Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kutukan Leluhur

Oleh: Anggie D. Widowati

Ada sekitar 12 orang wanita muda yang duduk di ruangan itu. Ruangan itu adalah bagian dari gedung olah raga yang ada di kota itu. Di sebalik dinding terdengar suara pantulan bola atau teriakan para atlit local yang sedang berlatih. Sementara 12 orang itu adalah kelompok anti menikah yang sedang melakukan pertemuan interen.

Seorang wanita berumur baya menjadi pusat dari kelompok itu. Rambutnya panjang terurai, memakai gaun dengan manik-manik dan rumbai-rumbai seperti seorang gipsi. Miss Leoni begitu dia dipanggil karena meskipun sudah berusia dia adalah seorang perempuan lajang.

Leoni memiliki mata yang indah. Bola matanya hitam, kalau melihat lawan bicaranya, mata itu seakan menghunjam. Bukan hanya matanya yang sempurna, hidungnya pun mancung lancip, kulitnya sawo matang terbakar matahari dan rambutnya ikal dibiarkan terurai dihiasi bando berukuran besar, nyaris selebar dahinya.

Ketika wanita itu bicara, sebelas mata memandangnya menyimak. Setiap apa yang dikatakan menjadi kutipan bagi pengikutnya: para wanita yang tidak menikah.

“Miss Leoni, teman saya menikah, tetapi pernikahannya mengalami gangguan, suaminya sering berselingkuh, dan itu membuatnya trauma, bolehkah dia bergabung dengan kita?”

“Oh malangnya nasib temenmu Maria, ajaklah dia kemari, kelompok ini membiarkan siapa saja yang terluka karena perkawinan,”

“Terima kasih Miss Leoni, dia akan bahagia mendengarkan kabar gembira ini.”

“Jangan sampai kelompok ini menjadi eksklusif, kelompok ini tidak membenci perkawinan, kelompok ini adalah berisi orang-orang yang sepemikiran bahwa pernikahan adalah bukan satu-satunya alat untuk membuat seseorang, terutama wanita menjadi bahagia, bahkan sebaliknya, banyak diantara kita yang sepakat bahwa pernikahan juga bisa menjadi sumber petaka.”

Lengang.

“Wanita boleh memilih, untuk menikah atau tidak, wanita boleh menentukan arah masa depannya sendiri, selain itu wanita juga bebas untuk berbahgia dengan lepas dari pernikahan yang menyiksa mereka, kita disini berhak atas pemikiran kita sendiri.”

*
Leoni dan Luana adalah saudara kembar. Ketika Luana memutuskan untuk menikah sepuluh tahun yang lalu, Leoni mencegahnya. Mereka sama-sama cantic, sama-sama memiliki penggemar. Para laki-laki suka dengan mereka berdua. Namun Luana terlalu lemah, dia jatuh cinta. Sementara Leoni bertahan untuk tetap tidak dekat dengan laki-laki mana pun.

Luana pun kemudian berpacaran dengan Andrian, dan mereka terlihat bahagia dan saling mencintai satu sama lain. Bahkan ketika pacaran dua bulan, mereka sudah memutuskan untuk menikah. Mama tidak menyetujui hubungan itu tanpa mengatakan sebabnya. Sedangkan Leoni, dengan tegas menentang pernikahan itu dengan alasan mitos keluarga yang sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu.

“Setiap wanita dari keturunan keluarga kita, akan bercerai, jadi buat apa kamu menikah kalau nantinya juga bercerai.”

“Aku tak percaya mitos,” jawab Luana.

Leoni tahu adiknya sedang mabuk kepayang. Belum pernah matanya gemerlapan seperti matanya saat jatuh cinta. Belum pernah wajahnya begitu sumringah dan secerah selama berpacaran dengan Andrian. Leoni melihat gelagat itu, kembarannya sedang mabuk asmara.

Mama terlihat ragu-ragu. Melihat gaya Andrian saja kami berdua merasa kurang suka. Ganteng, perlente, tajir, dan kelebihan-kelebihan yang membuatnya terlihat mengerikan. Leoni terbayang alangkah mudahnya Andrian nanti melukai Luana. Dia laki-laki pujaan setiap wanita, bisa mematahkan hati Luana kapan saja.

Mama tak kuasa mangatakan keberatannya. Dengan upacara pernikahan sederhana Luana menikah. Ayah yang tinggal di pulau lain pun datang untuk menikahkan puiterinya. Firasat mama benar, pesta pernihkahan itu diguyur hujan lebat. Tenda-tenda pesta berubuhan. Makanan prasmana basah oleh hujan. Pesta di depan rumah mereka itu berantakan, namun ayah Luana sudah menikahkan mereka.

“Mama punya firasat,” kata Mama pada Leoni.

“Sama Ma, sepertinya Luana sudah siap dengan semua resikonya,” jawab Leoni.

Angin ribut dan hujan di musim kemarau itu mengingatkan Mama pada hari penikahannya dengan Ayah. Waktu itu pernikahan mereka juga berjalan cepat, karena dia dan ayah baru kenal enam bulan dan langsung memutuskan menikah.

Seluruh yang hadir dalam pesta itu berlari pulang, karena besarnya angin dan hujan yang teramat lebat. Sungguh diluar bayangan pihak keluarga, karena mereka mencari hari baik dengan segala upaya. Nenek juga merasa kesal karena Mama ngotot menikah hari itu karena ayah tak punya waktu banyak dan harus kembali berlayar.

“Ini mirip pernikahanku dulu dengan ayahmu, Leoni.”

“Berdoalah Ma, Luana baik-baik saja.”

“Semoga kutukan itu sudah berlalu.”

“Kutukan?”

“Ya, kutukan, setiap wanita dalam keluarga kita yang menikah akan bercerai.”

“Mama, jangan menakutiku.”

“Mama dulu juga ngotot, meskipun Nenek kurang setuju.”

“Apa alasan nenek?”

“Nenek tidak mengatakan alasannya, tapi kau kan tahu, nenek itu single parent membesarkan Mama dan Pakde-mu.”

“Tapi perkawinan pakde baik-baik saja.”

“Pakdemu laki-laki, sementara nenek, mama, perempuan.”

Mama kemudian bercerita bahwa mamanya nenek, maupun neneknya nenek juga single parent. Kecuali para laki-laki, perempuan dalam keluarganya mengalami perceraian dalam pernikahannya. Wanita di keluarga kita tidak boleh menikah, begitu tegas Mama.

Dan Leoni pun mempercayai itu meskipun sebenarnya hanya mitos. Gadis modern sepertinya tidak perlu percaya pada mitos, tetapi semua cerita masa lalu dalam keluarga itu seakan memiliki kemiripan. Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan perempuan di keluarga itu selalu gagal dalam perkawinan.

“Siapa yang membikin ulah, sampai perempuan dalam keluarga kita dikutuk seperti ini Ma?” tanya Leoni.

“Buyutnya buyut, adalah seorang keturunan bangsawan. Suatu hari dia dijodohkan dengan seorang keturunan bangsawan. Namun buyutnya buyut tidak mau karena dia sudah memiliki kekasih, seorang dari kalangan rakyat biasa. Dia pun dianggap sudah mempermalukan keluarga dan kemudian dia dikutuk bahwa perkawinannya tidak akan berhasil, juga anak-anak keturunannya yang perempuan, kalau menikah akan mengalami perceraian.”

“Pasti dong Ma ada penangkalnya.”

“Penangkalnya kalau ada yang tidak mau menikah.”

“Kalau gitu, aku tidak mau menikah Ma, aku tidak mau bercerai.”

“Kamu tak perlu mengorbankan dirimu sendiri, Leoni.”

“Tidak Ma, entahlah, sebenarnya aku tak mau hidupku repot karena pernikahan.”

“Jangan percaya mitos kutukan itu.”

“Entahlah Ma, yang jelas aku sudah memutuskan untuk tidak menikah.”

*
Sudah sepuluh tahun berlalu sejak pernikahan Luana. Tidak pernah terdengar kabar tidak menyenangkan, tetapi juga tidak ada kabar kebahagiaan, karena Luana dan suaminya tinggal di kota yang berbeda.

Leoni menjadi aktifis perempuan yang mengurusi masalah demokrasi perlajangan. Namanya sudah terkenal dan beberapa kali masuk berita di koran dalam maupun luar negeri. Leoni menerima juga para wanita yang gagal pernikahannya dan menjadi pesakitan akibat pernikahan.

Dia tidak mau menjadi bagian dari kutukan leluhurnya, dan memilih tidak menikah sampai akhir hayatnya. Itu adalah keputusan yang besar, bahkan setelah Luana menikah dulu, dia berniat menutup diri dari laki-laki dan bersumpah akan membela bila suaminya Luana melukai adik kembarannya.

Pagi itu ada pertemuan para lajang di tempat seperti biasanya. Beberapa anggota baru memperlihatkan wajahnya dengan malu-malu. Di tegah-tengah diskusi yang seru, seseorang mengetuk pintu aula. Leoni mempersilakan tamu itu masuk, dengan mendorong pintu yang tidak terkunci.

Seorang wanita seusianya muncul, menggandeng dua bocah sepuluh dan delapan tahun. Wanita itu wajahnya terlihat muram.

“Astaga Luana.”

Leoni beranjak dari duduknya setelah meminta ijin pada peserta lain, dan mendekati adiknya. Firasatnya ada masalah dengan kembarannya. Bahkan dua anaknya pun dibawanya menemui bibinya di tempat itu. Apa yang dia takutkan, apa yang Mama khawatirkan menjadi kenyataan, kutukan itu, akhirnya menimpa Luana.

“Luana ada apa,” katanya memeluk kembarannya dengan perasaan galau.

“Aku ke rumah terkunci semua, lalu aku mencarimu disini,” kata Luana.

“Kau dan anak-anak tidak apa-apa?”

“Emangnya kenapa?”

“Perkawinanmu, Andrian, apa baik-baik saja?”

“Kau ini kenapa?”

“Kau disakiti dan mau bercerai?”

“Aku mau minta kunci rumah. Kami baik-baik saja, tak ada yang bercerai.”

“Kukira kau disini akan bergabung dengnan kelompokku.”

“Tidak.”

“Oh Tuhan, terima kasih.”

“Aku yang harus berterima kasih padamu Leoni, kau rela tidak menikah untuk mematahkan kutukan itu.”

“Oh kau tahu itu? Kau dulu bilang tak percaya mitos.”

“Kenyataannya perkawinanku baik-baik saja.”

“Benarkan, kutukan itu berakhir?”

“Entahlah, aku tak tahu pasti. Tak perlu dipikirkan biar aku jalani saja.”

“Sini peluk.”

Luana mendekatkan tubuhnya pada Leoni, lalu dipeluknya kembali kembarannya dengan erat.@

Sumber: anggiedwidowati.blogspot.com

Komentar
Loading...