Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #17

Mata Biru Itu

Oleh: Jendra wiswara

“Let’s go,” Selin bangkit dan mengajak kami untuk mengikutinya.

“Where?” Tanyaku.

“In my hotel. I must clean up my self then we can go drink,” ajak Selin.

Aku sebenarnya ragu mengikuti langkahnya. Namun ajakan gadis bule itu tidak terbendung. Dia merajut manja. Sampai menarik lenganku. Padahal kami baru kenal.

“Come on, don’t think to much,” kata Selin membuyarkan pikiranku.

Aku melirik ke Yoga. Dia baik-baik saja. Mata temanku mengisyaratkan siap mengikuti ke mana pun kami pergi.

“Aku ambil motor. Kamu dan Selin tunggu di depan,” kata Yoga.

Tampak dari kejauhan Andik melambaikan tangan sementara tangan satunya memegang uang.

“Selamat bersenang-senang, kawan!” Teriaknya.

Kubalas dengan lambaian tangan pula.

“Do you know him?” Selin bertanya padaku.

“Yeah, we just met when you surf.”

Kubilang pada Selin kalau aku baru mengenal Andik saat dia sedang berselancar. Dia pria yang baik. Pekerja keras. Dia sama denganku. Berasal dari Jawa.

“I see.” Balas Selin singkat.

Hanya saja aku masih penasaran dengan teriakan Andik. Entah apa maksud dia dengan ‘bersenang-senang’. Apakah aku dan Selin akan melakukan hal menyenangkan. Entahlah.

Jujur, baru kali ini seumur hidup aku bercakap-cakap dengan cewek bule cantik. Masih muda pula. Usia Selin dan aku kira-kira terpaut 7 tahun.

Sebelumnya aku pernah beberapa kali berbicara dengan native speaker di kampus. Biasa saja. Namun dengan Selin, agak lain ceritanya. Ada hal-hal yang tidak kumengerti. Bukan soal bahasanya. Melainkan kekhawatiran dan keragu-raguan.

Aku dan Selin tiba di Jalan Raya Kuta. Kami menunggu Yoga yang sedang mengambil motor di parkiran.

Sekian menit Yoga datang dengan kencangnya. Dia berhenti tepat di depan kami. Mesin motor dimatikan.

“Jadi bagaimana sekarang?” Tanya Yoga penasaran.

Aku melihat Selin. Ia balik memandangku. Kedua pundaknya diangkat. Ia tidak tahu apa yang sedang kami bicarakan. Selin seperti sedang menunggu apa yang hendak kami lakukan.

“I only have this motorcycle. Old but have so many memories. This is my father’s legacy.”

Aku bilang motor butut itu peninggalan ayahku. Saat aku masih kuliah dan bekerja, motor itu selalu kubawa.

“Nice,” Selin tampak terkesima.

“So, what now?” Tanyaku.

“We walk. My hotel is close from here,” jawab Selin.

Kubilang pada Yoga kita berjalan kaki. Lokasi hotel tempat Selin menginap tidak jauh. Kami bertiga berjalan. Yoga kebagian apes. Dia di belakangku menuntun motor seperti pesuruh, sementara aku menemani Selin.

Sepanjang perjalanan aku dan Selin ngobrol banyak hal. Tanpa sadar rupanya banyak mata-mata biadab dan jahat mengintai kami. Bukan padaku atau Yoga, melainkan pada Selin. Gadis itu telah membuat para lelaki di jalanan pantai Kuta kompak membicarakannya.

Bila kuperhatikan, mata-mata nakal itu terus memperhatikan Selin. Padahal pemandangan ini seharusnya menjadi hal biasa bagi warga Kuta. Mereka terbiasa melihat bule-bule setengah telanjang. Maka, saat melihat Selin pun harusnya jadi pemandangan biasa. Anehnya, Selin seperti tengah menghipnotis para lelaki di Kuta.

Selin memang benar-benar gadis cantik. Periang. Luwes. Dan, menarik. Aku akui itu. Kadang aku mencuri pandang padanya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, tidak kutemukan suatu kekurangan pada dirinya. Gadis sempurna. Beruntunglah laki-laki yang kelak menjadi pendamping hidupnya.

Aku yakin Selin seorang gadis yang punya prinsip kuat. Ia takkan mengijinkan sembarang lelaki menggoda atau menaruh harapan cinta padanya. Apabila ada lelaki yang mengharap cinta, dia pasti akan menolak dengan bahasa yang lembut dan tidak menyakitkan hati. Selin sepertinya mahir soal cinta. Pembawaannya yang periang tidak mengesankan ia seorang korban cinta. Gadis bermata biru itu dari luarnya tampak bahagia. Dan tidak ada seorangpun lelaki yang sanggup menganggu kebahagiaannya.

***

Tanpa sadar kami sudah tiba di hotel tempat Selin menginap.

“I stay at this hotel, Al!” Selin berhenti tepat di depan sebuah hotel. Menunjukkan padaku dan mengajak masuk. Kulihat di pojok jalan ada papan nama bertuliskan Jalan Camplung Tanduk.

Aku bertanya pada Selin di mana lokasi parkir. Ia geleng kepala. Lalu pergi sebentar menemui penjaga lobi dan kembali ke kami.

“You can park there,” Selin menunjuk tempat parkir seperti arahan penjaga lobi.

Aku menengok ke Yoga. Temanku itu terlihat kepayahan sehabis menuntun motor. Tapi dia tetap ceria sebab sebentar lagi akan berkencan dengan seorang bule.

“Yog, kamu yang parkir ya. Tak tunggu di sini,” pintaku.

“Yoga, I’am in the room eleven,” ucap Selin tersenyum manis dan langsung menggandeng tanganku agar mengikuti langkahnya. Aku benar-benar kaget dengan sikap Selin. Gadis ini benar-benar super manja. Ia tidak pernah membiarkanku berpikir barang sejenak.

Melihat hal itu, Yoga dibuat geleng-geleng.

“Kamar sebelas, Yog,” sahutku pada Yoga seandainya dia tidak paham ucapan Selin.

Kulalui hotel dengan perasaan deg-degan. Sementara Selin tak kunjung melepaskan genggaman tangannya. Ia tampak bahagia. Kami berjalan menyusuri lorong-lorong hotel. Tampak pemandangan hotel nan asri. Di kanan kiri ditumbuhi tumbuhan hijau. Ada yang tanamannya merayap hingga ke atas pohon.

Aku sedikit terhenyak ketika Selin memandangiku. Mata biru itu membuat jiwaku seperti berada di tiang gantungan. Aku tidak bisa pergi menjauh. Entah bagaimana aku menafsirkan jalan pikiran gadis bule tersebut. Aku sendiri masih dibayang-banyangi banyak pertanyaan. Apakah semua bule begitu terbuka pada setiap orang yang baru ditemui.

Selin berhenti. Aku ikut berhenti.

Ia menyandarkan tubuhnya di teras tepat di depan kamar.

Kami saling berpandangan. Mata biru itu lagi-lagi sangat mengesankanku. Selin kemudian melepas genggaman tangannya.

“I am glad you’re here with me, Al,” kata Selin.

Ya ampun, kata-kata itu, aku seperti menemukan kegilaan pada diriku. Selin telah mempesonakanku. Ruang-ruang batinku tergoyahkan. Nada bicaraku yang awalnya baik-baik saja, lancar seperti curahan air mengalir, namun begitu mendengar kata-kata Selin, lidahku menjadi kelu.

“Me too,” kubalas singkat karena ketidaktahuanku.

“This is my room. Wait here,” ucapnya.

Selin kembali memegang tanganku. Berharap agar aku tidak pergi.

Setelah itu Selin melepaskan genggaman tangannya lagi. Masuk kamar. Sempat kulihat bayangan seseorang di dalam kamar. Mereka terdengar sedang berbincang-bincang. Nada Selin sangat ceria saat bercerita pada temannya, bahwa dia membawa seorang teman dari Kuta. Lalu pintu pun tertutup dari dalam.

Dan kini, aku menunggu di teras kamar. Tentunya dengan banyak pertanyaan yang menggelayuti benak ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya. Selin dan temannya sebenarnya mau apa dari kami.

Tidak kunjung selesai berpikir, Yoga sudah berdiri di depanku.

“Jadi kita mau kencan atau bagaimana, Al?” Temanku itu berharap jawabanku memuaskannya.

“Entahlah Yog.”

Aku bingung menjawab pertanyaan Yoga. Sebab, aku sendiri tidak tahu apa yang direncanakan Selin dan temannya. Kalaupun aku tahu rencana Selin, aku juga tidak tahu harus berbuat apa setelahnya. Sebab budaya kita berbeda.

Di tengah kegelisanku, tiba-tiba sebuah SMS masuk. Kayla.

Kubaca isi SMS. Bunyinya, “Calon suamiku lagi apa?”

Kayla menyebut aku calon suami. Apa aku tidak salah baca. Sejak awal ia rela mengorbankan waktunya seribu hari demi mendiang ibunya ketimbang cintanya. Itu yang membuatku tidak terima. Dan sekarang ia berusaha bermain-main dengan kerinduan jiwa.

Kayla membuatku terpaku, terharu, sekaligus gelisah. Sungguh aku belum pernah mencintai Kayla dengan tulus. Engkau memelukku dengan erat dan mesra melalui sebuah tulisan, tetapi engkau juga mengorbankan cintamu selama seribu hari demi mendiang ibumu.

Cukup lama aku membaca isi SMS Kayla. Tidak tahu harus membalas apa. Setidaknya Kayla mengirim pesan tidak pada waktu yang tepat.

Kubalas SMS Kayla, “Aku sedang di pantai Kuta dengan Yoga.”

Ia membalas lagi. “Wah, indahnya. Pasti di sana banyak bule-bule cantik ya.”

“Banyak sekali,” balasku.

Kayla tidak tahu bahwa aku memang sedang bersama bule cantik dan sedang menunggu di depan kamarnya.

“Hati-hati, jangan terpikat bule. Nanti bisa dibawa pergi ke negerinya,” canda Kayla.

Ah, Kayla, kata-katamu seperti beach boy Andik. Kekhawatiran itu terlalu berlebihan. Mana mungkin ada bule cantik mau dengan laki-laki dekil, rambut gondrong, dan miskin sepetti aku. Selin belum tentu mau denganku. Juga temannya Selin, belum tentu mau dengan Yoga. Semua itu masih sebatas bayang-bayang.

Kubalas lagi SMS Kayla.

“Terima kasih. Aku baik-baik saja di sini.”

“I love you,” balas Kayla.

Kini Kayla yang jadi kebule-bulean. Sok romantis. Ya mau dikata apa, kuciumi saja kata demi kata, baris demi baris itu.

“Me too.”

Setelah membalas SMS Kayla, Selin keluar dari kamar. Mata biru itu lagi-lagi memandangiku cukup lama. Sambil tersenyum. Seperti sedang menelanjangi kegelisanku. Setelah itu disusul temannya Selin. Ia keluar mengiringi dari belakang.

“Meet my friend, Tessa. This is Al, and this is Yoga,” Selin memperkenalkan temannya pada kami.

Kedua bule itu cantiknya sama. Tingginya sama. Kulitnya sama. Rambutnya sama-sama pirang. Bedanya rambut Tessa ikal, dan Selin lurus.

Selin dan Tessa seumuran. Mungkin di Australia mereka sahabat karib. Sama dengan aku dan Yoga. Tessa mengaku datang ke Bali untuk berlibur. Dan itu diamini Selin. Cuma aku tidak percaya sepenuhnya. Sebab mengenang cerita Andik, rata-rata bule yang berkunjung ke Indonesia, selain berlibur mereka juga mencari kesenangan. Kira-kira kesenangan seperti apa yang dicari Selin dan Tessa?

[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...