Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Dokter Renata

Oleh: Anggie D. Widowati

Masih dengan piyama tidur merah jambu, dokter Renata alias Tata membolak-balik tubuhnya di bed. Segelas susu coklat di meja kamar belum juga disentuhnya.

Sudah pukul tujuh, tetapi perempuan itu tak juga beranjak dari tempat tidur. Entah mengapa seluruh tubuhnya seperti lunglai, tanpa tenaga.

Dia tidak sakit, sehat. Bahkan dua hari ini, jogging selama satu jam nonstop masih bisa ditempuhnya, tetapi kenapa hari ini, dia merasa malas, tak bersemangat, tak bertenaga.

“Aku nggak bisa bangun,” pesannya padaku.

“Emang kenapa lagi?” balasku.

“Pilkadanya menang, pemilihan suara kemarin, berhasil memenangkan Pak Wahono, ya otomatis sebagai calon wakil walikota aku ikut kepilih kan,” katanya.

“Ya ampuuun… Kirain kenapa, tetapi kenapa nggak mau?”

“Dari awal aku sebenarnya nggak mau, aku setengah dipaksa.”

“Oh…”

“Kamu ke sini deh, aku benar-benar blank.”

“Oke.”

Aku meluncur dengan sedan merah kesayanganku. Elang anakku, duduk di sebelahku sambil memainkan boneka robotnya. Jalanan sibuk, tetapi tidak macet.

Tumben Jakarta ramah begini. Langit cerah, ada beberapa gumpalan awan di atas gedung-gedung. Dan aku terus meluncur, beberapa pengendara motor menyelonong tidak mau kalah.

Aku memasuki sebuah rumah bagus di kawasan Jakarta Selatan. Seorang pembantu membuka gerbang, dan mempersilakan mobilku masuk. Aku mengangguk dan tersenyum. Setelah parkir, dia menutup kembali pintu gerbang. Aku menyodorkan sekaleng coca cola, diterimanya minuman soda itu dengan senyum.

“Makasih Bu,” katanya.

“Iya, sama-sama,” jawabku.

Aku membukakan pintu mobil sebelah untuk Elang. Lalu menggandengnya menuju teras. Pembantu itu mengikutiku di belakang.

“Ibu di kamar,” katanya.

“Baik, aku langsung ke sana,” jawabku.

Aku melewati ruang tamu. Di sebelah ruangan itu, adalah ruang praktek dengan tulisan dr. Renata di pintu. Ada bed setinggi pinggang orang dewasa tertutup sprei putih dan meja kecil. Di ujung ruangan ada lemari kaca yang bersih, bersebelahan dengan sebuah wastafel juga warna putih. Di jendela kaca itu tertulis jelas di sebuah papan, Tutup.

Aku terus berjalan dan menaiki tangga. Aku ketuk pintu kamarnya.

“Tata, ini aku.”

“Masuk,” ujar suara dari dalam.

Aku dorong pintu dan masuk.

“Kamu kenapa lagi.”

Tata duduk dan membentangkan tangannya padaku. Aku menghambur, memeluknya. Lama.

“Jujur aku stress.”

“Ok.”

Aku masih memeluknya sampai dia tenang. Elang masih berdiri di dekat bed. Aku menariknya dan memintanya menyalami Tata. Tata mencium anakku. Lalu aku menggandeng Elang ke sudut kamar dan memberinya sekotak coklat setelah bocah itu duduk di sofa.

Aku berjalan kembali ke bed. Mata pintar itu memandang kosong. Ada sesuatu yang membuat kepalanya berputar dan tak bisa berfikir apapun.

“Kupikir kami tak akan menang,” katanya.

Perempuan cantik, muda dengan kecerdasan dan ketajaman nurani itu, mengeluh sedih. Sudah setengah tahun ini, nama dan fotonya terpampang di jalan-jalan. Pak Wahono menjadi calon walikota dan Tata menjadi calon wakilnya. Tata tidak pernah terlibat urusan politik di partai, tetapi Tata didaulat oleh sebuah partai untuk menjadi calon wakil walikota.

“Kalau tahu akan menang, pasti aku tidak mau,” katanya.

Tetapi semua sudah terjadi. Dan pasangan Wahono-Tata, akhirnya terpilih menjadi walikota. Saat semua orang mengelu-elukan dia, perempuan itu malah sedih dan tak ingin menerimanya.

“Wahono memang bukan apa-apa, masyarakat memilihmu, karena namamu menjadi pasanganyalah dia terpilih, siapa yang tak kenal Tata, dokter seperti kamu ada di hati masyarakat,” kataku.

“Lalu aku harus bagaimana?”

“Menurutmu?” aku balik bertanya.

“Itulah, pusing, rasanya tidak siap untuk menjadi pejabat,” katanya.

“Oh begitu?”

“Iya, mending jadi dokter aja, tidak banyak peraturan yang mengikat,” ujar Tata.

“Maksudmu?”

“Kamu tahu kan, pejabat jaman sekarang dihujat di sana sini, biarpun prestasinya seabrek, tetap saja dihujat, dibilang koruptor, tidak amanat, aku tahu aku tidak begitu, tetapi citra pejabat saat ini sedang merosot,” kata dokter itu berapi api.

“Sedang merosot ya?”

“Udah gitu, Mamiku sangat ingin aku ambil jabatan itu, Mami menganggap itu sebagai prestasiku, tetapi aku tak suka,” ujarnya.

“Terus aku harus bagaimana?”

“Nggak tahu, Jarot tim sukses walikota, memaksa, aku tahu dia yang kerja keras untuk meloloskan kami, tetapi aku hanya berfikir, pasangan kami akan kalah, dan kami tak perlu menanggung kemenangan ini,” perempuan itu tersedu.

“Aku mengerti kecemasanmu, sekarang apa perlu aku temui Jarot?” tanyaku.

“Wah kukira itu ide yang bagus, maukah kamu?”

“Apa yang harus kukatakan, kamu mundur gitu?”

“Iya, bukannya aku tak menghargai kerja kerasnya, tetapi aku tidak siap, aku merasa bukan di situ tempatku, aku tidak siap menjadi pejabat, carikan saja ganti untukku,” ujarnya.

“Deal?”

“Deal!”

Aku pun menemui Jarot di kantornya. Laki-laki itu bertubuh sedang. Wajahnya tegang, dengan tangan yang selalu sibuk dengan beberapa buah HP. Matanya tidak fokus kepadaku, tetapi entah kemana, mengikuti pikirannya pergi.

“Jarot, beri saya waktu 10 menit saja,” kataku.

“Iya, sebetulnya ada apa,” katanya tanpa memandangku.

“Tolong dengarkan saya, saya membawa pesan dari dokter Tata,” kataku.

Mendengar nama itu, dia menoleh kepadaku. Namun jarinya masih memainkan HP itu. Sebetulnya hanya membuat aku kesal, tetapi aku tahan.

“Dokter Tata mundur, dia meminta saya menyampaikan pesan ini pada anda…”

“Anda ini siapa?”

“Saya sahabatnya, saya hanya ingin menyampaikan, pesannya, dia tak siap menjadi wakil walikota,” ujarku.

“Anda pasti bercanda, mana ada orang yang menolak jabatan sebagus itu,” kata laki-laki itu.

“Serius, dia menolaknya,” kataku.

“Hahaha, kau ini aneh Bu.”

“Saya menemui anda untuk menyampaikan ini,” kataku tegas.

“Alasannya?”

“Hanya tak siap menjadi birokrat, dia takut kehilangan pasien-pasien yang dicintainya,” jelasku.

Laki-laki itu memandangku. Masih ada rasa tak percaya mendengar berita itu. Rambutnya yang tersisir rapi di belakang bergetar oleh gelisahnya. Dan gerahamnya bergerak menahan kekecewaan. Tangannya terus memutar-mutar HP dan sesekali menahan nafas panjang.

“Hanya itu, yang bisa saya sampaikan, Pak Jarot,” kataku kemudian.

“Semua kerja keras saya telah sia-sia,” celetuknya sedih.

“Kata Bu Tata, anda sedikit memaksanya,” tukasku.

“Iya sih, saya tahu dia berpengaruh, seandainya dia memahami itu sebagai sebuah gambaran masa depan,” katanya.

“Saya mengerti apa yang anda pikirkan, tetapi tidak semua orang bisa seperti itu,” jelasku.
Laki-laki itu mengusap keringatnya.

“Apa kata masyarakat yang sudah memilihnya,” gumannya pelan.

“Maafkan dia…”

Aku berdiri. Pamitan. Kusalami laki-laki itu dan aku genggam dengan dua tanganku. Dia seperti pohonan yang layu, membutuhkan siraman air.

“Anda pasti menemukan seseorang yang cocok untuk menggantikannya, saya tahu itu,” ujarku.

“Semoga…”

Bahkan semua harapan yang terkecil pun kadang menjadi kenyataan. Tetapi kenyataan yang tidak sesuai dengan hati nurani kita, mesti ditinggalkan, atau kita hanya akan tersiksa oleh sebuah malapetakan baru. Bencana kemunafikan.@

link: anggiedwidowati.blogspot.com

Komentar
Loading...