Sengkalan Lamba di Gapura Ampel Harus Dilindungi
REKAYOREK.ID Sengkalan memiliki beberapa fungsi, diantaranya menunjukkan angka tahun, menyampaikan semboyan, menyampaikan harapan dan menggambarkan situasi.
Sedangkan sengkalan sendiri ada dua jenis. Yaitu sengkalan lamba dan sengkalan memet. Sengkalan lamba berbentuk rangkaian aksara dan kata. Sedangkan sengkalan memet berbentuk gambar, relief, atau patung.
Di Surabaya ternyata didapati ada sebuah sengkalan. Sengkalan ini berbentuk rangkaian aksara (huruf), yang tertulis dalam Aksara Jawa.
Sengkalan ini terukir pada blandar kayu pada salah satu gapura di komplek Sunan Ampel. Menurut pembacaan ahli dari Museum Mpu Tantular, Endang, pada 2018 rangkaian kata beraksara Jawa ini berbunyi “Adhanawalewa Wawadha Aranga Asasawapa”, yang diperkirakan berupa tulisan yang merujuk angka 1461. Adhanawalewa adalah 1. Wawadha sama dengan 4. Aranga adalah 6. Sedangkan Asasawapa sama dengan 1.
Menurut catatan Endang, secara berurutan angka itu membentuk penanda waktu 1461 Saka (Anno Javanica) atau tahun 1539 M (After Dominion).
Sementara menurut Filolog Gunawan Sambodo, pembacaan sengkalan harus dimulai dari belakang. Jika rangkaian Aksara dan kata itu, seperti pada “Adhanawalewa Wawadha Aranga Asasawapa” yang berangka 1461, maka harus dibaca dari belakang 1641 Saka (Anno Javanica), yang relevan dengan tahun 1719 M (After Dominion).
Pembacaan ini seperti pada salah satunya sengkalan yang ada di dalam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang berupa patung kayu berupa dua naga yang sengkalannya berbunyi “Dwi Naga Rasa Tunggal”.
Nama Dwi Naga Rasa Tunggal sendiri mewakili watak-watak bilangan dari tahun pemasangannya dalam kalender Jawa. Dwi artinya 2, Naga (ular besar) artinya 8, Rasa (perasaan) artinya 6 dan Tunggal artinya 1, sehingga saat 4 angka tersebut (2-8-6-1) dibaca dari belakang maka akan menjadi 1682 AJ (Anno Javanico), yang merupakan tahun pemasangannya dalam kalender Jawa, yang bertepatan dengan tahun 1756 AD.
Untuk memformalkan dugaan sengkalan pada gapura Ampel, memang dibutuhkan ahli dari lembaga terkait lainnya seperti dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Trowulan. Secara informal berita adanya sengkalan berukir Aksara Jawa ini sudah disampaikan (dilaporkan) ke BPK Wilayah XI Jawa Timur.
Lapoan ini dimaksudkan untuk ditindaklanjuti agar mendapat legitimasi keberadaan penulisan Aksara Jawa serta dugaan dibangunnya gapura gapura kuno di komplek Masjid Ampel. Utamanya bisa mengungkap arti dari rangkaian penulisan Aksara Jawa, yang berbentuk sengkalan.
Legitimasi Dari BPK WXI ini sangat penting untuk tindak lanjut oleh pemerintah Kota Surabaya dimana gapura beraksara Jawa ini bisa ditetapkan sebagai struktur atau bangunan Cagar Budaya Kota Surabaya.
Berdasarkan pengamatan lapangan oleh warga setempat dan media ini, Rajapatni.com, bahwa gapura ini secara fisik terpisah dari bangunan Masjid Ampel, yang telah ditetapkan Sebagai Bangunan Cagar Budaya.
Bangunan gapura ini terpisah dari bangunan Masjid. Pegiat sejarah setempat, Shohibudin, kawatir peristiwa pembongkaran salah satu gapura pada tahun 1970-an akan terulang kembali.
“Gapura belah bentar sirna dibongkar tahun 70-an karena mereka awam warisan budaya. Maksud saya, jangan sampai kedepannya gapura paduraksan seperti Gapura Munggah juga ikut dibongkar”, terang Shohib pegiat sejarah setempat.@PAR/nng