Perang Indonesia Lawan Saudi
Oleh: M. Rizal Fadillah
MASIH teringat ketika tahun 2003 Timnas Indonesia dikalahkan telak oleh Tim Saudi Arabia dengan angka 6-0. Pada tahun 2004 Indonesia juga kalah 0-3. Pada tahun 1997 Saudi pun menang 4-0.
Dalam perhajian Saudi adalah tuan rumah dan pemberi izin masuk rumahnya. Kini jemaah haji Indonesia gagal masuk ke Saudi Arabia. Bahkan bertubi-tubi menerina pukulan. Gawang haji Indonesia sekurangnya 4 kali kebobolan, skor 4-0 untuk Saudi.
Bobol pertama, ketika awal umroh untuk jamaah Indonesia yang distop dengan alasan vaksin Sinovac yang tidak tersertifikasi WHO. Baru saja dibuka untuk beberapa pemberangkatan, ternyata ditutup kembali.
Bobol kedua, “dilempar” isu bahwa Indonesia tidak mendapat quota dari Saudi Arabia. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco menginformasikan kepada publik, demikian juga dengan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Sadzily mengenai 11 negara yang mendapat izin masuk. Soal izin terkait haji atau bukan memang bias.
Bobol ketiga, menunggu tanpa kepastian serta beratnya mengantisipasi waktu “mepet”. Menag Yaqut Qoumas mengumumkan bahwa tahun ini Indonesia tidak memberangkatkan jemaah dengan alasan Covid-19. Pemerintah Saudi melalui Dubes Essam At Thaqafi “sangat menghargai” keputusan Indonesia yang tidak memberangkatkan jama’ah tersebut.
Bobol keempat, serangan mematikan berupa surat kepada Ketua DPR Puan Maharani yang berisi bantahan atas ungkapan Sufmi Dasco dan Ace Hasan Sadzily. Kedubes Saudi menegaskan bahwa Pemerintah Saudi belum menginstruksikan pemberian quota haji kepada negara manapun.
Dengan adanya bantahan dari Kedubes tersebut, situasi menjadi hangat. Suara menggugat pemerintah pun bermunculan. Pro dan kontra terjadi. Sebagian calon jemaah yang kecewa mulai menarik dana “titipan” nya. Tuntutan pemerintah bertanggung jawab atas kegagalan ini semakin mengemuka.
Suasana sepertinya sedang terjadi “perang” antara Indonesia dan Saudi. Memang sebagai penentu pelaksanaan ibadah haji, Saudi Arabia selalu berada di atas angin dan sering bersikap semaunya. Tak mau tahu kesulitan negara lain khususnya dalam persiapan haji.
Faktanya situasi dibuat “mepet” bahkan “dalam keputus-asaan” akhirnya Pemerintah Indonesia mengumumkan untuk tidak memberangkatkan. Hebatnya Saudi segera menyatakan “penghargaan” atas keputusan ini.
Nampak ada “perang” atau “permainan” dalam kasus pemberangkatan haji. Perang halus. Mengapa Saudi memerangi Indonesia hingga membombardir 4-0?
Sinovac (China) versus Pfizer Biontech (AS-Jerman), Moderna (AS), AstraZeneca (Inggris), dan Johnson & Johnson (AS) adalah peta kepentingan bisnis dan politik global. Lalu, tentu sikap “anti Arab” yang ditunjukkan baik oleh Pemerintah Indonesia atau buzzer bukan tidak berkonsekuensi. Isu radikalisme dan intoleransi yang dikaitkan dengan salafisme dan wahabisme sangat menyinggung Saudi.
Begitu juga dengan kriminalisasi HRS dan habaib serta pembunuhan brutal pengawal HRS menjadi perhatian serius bagi Saudi Arabia.
Kini pilihan apakah kita akan melakukan perlawanan dengan mengerahkan pasukan panser dan buzzer untuk lebih tajam menyerang Arab dengan kadrunisasi atau wahabisasi atau radikal radikul? Kriminalisasi yang berlanjut dengan menghajar habis HRS dan memperkuat persekutuan dengan China untuk menghadang Saudi-Amerika? Ingin mengulangi sejarah sepakbola yang berakhir imbang 1-1 (tahun 1997), 0-0 (tahun 2011) dan 3-3 pada tahun 2020?
Mengingat aspek psiko-politis kedekatan umat Islam Indonesia dengan Saudi Arabia yang diikat oleh ibadah umroh dan haji serta kesejarahan yang panjang sejak masuknya agama Islam, serta masih butuhnya Indonesia akan investasi (mungkin juga hutang luar negeri) dari negara petro dollar Timur Tengah pimpinan Saudi Arabia, maka nampaknya pilihan akan lebih defensif ketimbang agresif. Pilihan bimbang, ngeles, atau basa-basi. Khas rezim Jokowi.
Targetnya hanya 4-1. Atau jangan-jangan semakin terpuruk dengan kalah lebih telak lagi, 6-0 he hee.[]
*) Penulis adalah pemerhati politik dan keagamaan