tegap dan wajah ganteng. Laki-laki itu memberikan suatu bungkusan kepada Ling.

“Sil, lupa ya, ini Steve, adikku itu lho.”

“Masak sih, ujarku tak percaya, kau terlihat berbeda Steve,” kataku sambil berdiri.

Steve tersenyum padaku. Lalu menyalamiku.

“Apa kabar Jakarta, Kak?”

“Baik, Steve, kamu gimana?”

“Baik, saya kuliah semester lima,” ujarnya.

“Bagus,” celetukku.

“Waktu kita ketemu di Jakarta, kamu masih SMA ya?”

“Iya.”

Lalu laki-laki muda itu meninggalkan kami berdua.

“Steve masih tinggal di rumah Mami dengan kakakku yang lain. Aku sebetulnya ingin Steve tinggal di sini, agar rame, tetapi dia menolak. Saat aku bercerai, Steve marah, dan tak mau menyapaku, menyalahkanku karena mempermalukan keluarga, sekarang setelah Mami di sini, dan aku bangkit kembali kami berbaikan. Dan Steve membantuku berkerja di sini.”

“Syukurlah, Ling.”

Wanita itu tersenyum.

“Aku selalu ingat kata-katamu, jangan pernah terfokus pada kegagalan, karena itu akan semakin membuatmu terpuruk, ketika gagal, berfikirlah bahwa segalanya akan baik-baik saja.”

“Benarkah aku pernah katakan hal itu?”

Aku mengangguk.@

Sumber: anggiedwidowati.blogspot.com

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...