Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Reaktualisasi Budaya Kota Surabaya

Oleh: Nanang Purwono

BERANGKAT dari penanggalan Hari Jadi Kota Surabaya yang sejak tahun 1975 diyakini jatuh pada 31 Mei 1293, berarti kota ini sudah berusia 728 pada peringatan HUT Surabaya tahun 2021. Sementara jika berangkat dari penanggalan prasasti Canggu (7 Juli 1358), dimana dituliskan dan disebutkan untuk kali pertama nama Surabaya dengan ejaan “Curabhaya”, maka kota ini pada 2021 sudah berusia 663. Kapan pun penanggalannya, Surabaya terhitung sudah tua, sudah ada sejak era kerajaan Majapahit.

Dalam kurun waktu itu, Surabaya menyimpan banyak bukti bukti sejarah. Alhamdulillah, bahwa bukti bukti itu telah dilindungi oleh hukum baik perda maupun Undang undang, yaitu terkait dengan cagar budaya. Namun demikian juga masih banyak kekunoan atau kelawasan, yang belum terlindungi oleh payung hukum sehingga keberadaannya rawan hilang. Padahal, mereka pantas diduga sebagai cagar budaya.

Sayangnya, peninggalan masa lalu yang sudah berstatus cagar budaya adalah bangunan bangunan dari era kolonial. Tidak masalah. Karena peninggalan masa lalu yang sudah berstatus cagar budaya itu memiliki arti untuk tujuan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan dan pariwisata yang dapat digunakan sebesar besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Ketika berbicara tentang cagar budaya berarti ada upaya upaya pelestarian yang berarti perlindungan atau pencagaran terhadap nilai nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai nilai itu tidak lain adalah nilai budaya dan peradaban manusia pada masa itu. Karenanya secara harafiah disebut “Cagar Budaya” atau boleh dibilang “Cagar Adab”.

Adab memiliki arti: kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti, menempatkan sesuatu pada tempatnya, jamuan dan lain-lain. Maka secara keseluruhan Adab yaitu segala bentuk sikap, perilaku atau tata cara hidup yang mencerminkan nilai sopan santun, kehalusan, kebaikan, budi pekerti atau akhlak manusia.

Nilai Budaya (kebudayaan) dan Nilai Adab (peradaban) ini penting diketahui dan dilestarikan karena nilai nilai ini menjadi karakter bangsa yang sekaligus bisa membedakan dari bangsa bangsa lain. Itulah jati diri bangsa.

Namun, seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman serta dampak globalisasi, bukan tidak mungkin terjadi penetrasi budaya yang tidak sesuai dengan budaya bangsa sehingga berdampak pada degradasi nilai nilai luhur bangsa Indonesia. Maka, terlahir nya Undang Undang RI 11 Tahun 2010 Tentang CAGAR BUDAYA dan Undang Undang RI 5 Tahun 2017 Tentang PEMAJUAN KEBUDAYAAN adalah sebagai alat untuk melindungi nilai nilai luhur bangsa Indonesia.

Kedua Undang undang ini saling melengkapi dan mendukung dalam rangka pelestarian dan penguatan nilai nilai luhur bangsa Indonesia. Khusus di kota Surabaya, dari kebanyakan penyematan status cagar budaya masih berorientasi pada bangunan atau bendawi (tangible).

Sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 (1) UU 11/2010 tentang Cagar Budaya bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat Kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat Dan/atau di air yang perlu dilestarikan Keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi Sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Sehingga tidak heran bahwa status cagar budaya di Surabaya tersematkan pada obyek bangunan bangunan fisik, yang ternyata kebanyakan adalah peninggalan dari era kolonial.

Ketika bangunan bangunan itu dari masa kolonial, jelas sekali bahwa nilai yang terkandung di dalamnya adalah adanya percampuran nilai dan bahkan didominasi oleh nilai nilai asingnya. Yakni Eropa, China, Arab dan bahkan Melayu. Ciri khas lokalnya sangat minim. Seperti gedung BI, yang sekarang menjadi museum BI di jalan Garuda. Pada bangunan itu memang ada unsur lokal, seperti ornamen candi, yang terpadu dengan gaya kolonial. Lainnya malah ada yang murni nilai kolonial seperti Hotel Mojopahit misalnya.

Sekarang pertanyaannya adalah: Mana diantara bangunan cagar budaya di kota Surabaya, yang murni mengandung nilai lokal? Apakah tidak ada yang murni nilai lokal yang menjadi karya nenek moyang?

Ini yang harus dicari dan ditelusuri. Maka melalui UU RI 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, khususnya yang tersebut pada pasal 5, disana disebutkan adanya 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan. Ke sepuluh obyek ini dapat menjadi pijakan dan arahan dalam menelusuri nilai nilai budaya (kebudayaan) dan adab (peradaban) di suatu daerah di Indonesia, tak terkecuali di Surabaya.

Sepuluh Obyek Pemajuan Kebudayaan ini dapat digunakan sebagai panduan untuk mengidentifikasi kekhasan lokal yang tentunya untuk mengimbangi kebendaan atau bendawi yang diusung oleh Undang Undang Cagar Budaya. Lantas seperti apa sepuluh obyek Pemajuan Kebudayaan itu.

10 Obyek Pemajuan Kebudayaan itu meliputi: 1)Tradisi Lisan, 2) Manuskrip, 3) Adat Istiadat, 4) Ritus, 5) Pengetahuan Tradisional, 6) Teknologi Tradisional, 7) Seni, 8) Bahasa, 9) Permainan Rakyat, 10) Olahraga Tradisional.

Melalui 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan ini kita akan dituntun untuk mengenali kriya, karya dan karsa asli nenek moyang mulai yang bersifat bendawi (tangible) maupun tak benda (intangible). Pertanyaannya adalah apa wujud dari nilai nilai yang tersaji dalam 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan itu? Adakah 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan di Surabaya.

Inisiatif Dewan

Berbekal kedua Undang Undang tentang Cagar Budaya dan Pemajuan Kebudayaan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya menginisiasi lahirnya “Perda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Kota Surabaya” yang bertujuan untuk mengatur, menguatkan dan mengembangkan spirit kearifan lokal kota Surabaya.

Kelak perda ini sekaligus untuk menegaskan predikat Surabaya sebagai Kota Pahlawan yang sudah dicanangkan berdasarkan Keputusan Presiden no. 316 tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur.

Selain itu perda ini akan menjadi turunan dari Undang Undang Pemajuan Kebudayaan yang kiranya berbeda dari daerah daerah lain karena Perda ini dipadukan dengan nilai nilai kejuangan dan kepahlawanan dari Kota yang sudah berpredikat Kota Pahlawan. Sehingga dalam Perda ini selain ada 10 obyak Pemajuan Kebudayaan, ada juga 2 obyek Kejuangan dan Kepahlawanan.

Dengan Perda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan, maka nilai nilai yang menjadi karakter dan kebanggaan Surabaya akan terlestarikan sehingga Kota dalam proses pembangunan ke depan tidak lepas dari nilai nilai lokal dan kearifan lokal yang ada.

Nilai nilai lokal dan kearifan lokal tidak hanya yang tersimpan di bangunan, situs dan kawasan Cagar budaya yang tercipta di era era kolonial (abad 17 – 20) , tapi juga pada era era sebelum kolonialisme masuk Surabaya.

Sesungguhnya era pra kolonialisme sudah tertandai oleh patokan historis yang menyatakan akan keberadaan Surabaya, meski kala itu Surabaya masih belum berbentuk Kota, alias masih desa atau bahkan dukuh. Namun peradaban nya sudah ada seperti misalnya peradaban maritim Majapahit di Surabaya, kehadiran masyarakat Majapahit yang dibawa Raden Rahmad untuk menempati tanah perdikan Ampel Denta yang di kawasan ini tertinggal masjid dan malam Sunan Ampel.

Peradaban maritim Majapahit ini adalah jasa tambangan di Sungai Kalimas. Berdasarkan prasasti Canggu (1358), nama Surabaya sudah tercatat sebagai desa yang menyediakan jasa tambangan (naditira pradeca). Tambangan, jika dilihat dari obyek pemajuan Kebudayaan masuk dalam kategori Obyek Teknologi Tradisional dan Pengetahuan Tradisional yang terkait dengan alat penyeberangan sungai dan cara menyeberangi sungai.

Maka, melalui Perda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan, para stakeholder Surabaya didorong untuk mengenal, menggali, mengelola, mengembangkan dan memanfaatkan nilai nilai Kebudayaan, kejuangan dan kepahlawanan yang memang tersimpan dan ada di Surabaya. Perda ini juga untuk mengatur, menguatkan dan mengembangkan spirit kearifan lokal kota Surabaya.

Timeline Sejarah Surabaya

Sejarah Surabaya tidak hanya bertumpu pada era kolonial saja, tapi sudah diawali dari pra kolonial. Sebagai batasan yang jelas dan otentik adalah sumber Prasasti Canggu (1358) yang menyebut nama Surabaya sebagai Naditira Pradeca dan keberadaan alat, yaitu perahu tambangan) yang menjadikan nama Surabaya tercatat, hingga kini masih ada di Surabaya. Yaitu jasa tambangan atau penyeberangan di Ngagel yang kala itu masuk wilayah Bungkul.

Bungkul adalah salah satu dari 3 nama di wilayah administrasi kota Surabaya yang tercatat dalam prasasti Canggu. Yaitu “i Gsang, i Bkul dan i Curabhaya”. Artinya di Pagesangan, di Bungkul dan di Surabaya. Itulah batasan otentik mengenai penanda zaman.

Jika ditarik dari masa lalu abad 14 hingga abad 20, maka berjajar untaian jaman dan peristiwa yang menyimpan nilai nilai luhur baik yang tersimpan pada bendawi (tangible) maupun tak benda (intangile). Untaian jaman ini adalah Pra Kolonial (Klasik), Kolonial, Pra Kemerdekaan dan Masa Kemerdekaan.

Berangkat dari koridor empat masa ini, pada Pasca Kemerdekaan kita dituntut untuk mengamankan nilai nilai luhur yang terkandung di dalamnya agar menjadi landasan dan pedoman dalam membangun masa depan.

Perda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Kota Surabaya yang sedang disusun dan digodok DPRD Surabaya ini diharapkan akan membuka peluang kreativitas yang berpotensi menambah kesejahteraan warga. Karenanya, nilai nilai ini akan bisa lebih dikenal dan dipahami oleh publik jika nilai nilai itu diwujudkan dalam karya dan kriya.

Berbagai pihak akan dipacu mengenali lokal wisdom nya dan kemudian mengekspresikan sesuai dengan bisangnya masing masing. Misalnya seorang arsitek dipacu untuk mencari bagaimana gaya asli arsitektur rumah atau bangunan khas Surabaya. Seorang seniman musik dipacu untuk melahirkan karya karya musik atau lagi yang khas Surabaya. Para designer dipacu untuk mereset pakaian khas Surabaya, dll. Jika setiap bagian bereksplorasi kekhasan Surabaya, maka semoderen dan semaju apapun kota ini ke depan, maka Surabaya tidak akan kehilangan kekhasan dan jatidirinya.[]

Komentar
Loading...