Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #18

Mencium Selin

Oleh: Jendra Wiswara

Selin memandangku. Mata biru itu membuatku salah tingkah. Sambil senyum, Selin mendekat manja. Berdiri bersebelahan denganku. Ia sama sekali tidak mempedulikan Tessa yang lagi memperkenalkan diri dengan temanku. Aku sebenarnya kasihan dengan Yoga. Aku yakin dia pasti kesulitan berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris.

“Jadi kita mau ke mana, Selin?” Tanyaku.

(Biar mudah, semua obrolanku dengan Selin dan Tessa kuterjemahkan dalam bahasa Indonesia sesuai versiku).

“Aku terserah kamu saja, Al!” Seru Selin.

“Aku tidak bisa mengajakmu ke mana-mana, Selin. Aku tidak punya apa-apa. Uang kami hanya cukup untuk di perjalanan,” jawabku.

Selin tersenyum. Lalu berbisik. Saat itu aku bisa merasakan hembusan nafas Selin di telingaku.

“Aku yang traktir, Al. Kamu dan Yoga tidak usah memikirkan itu,” balasnya.

Setelah berbisik, Selin melingkarkan lengannya ke lenganku. Ia memahami kekhawatiranku.

Aku memandang wajahnya. Kali ini wajah kami sangat berdekatan. Kulihat mata biru itu sangat dekat. Benar-benar mata yang menawan.

“Aku bukan asli Bali. Aku tidak tahu daerah sini,” kataku.

“Tidak masalah. Kita jalan saja,” ringan jawaban Selin.

Pandanganku kemudian beralih ke Yoga yang sedang kebingungan dengan Tessa karena faktor bahasa.

“Kita mau diajak jalan-jalan, Yog. Bagaimana menurutmu?” Tanyaku pada Yoga.

“Aku terserah saja. Dan kalau bisa tolong terjemahkan juga setiap kali Tessa bicara. Aku kesulitan memahami bahasanya,” sahut temanku itu.

Aku mengangguk.

Malam itu kami memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitaran Kuta. Kami seperti pasangan yang sedang dimabuk cinta. Selin tidak henti-hentinya menggandengku. Sementara kulihat Tessa dan Yoga mulai akrab. Entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin mereka berbicara dengan menggunakan bahasa isyarat. Sesekali Tessa berkata padaku agar kata-katanya kuteruskan pada temanku, dan sebaliknya.

Kami singgah di sebuah bar. Suasananya tidak begitu ramai. Juga tidak terlalu bising. Rata-rata bule suka kebisingan. Ini lain. Selin dan Tessa lebih suka suasana romantis.

Kami minum sepanjang malam. Bercerita ngalor ngidul. Aku menceritakan tujuan kami ke Bali untuk bekerja di sebuah koran tapi kemudian gagal.

“Jadi kalian jurnalis!” Seru Selin.

“Iya. Awalnya kami mau bekerja. Kelihatannya tidak cocok. Akhirnya kami ke pantai dan bertemu denganmu.”

“Aku suka pekerjaan jurnalis. Menantang.”

Aku mengiyakan kata-kata Selin.

“Jadi setelah ini kalian mau ke mana?” Tanya Tessa.

“Entahlah. Itu belum kupikirkan. Mungkin kembali ke Surabaya,” jawabku.

“Kenapa secepat itu?” Selin penasaran.

“Tidak ada yang bisa kami lakukan di sini, Selin. Lagipula ini bukan tempat kami.”

“Tinggallah barang sejenak di sini,” sambut Selin.

“Kami tidak bisa menginap di tempat kos untuk waktu lama. Paling cuma dua hari. Tempat itu memang disewakan untuk kami tempati, itu jika kami meneken kontrak kerja.”

“Kalau begitu menginaplah di hotel.”

Hah, tidak salah kamu. Kami tidak punya uang untuk menginap di hotel,” sahutku.

Selin memahami kekagetanku. Ia lantas memandang ke Tessa. Alis matanya diangkat. Keduanya tersenyum. Selin dan Tessa sepertinya sedang berbicara menggunakan bahasa isyarat. Aku tidak paham dengan rencana mereka.

Yoga hanya diam. Temanku itu bolak-balik menenggak minumannya. Mungkin dia memilih minum daripada harus mendengar kata-kata yang tidak dipahami.

“Kalian bisa tidur di hotel bersama kami,” jawaban Selin membuatku kaget.

“Tidak mungkin, Selin. Kamar itu kan hanya cukup untuk kalian berdua. Lagipula kami tidak punya uang untuk menginap di hotel.”

“Aku bisa membuka kamar untuk kalian. Urusan biaya menginap biar aku yang tanggung,” ujar Selin.

Aku tersenyum mendengar ucapan Selin. Gadis bermata biru itu kini menjadi penasaran dengan senyumanku. Apakah aku mau menerima tawarannya atau tidak.

Yoga tidak berkomentar. Dia juga tidak tahu apa yang sedang kami bicarakan. Aku tetap duduk dan bersikap tenang. Berpikir. Cukup lama.

“Bagaimana, Al?” Selin menunggu jawabanku.

“Entahlah, Selin.”

“Ayolah, jangan berpikir terlalu lama. Aku mohon kamu mau ya,” Selin mendekatkan wajahnya ke aku. Tangannya menggenggam tanganku berharap agar aku mau menerima tawarannya. Aku pandangi wajah Selin dengan penuh pikiran menyayat-nyayat.

Ah, betapa hinanya hidupku. Sudah miskin dan tidak berharga lagi. Namun kemiskinan ini tidak pernah membunuh jiwaku. Betapa inginnya aku mengubah hidupku yang hina ini menjadi mulia. Kupikir menerima tawaran kerja di Bali bakal menjadikanku mulia. Rupanya aku salah. Kedatanganku ke Bali hanya untuk menjadi beban.

Kini, beban itu menjadi tanggungan Selin. Aku tidak tahu harus begaimana. Haruskah aku selalu hidup bersama angan-angan. Betapa sia-sia hidupku saat ini. Dan tak mungkin aku dapat mereguk kebahagiaan jika tidak ada setetes embun yang menyirami pendalamanku.

Aku tidak tahu apakah tawaran Selin itu merupakan tetesan embun. Ataukah, aku hanya akan kembali bergelimang dengan dosa-dosa. Pantaskah seorang laki-laki menerima tawaran dari seorang perempuan?

Kulihat Selin terus menatapku dengan pandangan mengiba. Mata biru itu, ah, sukar sekali untuk menyingkirkannya. Mata biru itu seperti hendak merobek-robek perasaanku. Hanya karena keindahan, kejernihan, dan kelentikan mata biru itu, aku jadi terpesona. Betapa lentik dan bening kedua mata Selin. Maka, aku tidak berkata apa-apa kecuali menerima tawaran Selin.

“Baiklah. Aku mau.”

Seketika itu Selin langsung bersorak. Mengangkat tinggi kedua tangannya. Seperti memenangkan sesuatu. Yang tidak kusangka, Selin mengkalungkan kedua tangannya ke leherku dan mencium pipiku.

Yoga memandangku dengan penuh misteri. Dia tidak paham maksud Selin mencium pipiku. Sedangkan Tessa tersenyum manggut-manggut.

“Jadi apa yang kalian bicarakan?” Yoga bertanya.

“Kita ditawari menginap di hotel Yog. Aku terima tawarannya.”

Kali ini Yoga tersenyum.

***

Malam semakin larut. Bagi pecinta malam, itu waktu untuk menggapai kebahagiaan dan kenikmatan. Kedua gadis bule itu seperti memperoleh ketenangannya. Tidak sia-sia mereka datang jauh-jauh dari Australia. Dan ketenangan itu sudah mereka dapatkan. Irama-irama malam telah menautkan jiwa-jiwa mereka yang tak berdaya untuk kemudian dimainkan sesuai isi hati masing-masing insan.

Angin-angin ketenangan kemudian mengajak kami untuk pindah. Selin dan Tessa tampaknya sudah jenuh berlama-lama di tempat itu.

“Kita ke pantai yuk. Aku ingin menikmati malam di sana. Aku ingin melihat rembulan,” ajak Selin.

Kami berempat menghabiskan malam di pantai Kuta.

Yoga dengan Tessa, dan aku dengan Selin. Kami seperti pasangan yang sedang dimabuk asmara. Kulirik Yoga duduk bersebelahan dengan Tessa. Sudah tidak ada jarak lagi antara mereka. Pun aku.

Selin tidak henti-hentinya merajuk manja padaku. Duduk di tepi pantai berdua, Selin meletakkan kepalanya ke pundakku. Ketenangan itu sepertinya sudah ia dapatkan. Sebaliknya, aku yang dibuat tidak tenang. Pikiranku kacau. Melayang tidak tentu. Bayangan Kayla muncul.

Kayla, sebutku dalam hati, aku sekarang duduk di tepi pantai dengan gadis bule cantik. Kekhawatiranmu bahwa aku terjatuh dalam pelukan bule tampaknya menjadi kenyataan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanmu mengetahui hal ini.

“Al,” Selin memanggilku dengan penuh perasaan.

“Iya, Sel!” Seruku.

“Aku ingin suasana ini tidak pernah berakhir.”

“Kenapa kamu bilang begitu?”

“Aku sepertinya suka denganmu, Al.”

“Aku tidak paham maksudmu, Sel.”

“Sebelum ketemu kamu, di Bali ini banyak pemuda-pemuda lokal yang mencoba mendekatiku dan mengajakku kencan. Mereka merayuku. Aku tahu jalan pikiran mereka. Tapi mereka pemuda yang ramah. Saat kutolak ajakannya, mereka tidak marah. Lalu aku bertemu denganmu.”

Aku mendengarkan cerita Selin.

“Saat kutinggal kamu berselancar di pantai, sebenarnya dari jauh aku terus memandangimu. Saat selesai, aku sempat bertanya pada penyewa papan selancar.”

“Maksudmu Andik?”

“Iya. Aku tanya, apa kamu kenal dengan dua pemuda itu. Soalnya aku lihat kalian tampak akrab berbicara.”

“Lalu?”

“Dia bilang baru kenal. Katanya kamu bukan anak Bali dan bukan anak pantai.”

“Terus?”

“Aku tanya lagi, apa mereka gigolo?”

“Serius, kamu tanya begitu?”

“Iya. Soalnya banyak bule yang datang kemari mencari kesenangan dengan pemuda-pemuda lokal. Sedangkan aku dan Tessa tidak begitu. Ada memang pikiran ke arah sana. Kami memang datang ke Bali untuk berlibur. Kami datang dengan membawa budaya luar. Kadang tidak cocok dengan budaya kalian. Tapi itulah kami.”

Batinku bersyukur dengan ucapan Selin. Buruk sangkaku terhadap bule akhirnya terjawab.

“Lalu apa jawaban Andik?” Tanyaku penasaran.

“Dia bilang kalian bukan seperti yang kupikirkan. Aku bersyukur. Cuma aku masih penasaran dan terus memastikan hal itu ke Andik. Dan dia tetap keukeuh dengan jawabannya. Dia bilang baru pertama kali mengenal kalian.”

Aku sebenarnya risih dengan cerita Selin, menganggap kami bukan orang baik-baik. Tapi, ya sudahlah. Itu tidak jadi masalah buatku. Bahwa Selin punya pikiran skeptis, hal yang wajar. Toh, ia melakukan itu untuk kewaspadaan. Namanya juga gadis dengan pikiran modern, pikiran aneh-aneh itu pasti ada. Apalagi dengan orang yang baru dikenalnya.

“Aku senang mengenal kamu, Sel,” kusorongkan wajah Selin dari bahuku. Agar dapat melihat wajahnya yang cantik tersinari rembulan.

Kecantikan Selin benar-benar menggoda pendalamanku. Kecantikan itu semakin terlihat jelas di keremangan malam. Mata biru itu makin bersinar seolah mempersilahkanku masuk menembus ruang-ruang jiwanya.

Ah, Selin, cantik benar kau. Aku seperti orang gila setiap berada di dekatmu. Kumohon ijinkan aku berperan sekali saja sebagai pecinta. Aku tahu Selin telah memperoleh ketenangannya. Mata biru itu yang telah menyiratkannya meski tersembunyi dan tidak terucapkan. Aku tahu perasaanmu.

Selin memandangiku dengan penuh harap. Entah apa yang diharapkan dari gembel seperti aku. Kesejukan angin asmara mulai memenuhi jiwa-jiwa kami. Tanpa sadar Selin pun mendekatkan bibirnya ke bibirku. Aku mendekat. Hidung kami bertabrakan. Meski hidung dia lebih mancung. Dan akhirnya, bibir dan bibir bertemu. Bibir tipis Selin membasahi bibirku. Kami seperti memperoleh anugerah kebahagiaan atas nama cinta. Semua kini menjadi kenyataan. Bukan angan-angan lagi. Kami berbicara dengan bahasa kami, mengukir sebuah tinta seni asmara.

Baru kali ini aku mencium gadis bule cantik bermata biru. Kesan yang tidak mungkin terlupakan seumur hidup. Betapa bahagianya aku, dan juga Selin mendapat anugerah di tepi pantai Kuta. Setelah melepas ciumannya, Selin kemudian mendekap ke dadaku. Makin masuk kami dalam kekuatan-kekuatan menuju cinta. [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...