Status Kota Pahlawan Surabaya Ternyata Belum Memiliki Dasar Hukum
Oleh: Nanang Purwono
SURABAYA menggetarkan Indonesia. Surabaya menggemparkan dunia. Adalah sikap arek arek Suroboyo yang tidak mau menyerah atas ultimatum Sekutu. Mereka sadar bahwa ancaman Sekutu sangat nyata. Mereka tidak gentar. Mereka tidak takut meski nyawa menjadi taruhan.
Surabaya berani mengambil sikap atas kedatangan Sekutu yang ternyata diboncengi oleh serdadu Belanda. Presiden Indonesia Soekarno pun menyerahkan keputusan kepada pimpinan regional di Jawa Timur dalam menghadapi kedatangan Sekutu. Gubernur Suryo mengambil sikap bahwa arek arek Suroboyo bertekad menghadapi Sekutu. Seruan itu disampaikan Gubernur Suryo melalui pemancar radio NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) yang berlokasi di jalan Embong Malang.
“Lebih baik hancur daripada dijajah kembali” adalah petikan dari bunyi prasasti yang tersematkan pada patung Gubernur Suryo di Taman Apsari Surabaya.
Seruan Gubernur Suryo itu gayung bersambut dengan semangat arek arek Suroboyo. Semua jajaran pimpinan Jawa Timur di Surabaya, termasuk petinggi Surabaya dan rakyat bersatu dengan satu tekat WANI melawan Sekutu. Mereka bertekad bulat tidak mau mematuhi ultimatum yang disebarkan lewat udara pada petang 9 November 1945.
Ketika daerah daerah lain di Indonesia tenang dan senyap, Surabaya bergolak. Surabaya membara. Segenap warga Surabaya bersiap hidup atau mati.
Sementara ancaman Sekutu melalui ultimatum bukanlah isapan jempol. Mereka sungguh sungguh. Mereka siap dengan semua kekuatan dan persenjataan. Serdadu serdadu yang terlatih perang siap meluluh lantakkan Surabaya. Mereka siap menyerang dan membumi hanguskan Surabaya dari darat, laut dan udara dengan persenjataan lengkap dan moderen.
Sebelum ultimatum dijatuhkan pada 9 November 1945, pasukan Sekutu sudah berada di Surabaya. Mereka mulai masuk Surabaya pada 25 Oktober 1945, hanya tiga hari setelah pejuang pejuang Surabaya beserta para santri dan Kiai menyatakan jihad (22 Oktober 1945) melawan Sekutu.
Serdadu Sekutu tampak arogan dengan persenjataan lapis baja yang berkelana di jalanan kota. Mereka berseragam militer. Mereka memanggul senjata yang siap ditembakkan. Roda roda baja menggilas jalanan kota yang sebagian ternoda oleh kotoran kuda.
Mereka tidak sadar bahwa yang mereka hadapi adalah rakyat. Rakyat tanpa senjata yang berimbang dengannya. Rakyat yang tanpa alas kaki dan sepatu. Rakyat yang umumnya bercelana kolor dan bersarung. Sebagian besar adalah remaja yang berusia belia. Mereka belum berkumis. Tapi dada mereka siap menangkis.
Serdadu Sekutu dan Rakyat Surabaya sama sama siap menghadapi deadline ultimatum pada pk. 06.00, 10 November 1945 yang ditandatangani oleh Komandan tentara Sekutu di Jawa Timur, EC. Mansergh. Jika rakyat Surabaya tidak menyerah pada waktu yang telah ditetaokan, maka serangan Sekutu dari darat, laut dan udara akan terjadi.
Benar sekali. Pertempuran itu terjadi. Pertempurannya sengit. Seluruh lapisan masyarakat bergerak secara sporadis. Mereka keluar dan bersembunyi di kampung kampung. Mereka menghalau laju Sekutu dengan cara cara yang mereka bisa. Mereka berlari menyelinap di kampung kampung. Tak heran jika di beberapa kampung masih terdapat bukti bekas tembakan dan pemboman Sekutu.
Pertempuran Surabaya yang mulai pecah pada 10 November 1945 merupakan pertempuran tentara Sekutu dan milisi proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertempuran ini adalah perang pertama rakyat Indonesia di Surabaya dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Perang 10 November 1945 adalah pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Wajar jika di kemudian hari, Presiden Soekarno menetapkan Surabaya sebagai Kota Pahlawan yang menandai dimulainya pembangunan Tugu Pahlawan pada November 1951.
Jadi status dan predikat Surabaya sebagai Kota Pahlawan hanya ditandai dengan pembangunan Tugu Pahlawan. Status Surabaya sebagai Kota Pahlawan belum didasari secara juridis formil oleh produk produk hukum. Semata mata hanya berdasarkan peristiwa pecah perang 10 November 1945.
Adalah Soekarno yang secara lisan menetapkan Surabaya sebagai Kota Pahlawan ketika beliau meresmikan dimulainya pembangunan Tugu Pahlawan pada 10 November 1951. Jika memang belum ada, maka kiranya status itu perlu dibuatkan dasar hukum. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.[]
*) Pemerhati Sejarah Kota Surabaya