Sebelum Soekarno Lahir, Sukeni Mengajar di SD Alun Alun Contong
Sekolah yang sudah ada sejak awal abad 20 ini adalah tempat dimana R. Soekeni Sastrodiharjo, ayah Bung Karno, mengajar sejak kepindahannya dari Singaraja Bali.
REKAYOREK.ID Muncul niatan baik (good Will) untuk memanfaatkan peninggalan sejarah oleh sebuah sekolah. Peninggalannya patut dikenang dan dimanfaatkan sebagai upaya pembentukan karakter manusia masa depan.
Sudah sedari dulu slogan dan harapan untuk memanfaatan peninggalan masa lalu sebagai bahan dan materi pelajaran muatan lokal sekolah. Tapi kenyataannya, bahan dan materi yang sudah nampak dipelupuk mata belum bisa terlihat dan masih belum mudah pemanfaatannya.
Adalah aturan dan prosedur yang menjadikan “gajah di pelupuk mata tidak tampak”. Inilah gambaran hambatan yang dialami oleh SD Alun Alun Contong I (SD Sulung) ketika berharap ingin menjadikan peninggalan sejarah di lingkungan sekolah, tapi masih berliku.
Peninggalan yang berupa sebuah ruang kelas, benda benda seperti bangku bangku, papan tulis, meja guru serta buku buku induk yang patut dipreservasi itu sudah tertata dan siap menjadi salah satu materi pengajaran.
“SD Alun Alun Contong ini dulu dikenal dengan nama SD Sulung atau di era kolonial disebut Openbare Inlandsche School Soeloeng. Dibuka pada 20 Desember 1900”, demikian kata Dian Nur Aini, salah seorang penggagas pemanfaatan artefak sekolah sebagai pendukung materi pelajaran muatan lokal.
Bahan dan materi muatan lokal yang berupa ruang kelas, bangku, papan tulis dan kelengkapan lainnya sebetulnya layak disebut museum. Tapi sayang, diksi “museum” diidentikkan milik salah satu dinas, yang tidak menaungi bidang pendidikan.
Miftakhur Ridlo, pengurus “museum” SD Alun Alun Contong, yang berlatar belakang bidang pendidikan sejarah, mengatakan bahwa istilah museum menjadi ranah Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata. Sementara kegiatan sekolah berada di bawah naungan Dinas Pendidikan.
“Karenanya kami disarankan oleh Dispendik Kota Surabaya untuk tidak menggunakan kata “museum“ untuk mengacu pada ruang dan aset bersejarah di lingkungan sekolah kami, bila dimanfaatkan untuk mendisplay barang barang peninggalan bersejarah. Kami akhirnya menggunakan nama “Artefak Sekolah” sebagai pengganti museum sekolah,” kata Ridlo ketika ditemui di lokasi sekolah.
Meski demikian pihak sekolah terus mengupayakan terwujudnya kegiatan mengajar dengan muatan lokal. Muatan lokal di sekolah SD Sulung ini sangat jelas. Sekolah yang sudah ada sejak awal abad 20 ini adalah tempat dimana R. Soekeni Sastrodiharjo, ayah Bung Karno, mengajar sejak kepindahannya dari Singaraja Bali. Kala itu Soekarno belum lahir. Soekarno lahir pada 6 Juni 1901 di kampung Pandean, yang tidak jauh dari Openbare Inlandsche School Soeloeng.
Soekarno memang tidak bersekolah di sini karena Soekeni harus berpindah tugas ke luar kota: Jombang, Tulungagung dan Mojokerto sebelum akhirnya Soekarno masuk lagi ke Surabaya di usianya yang menginjak remaja dan bersekolah di Hogere Burger School (HBS) Soerabaia. Yakni sekolah Lanjutan setingkat SMA.
Soekeni pun juga tidak lama mengajar di SD Sulung yang berada di lokasi strategis, pusat pemerintahan Surabaya kala itu (sekarang pusat pemerintahan Jawa Timur). Bahkan lokasi dimana SD Sulung pada pra kolonial merupakan kawasan kuno yang sudah tersebut pada peta 1677. Sulung adalah kawasan pusat pemerintahan klasik Surabaya dimana di sebelah barat sekolah terdapat alun alun luas dengan pendopo Kasepuhan (Eerst Regent) dan pendopo Kanoman (Twee Regent). Bahkan daerah Sulung dan Johar disebut, dimana pernah ada bangunan kuno peninggalan dari pra Mataram. Pra Mataram diduga adalah dari era Majapahit.
Era Majaoahit ini dapat dikoneksikan dengan temuan sumur kuno yang disebut sumur Jobong di kampung Pandean, Peneleh. Berdasarkan hasil uji karbon pada fragmentasi tulang belulang manusia yang diketemukan di sekitar dan di dalam sumur, bahwa usia kematian tertua orang pandean berdasarkan uji karbon pada fragmentasi tulang itu adalah tahun 1430.
Artinya sumur secara fisik sebagai media peletakan (kubur) tulang manusia usianya sudah lebih dahulu daripada keberadaan tulang manusia yang diletakkan di sekitar sumur.
Bukan tidak mungkin materi muatan lokal yang dapat dipersembahkan oleh sekolah kepada murid muridnya bisa berkembang ke sejarah peradaban Sulung mulai pra kolonial, kolonial hingga kemerdekaan.
Sayang jika nilai nilai ini tidak memiliki wadah dalam penyajiannya. Penyajian nilai nilai ini wujudnya adalah materi pelajaran mulok. SD Sulung telah memiliki sarana yang sangat mendukung untuk aplikasi penyajian mulok. Tidak hanya berupa tempat yang berbentuk benda, struktur dan bangunan, tetapi juga materi ajar.
SD Sulung ini pada Sabtu, 23 Juli 2022, dikunjungi pegiat sejarah Begandring Soerabaia dalam kaitan penelusurannya pada penulisan buku tentang Soekarno muda. Dalam penulisan itu memang ada angel yang mengulik tentang kehadiran bapaknya Soekarno, R. Sukeni, di Surabaya dan mengajar di SD Sulung.
Sayang sekali, di lokasi Artefak Sekolah (museum mini sekolah) tidak banyak menyajikan kisah R. Soekeni. Yang dominan adalah memorabilia Roeslan Abdoelgani. Disana ada prasasti yang ditandatangani oleh Roeslan Abdoelgani dan prasasti ini ditempelkan pada dinding luar kelas. Pemasangan itu sebagai upaya untuk mempertahankan sekolah yang pernah akan dibongkar karena rencana pembangunan komplek kantor Gubernur Jawa Timur.
Melihat masih perlunya pengayaan khasanah kepustakaan untuk mendukung Artefak Sekolah, Begandring Soerabaia akan berkontribusi berupa buku yang berisi tentang riwayat Soekarno dan R. Soekeni untuk Sekolah.
Begandring Soerabaia berharap aset bersejarah di SD Sulung ini dapat dikelola dan dimanfaatkan sebagai sarana untuk mendukung pengajaran muatan lokal di Sekolah secara khusus dan dapat pula dimanfaatkan sebagai obyek kunjungan edukasi dan pariwisata sejarah untuk publik Surabaya.
Sementara itu, Wakil ketua DPRD Kota Surabaya, Drs. A. Hermas Thony, ketika dimintai tangapan tentang potensi dan hambatan terkait pengakuan dan pengelolaan aset ini mengatakan bahwa aset yang ada di lingkungan sekolah dan digunakan untuk kepentingan sekolah serta pendidikan maka secara otomatis semua itu adalah di ranah Dinas Pendidikan.
Perihal nama atas aset itu, misalnya pemilihan diksi “museum”, “laboratorium” atau “artefak”, sesungguhnya tidak jadi masalah. Asalkan ada pencatatan aset yang menegaskan bahwa aset itu adalah milik sekolah, yang dalam hal ini keberadaannya di bawah Dinas Pendidikan.
“Yang penting aset yang sudah sangat nyata peruntukannya dan dapat digunakan untuk menunjang muatan lokal harusnya didukung dalam realisasinya agar aset ini benar benar dapat dirasakan manfaatnya. Aset bersejarah ini tidak hanya semata buat sekolah, tapi akan bermanfaat buat publik Surabaya dan umum”, tegas AH Thony yang dihubungi via telepon pada Minggu, 24 Juli 2022.
Semakin ada dan lebih banyak sekolah sekolah membuat pelajaran muatan lokal (mulok), maka itulah yang selama ini menjadi target kurikulum Merdeka Belajar. Kurikulum mulok bisa jadi kekhasan yang dimiliki oleh masing masing sekolah, misalnya kurikulum lokal tentang sejarah seperti yang dimiliki oleh SD Alun Alun Contong.
Sebetulnya Pemerintah Pusat sudah mulai mengimplementasikan Merdeka Belajar sesuai dengan tema Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2022, yakni “Pimpin Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar”.
Inisiasi oleh SD Alun Alun Contong untuk memanfaatkan aset historisnya sebagai upaya gerakan Merdeka Belajar adalah sesuai dengan tema Hardiknas. Karenanya inisiasi ini harus didukung.@Nanang