Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #21

Namanya Astrid 

Oleh: Jendra Wiswara

Sepulang dari Kuta, esoknya kami memutuskan sebuah perkara paling dramatis. Yoga pulang.

Sementara, kami telah sampai di ujung salah satu tahap yang sangat penting dalam perjalanan kami: Uang menipis. Uang kami hanya cukup untuk sekali jalan, yakni pulang. Tidak ada kesempatan mendapatkan uang dalam waktu singkat. Tiada seorang pun dapat kami mintai bantuan. Mengingat kami sudah berada berkilo-kilometer jauhnya dari orang-orang tercinta. 

Maka, ketika Yoga memutuskan pulang aku sama sekali tidak menyalahkannya. Lagipula, Yoga sempat di SMS istrinya kalau dia sering mengalami kram di perut. Barangkali si jabang bayi ingin mencari perhatian ke bapaknya agar tidak jauh-jauh dari rumah. Ya, sudah. Aku hanya bisa merestui kepulangan Yoga. Ia punya keluarga yang masih harus diurus.

Sebaliknya, aku memilih untuk bertahan. 

Aku memang sempat kalut. Kepergian Yoga telah menghapuskan keberanianku. Rasa takut bepergian sendirian di tengah-tengah gelombang kegalauan kembali menggerusku. Aku seolah-olah merasa tidak aman mendapat serangan di kedua sisiku. Dan aku selalu berpaling kepadanya untuk menceritakan sesuatu, tetapi kini aku sadar dia sebentar lagi bakal hilang dari hadapanku.

Cukup lama aku merenung, setelah kepulangan Yoga, sebuah ingatan lama mengembalikan semangatku yang nyaris putus. Gambaran sosok perempuan yang pernah kukenal menjadi inspirasi untuk meneruskan perjalanan. 

Astrid Reva namanya.

Orang-orang memanggilnya Reva. Aku lebih suka memanggil Astrid. Selama dua tahun kami berhubungan lewat udara. Kami berkenalan ketika ia berada di Surabaya untuk urusan bisnis. Perkenalan pun dimulai. Sejak itu kami jadi sahabat SMS. 

Belakangan Astrid memutuskan kontak denganku. Terakhir ia mengabarkan akan hijrah ke Belanda mengikuti jejak kakaknya. Benar atau tidaknya aku harus memastikan sendiri. Yang jelas ia berdomisili di Denpasar.

Sepertinya agak sulit mencari alamat Astrid, sebab ia tidak pernah meninggalkan alamat kos-kosannya, pun perusahaan tempatnya bekerja. 

Astrid berasal dari Blitar. Ibunya asli Jawa, ayahnya orang Hongkong. Sejak kecil ia dirawat oleh neneknya. Kedua orang tua dan kakaknya berdomisili di Hongkong. Dari tahun ke tahun Astrid tumbuh menjadi gadis mandiri. Budaya Jawa dan Bali mulai diperkenalkan padanya. Memasuki sekolah menengah pertama, Astrid, oleh neneknya disekolahkan ke Bali hingga lulus diploma tiga. Dari situ ia mulai mandiri. Jauh dari orang tua dan kerabat, membuat sosoknya kian kuat. Berkali-kali ia tumbang, dan berkali-kali pula ia bangkit. Meski usianya masih 22 tahunia sudah menduduki posisi Wakil Direktur di sebuah perusahaan handycraft.

Dari kepedulian dan keterpaksaanku itulah aku memberanikan mencarinya. Astrid memang tidak meninggalkan alamat. Petunjuk, mungkin iya. Ia mengaku bekerja di perusahaan handycraft Denpasar di mana pemimpinnya bernama Maha. 

Tidak sulit, pikirku. Apalagi untuk wilayah Denpasar. Selain itu, ia juga punya hubungan dekat dengan pelukis asal Banyuwangi yang sudah dianggapnya sebagai kakak. Kabarnya sang pelukis memiliki galeri seni di Denpasar. Namanya: Reza. Lengkapnya aku tak tahu.

Hanya, aku pernah diceritai kalau Reza seorang pelukis profesional. Karya-karyanya sering terjual dengan harga puluhan juta. Pembelinya kebanyakan orang-orang berduit. Bahkan Reza sudah malang melintang ke seluruh dunia. Terakhir dia berada di Singapura. Aku pikir setiap seniman pasti mengenalnya. Mudah. 

Dengan petunjuk yang sangat minim itu, aku lantas berputar-putar di seluruh Denpasar. Hal pertama yang kulakukan adalah membuka-buka situs perusahaan handycraf seluruh Denpasar. Kedengarannya tidak masuk diakal, tapi hanya itu satu-satunya yang dapat kulakukan. Pun aku mengunjungi tempat-tempat pembuat handycraft. Hasilnya nihil.

Kesempatanku tinggal satu, yakni mendatangi galeri-galeri seni dan berharap agar menemukan Reza. Inilah tantangan terbesarku, mencari seseorang yang tak kuketahui orang serta keberadaannya. Seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. 

Tiga hari keliling tak ketemu juga. Aku mulai dihadapkan pada keputusasaan. Sementara aku sudah tak menetap di rumah Kadek. Semenjak kepulangan Yoga, aku memutuskan untuk tidak kembali ke rumah Kadek. Selama tiga hari luntang lantung di kampung orang. Ketakutan selalu menghampiri. Minder, iya. Lapar, sudah pasti. Dengan bekal yang sangat pas-pasan, aku berusaha menghemat sehemat mungkin. Sesekali aku berpuasa untuk mengirit uang.

Untuk makan aku terpaksa membeli nasi kucing. Selama itu tempat tinggalku tidak jelas. Kadang aku tidur di masjid, galeri seni, pinggir pantai, rumah sakit, warung kopi dan tempat-tempat yang sama sekali tak kukenal. 

Setelah melalui proses melelahkan, akhirnya pencarianku membuahkan hasil. Aku berhasil menemukan Reza. Sebuah galeri seni memantapkan langkahku untuk mendatanginya. Kabarnya pemilik galeri bernama Reza. Ketika memasuki galeri seni aku berpapasan dengan lelaki tampan. Usianya 37-an. Kulitnya kuning dan bersih. Serta berparas menyerupai artis.

Lelaki itu terlihat sedang duduk-duduk di dalam galeri. Matanya mengamati lukisan-lukisan yang terpampang di tembok. Nyala batang rokok menemaninya dalam kesendirian. 

“Selamat malam!”

“Malam juga.” Lelaki itu segera bangkit dari lamunan. 

“Maaf, Mas, apa betul ini galerinya Mas Reza?” Tanyaku.

“Iya, ada yang bisa saya bantu?” Matanya menukik tajam penuh curiga. 

“Saya mencari Mas Reza?” Perasan malu sempat menghinggapi. Maklum aku sendiri tidak mengenal orang yang kucari. Keinginan untuk beranjak dari tempat itu semakin menggebu-gebu. Kalau saja orang yang kucari tak ada, sedianya aku balik badan dan pergi dari tempat tersebut.

“Iya, saya sendiri!” Hatiku sedikit terhibur. Benarkah ini orang yang kucari. Kok, dia tidak seperti pelukis. 

“Apa Mas Reza melukis?”

Mendengar pertanyaanku lelaki tersebut segera beranjak dari tempatnya dan mempersilahkan aku melihat-lihat lukisannya. 

“Silahkan, lihat-lihat dulu. Apa Mas ingin dilukis?” Sekarang kecurigaannya berakhir, justru tata karma yang diperlihatkan.  

“Terima kasih, Mas. Saya ke sini cuma mencari orang. Namanya Astrid. Apa Mas kenal?” 

Lama dia tidak menjawab. Matanya kembali dipenuhi kecurigaan. Bagiku, dunia seolah berhenti. Kalau dia tidak mengenal Astrid berarti selesai sudah pencarianku.

“Iya saya kenal,” ah, betapa gembiranya hati ini, “kalau boleh tahu Mas ini siapa?” 

“Saya dari Surabaya, saya temannya Astrid,” tanpa ragu-ragu  aku langsung mengutarakan maksudku, “di mana kiranya saya dapat bertemu dengannya?”

“Sudah lama sih ia tidak kesini. Mungkin sibuk. Sekarang mungkin ada di kos-kosan!” Serunya. 

Persis gambaran Astrid selama ini. Sosok Reza ternyata seorang bijaksana, baik, terbuka, dan pengertian. Lega, akhirnya aku berhasil menemui seseorang yang selama ini cuma kudengar lewat cerita.

Meski baru kenal, aku merasa sudah mengenalnya cukup lama. Malam itu aku diantar ke kos-kosan Astrid. 

Dalam perjalanan hatiku serasa terkoyak-koyak. Antara percaya dan tidak, ini seperti mimpi. Apa benar ini Astrid yang kukenal, atau mungkin aku salah orang? Mungkin namanya saja sama tapi orangnya berbeda?

Ah, kau, bisanya cuma menghayal. Jangan menduga-duga sebelum bertemu orangnya. Ingat pesan Imam Ghozali: melihat lebih baik daripada mendengar. 

Kukuatkan hati melangkah mengikuti Reza. Sesampai di depan pagar rumah kami berhenti. Saat-saat yang ditunggu sebentar lagi tiba. Rumah itu sangat besar. Corak bangunannya mudah ditebak, seperti kebanyakan rumah-rumah Bali.

Di depan pagar tampak pahatan patung yang seolah menyambut kedatangan kami. Jauh ke dalam, tempat sajian berdiri dengan kokoh. Bau wangi-wangian khas menyerbak memadati hidung. Dalam rumah terdapat banyak kamar yang tersekat-sekat. Perkiraanku kamar Astrid berada di depan. 

Beberapa buah mobil terparkir mentereng di pelataran. Pandanganku cuma tertuju pada sebuah mobil Jazz merah. Aku ingat Astrid pernah bercerita memiliki mobil seperti itu. Di sampingku Reza mengangkat handphonenya. 

“Aku sekarang di depan rumahmu. Keluarlah!” Dia menelpon seseorang yang berada di dalam rumah. 

Satu menit kemudian pintu kamar depan terbuka. Seorang wanita mengenakan celana pendek dan kaos singlet berwarna putih keluar. Tangannya menggegam handphone yang lampunya masih menyala. Wajahnya belum terlihat jelas sebab terpantul oleh bayangan lampu. Meski remang-remang, aku dapat melihat kulitnya yang putih mulus. Rambutnya lurus, panjangnya sebahu dengan potongan poni di depan. Posturnya tinggi dan langsing. Lambat laun bayangan tersebut memudar berganti dengan wajah perempuan ayu nan jelita. 

Sulit aku membayangkan kecantikannnya. Ia benar-benar perempuan yang luar biasa. Benarkah ini Astrid? Benakku memburu dengan hebat. Tanpa sadar jantungku berdegup kencang. Inikah perempuan yang selalu kuajak bicara melalui gagang telepon?
 
Walau hanya sekali bertemu namun aku masih bisa merasakan bahwa gadis itu memang Astrid. Aku terus meresapi kehadirannya dan menganggap saat itu seluruh alam ditaburi cinta. Aku juga melihat wajah Astrid pada seluruh permukaan langit. Dalam gemerisik pohon terdengar lagu aroma cinta. Entahlah, mengapa aku jadi sentimental begini.

Aku seperti menemukan cinta pada tiap benda, pada mulut yang tersenyum, pada dahan-dahan pohon, dan pada bunyi merdunya angin yang tanpa malu-malu menabrakku. Aku terus berkhayal dan berkhayal. Hanya sesaat aku membayangkan wajah gadis di hadapanku, namun kubergegas bangkit dan memandang cakrawala yang luas, meninggalkan sebuah berharap yang pernah terpatri dalam hati. 

Dengan lemah gemulai perempuan tersebut membukakan pintu pagar. Ia cuek dengan keberadaanku. Tatapan matanya tajam. Sesekali saja ia melemparkan pandang padaku. Aku malah berusaha mencuri-curi pandang.

“Iya, Mas Reza ada apa? Kok malam-malam begini. Apa ada urusan yang mendesak?” Tanyanya penasaran. 

Suara ituya, aku sangat kenal betul dengan suara itu. Suara yang sudah 2 tahun bersemayam di telingaku. Hati selalu bergetar setiap kali berpapasan dengan suaranya. Nada suaranya lembut. Sedikit serak. Tetapi jika berbisik, bisikannya membuat dunia bak cincin atau kumpulan yang tak penuh. Kiranya seribu puisi tak ada yang pantas menggantikannya.

Tertawanya melebihi keindahan syair-syair tentang kehidupan manusia. Nadanya seindah sajak-sajak cinta yang disenandungkan oleh anak bangsa. Hembusan nafasnya bagai goresan tinta dalam tema ayat-ayat cinta. 

Dalam bait-baitnya tercermin lembayung kata-kata yang mengalir menyusuri kedalaman sungai hati. Kejernihan hati serta jiwanya merupakan serpihan cinta yang terkumpul dari air tinta kehidupan yang tak pernah padam.

“Ada temanmu yang ingin bertemu?” Reza membuyarkan lamunanku.

Kami kemudian beradu pandang. Ia menusukkan pandang padaku dan aku padanya. Pandangannya mencoba menjajaki pikiran serta hatiku. Mengamati dengan seksama. Mengingat-ingat. Meresapi.

Astrid, kau pasti ingat denganku, dengan cerita kita, dengan hubungan kita, dengan semua kejadian yang pernah kita lalui–meski kita baru sekali bertemu.

Ayo, Astrid, cobalah selami jiwaku, bahwa di balik raga ini tersembunyi seseorang yang pernah mengenalmu. Sudah cukup lama kau memutuskan kontak denganku, tetapi ikatan batin kita terlalu kuat untuk diputus. Ayo, Astrid, ingat-ingatlah. Aku yakin kau pasti ingat.

Untuk mengembalikan ingatan Astrid, aku mengulurkan tangan. Ia balas menjabatku. Tanganku tak dilepas-lepasnya. Sebaliknya tanganku yang lain membantu memegangi pergelangan tangannya. 

“Sudah lupakah kau, Astrid?” Kataku menggoncang-goncangkan tangannya dengan penuh kegembiraan.

 “Kautidak mungkin ini kau?” Ingatannya mulai pulih.

Sebentar-sebentar ia memejamkan mata, mengingat-ingat kembali, lalu membuka mata. Jari-jarinya yang lentik ditempelkan pada bibirnya yang mungil nan menggoda itu. Pandangannya terus tertuju pada bola mataku.

“Dia dari Surabaya?” Reza menimpali.

“Surabaya, benarkah kau…” ia masih tidak percaya.

“Iya, ini aku. Sudah tiga hari ini aku keliling Denpasar mencarimu. Kukira kamu sudah berada di Belanda.” 

Kulihat ia tersenyum begitu terbuka dan jujur, sebuah senyum yang membebaskanku dari gugatan nurani.

“Ya Allah, ternyata benar kamu,” ia segera merobohkan tubuhnya pada dekapanku. Kedua pipiku diciumnya. Astrid memang pernah berjanji padaku, suatu hari nanti, jika kita bertemu ia akan memeluk dan menciumku. Dan malam itu terbukti. Bukan sebagai kekasih melainkan sahabat pena, sahabat SMS, sahabat yang pernah hilang. 

Kiranya kekuatan apakah yang sanggup memutuskanku dari matanya. Melepaskan dekapannya. Linangan air mata menyelimuti kebahagiaan kami. Di balik bayang-bayang malam yang pekat, tak kuasa kumenangis, pun ia.

Hatiku terombang-ambing antara ia dan jalanan. Serta merta kudengar di atas perahu kaki-kaki basah berdebur menghadap malam dengan rasa rindu. Malam itu seluruh kebahagiaan umat manusia jatuh mengambruki diriku. Aku tak dapat bicara sesuatu pun. 

Rupanya kebahagiaan kami mendatangkan kesedihan pada raut wajah Reza. Aku melihat gumpalan kekecewaan. Mungkinkah dia cemburu?

Terima kasih, Reza, kau telah mempertemukan kami. Bagaimana juga kau tak perlu cemburu sebab hubungan kami cuma sebatas sahabat. Kutegaskan sekali lagi; cuma sahabat. 

Cinta, masih jauh.

Mungkin dulu pernah aku merasai cinta Astrid, sekarang tidak lagi. Meski ia tak lagi memadati hatiku, tapi aku masih bisa merasakan sisa-sisa kesejukannya.

Reza, pernahkah kau tanyakan pada dirimu apa arti cinta dan persahabatan. Penafsiranku keduanya memiliki kesamaan dan kelebihan. Keduanya sama-sama mengedepankan kebersamaan dan keterikatan batin. Kekuatan cinta terletak pada rasa, sedang persahabatan pada kepercayaan. Jika cinta dan persahabatan disatukan akan menjadi kekuatan yang maha dahsyat dan tiada tertandingi.

Malam itu kami larut dalam kebahagiaan. Astrid yang tadinya hendak tidur, urung. Dengan gegap gempita ia memasuki kamar dan keluar dengan dandanan terbaiknya.

“Ini perlu dirayakan. Biar aku yang traktir,” serunya, “Mas Reza, ikut ya!”

“Maaf, adikku, aku besok ada acara. Kalian berangkat saja. Oh iya, Al nanti kamu tidur di mana?” Reza memandangiku.

“Tidak tahu, Mas!”

“Masjid barangkali.” Sahutku lagi.

“Kamu menginap di galeri saja. Aku juga tidur di sana.” Balasnya, dan kusahuti terima kasih.

Kami berpisah. Reza kembali ke galeri. Aku dan Astrid berhappy ria. Motor kuparkir dalam rumah. Selanjutnya kami berkendara dengan mobil Astrid. Saat dia menyuruhku memegang kemudi, buru-buru kutampik.

Kan kau tahu aku tak bisa nyetir,” sahutku.

Dia memaklumi.

Malam itu kami melaju menuju Kuta. Yah, lagi-lagi Kuta. Di sini aku dan Selin bertemu. Entah bagaimana kabar Selin. Apakah sudah kembali ke negaranya. Sejak pertemuan terakhir itu, aku belum mendapat surel darinya. Barangkali ia dan Tessa masih melanjutkan liburan. Atau bisa jadi lagi dalam perjalanan pulang.

Tak banyak yang bisa kuceritakan soal Kuta, kecuali pertemuan heboh dengan SelinDan sekarang, aku ke Kuta bersama Astrid. Kuta seperti tak pernah bosan-bosannya. Apalagi sekarang aku ditemani Astrid.

Di dalam mobil kami bercanda banyak hal. Pun memasuki sebuah kafe. Kukira di sinilah setelah tiga hari keliling Bali, aku dapat merasakan makanan yang nikmat. Mengingat sebelumnya aku cuma makan apa adanya demi mengirit uang. 

Canda tawa pecah. Membumbung tinggi di langit-langit. Berputar-putar. Dan kemudian hilang ditelan waktu. Kami saling bercerita mengenai kehidupan kami. Apa dan bagaimana kami, ke mana saja kami, dengan siapa kami bergaul.

Kuceritakan ia soal Kayla. Dan ia pula satu-satunya alasanku meninggalkan rumah. Berpetualang entah ke mana. Astrid memandangi penuh takjub. Katanya, betapa besar cita-citaku menikahi Kayla, namun betapa kecil pula harapanku mendapatkan Kayla. Sehingga pada akhirnya aku berani mengambil keputusan untuk pergi jauh. 

Namun menginjak ceritaku dan Bali, Astrid sedikit terkejut. Ia manyun. Gadis itu tidak menyangka kegagalan kami mendaratkan kaki di Bali begitu mengiris-iris hati. Astrid berusaha menguatkan hatiku. Tanganku dipegangnya seperti memegang tangan kekasih.

Kurasakan kelembutan sentuhannya menusuk kalbu. Jiwaku tentram dan damai. Tak pernah aku pedulikan siapapun dirimu. Karena tak mungkin aku mendustai hati kecilku yang selalu merindumu sebagai sahabat.

Dan selamanya Astrid akan menjadi sahabatku. Aku sendiri tak mau berlarut-larut menyesali diri. Aku memang pernah punya rasa padanya. Perasaan itu tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi karena jarak yang terlalu jauh, akhirnya perasaan itu menghilang berterbangan. Dan kini, perasaan itu hadir lagi pada kami.

“Sekarang ke mana tujuanmu, Al. Apakah kamu akan menetap di Bali?” Astrid berusaha menempatkan posisinya pada posisiku.

“Entahlah. Aku membayangkan sebuah tempat di mana tiada penyesalan, yang ada cuma kebahagiaan. Tempat itu sangat termasyhur karena banyak dicari dan didamba orang. Di sana kebebasan tiada kenal batas. Cuma untuk mencapainya sangat sulit dan penuh rintangan.”

“Di mana itu, adakah Bali?”

“Bagiku Bali sudah tidak menarik lagi, kecuali kamu,” kataku dan kuteruskan dalam hati, “dan gadis bermata biru Selin.”

“Lalu di mana tempat itu?”

Aku selalu membayangkan Rinjani.” 

Astrid kaget.

Ia bertanya untuk memastikan. “Maksudmu gunung Rinjani!”

Aku mengangguk.

Ia bertanya lagi kenapa aku memilih Rinjani. Bukankah berbahaya ke sana sendirian. Menurutnya, masih banyak tempat-tempat indah lain yang dapat kusinggahi. 

Ya, memang banyak tempat indah di Bali bisa kusinggahi. Yang paling terkenal sudah kusinggahi semua untuk mencari keberadaan Astridmulai KutaSanur, Pantai Nusa Dua, Sisingaraja, Ubud, Bedugul, Kintamani, dan Tanah Lot.

Namun bayanganku hanya tertuju pada Rinjani saja. Namun untuk mendatangi tempat itu rasanya tidak mungkin. Selain membutuhkan biaya, aku ragu apakah mentalku kuat. Sementara uangku tinggal Rp 150 ribu. Aku sangsi apakah sanggup menyebrangi Lombok. 

Sudah lama aku mendamba puncak Rinjani. Dan selama ini aku cuma berkhayal.. Sebuah jawaban yang selalu menguras benakku. Pikirku, mumpung di Bali, tak ada salahnya aku menyeberang ke Lombok.

Kuceritai Astrid mengenai kesukaanku mendaki gunung hingga nyaris membuatku kehilangan nyawa sewaktu mendaki Semeru. Ia sangat memahami, namun juga tak dapat menyembunyikan kegundahannya. 

Yang menjadi kendala saat itu aku butuh persiapan. Dengan bekal seadanya tak mungkin mencapai Rinjani. Astrid memahami kekuranganku. Justru ia berkata akan mengusahakan mencarikan bekal untukku.

Soal biaya jangan dipikirkan. Lima juta cukup tidak!” Ia berkata blak-blakan. 

“Itu terlalu banyak, Astrid. Aku tidak butuh sebanyak itu. Kalkulasiku hanya satu juta, itu sudah termasuk semua biaya pengeluaran”.

“Baiklah. Seingatku ada beberapa temanku yang mempunyai peralatan mendaki. Besok sepulang kerja aku bawakan. Untuk sementara kamu menginap di mana?” 

“Kalau menginap di tempat kamu tidak mungkin. Sebaiknya aku tidur di Mas Reza saja.”

“Baiklah, besok sepulang kerja aku mampir ke sana.” 

Malam itu kami pulang. Setiba di kos-kosan aku langsung menuju galeri. Di sana Reza sudah menunggu. Kukatakan keinginanku mendaki Rinjani. Dia mendukung.

Esoknya, Astrid memenuhi janjinya. Sepulang kerja ia membawakan aku peralatan mendaki lengkap isinya, mulai ransel berukuran 100 liter, sleeping bed, matras, tenda, logistik, serta baju hangat. 

Kesemua itu dipinjam dari teman-temannya. Sebetulnya aku malu. Kerjaku cuma menyusahkan orang. Sekian kali mendaki gunung baru kali ini aku berbekal badan. Lainnya pinjaman.

Sekarang soal baju, aku memang tidak punya cukup baju. Di ransel yang kubawa ke mana-mana itu cuma berisi empat gelintir baju, satu celana panjang, dan satu celana pendek. Sejak Yoga kembali ke Surabaya seluruh barang bawaannya maupun punyaku dipaketkan. 

Kukira baju hangat pinjaman Astrid sedikit banyak memudahkanku mengatasi hawa dingin pegunungan. Setelah biaya perjalanan kuterima, aku lantas pamitan.

Kali ini keberangkatanku tidak ditemani motor butut peninggalan ayah. Baik Astrid maupun Reza menyarankanku meninggalkan motor di galeri. Kupikir juga begitu. Lebih baik motor kutinggal daripada membebani perjalanan. Toh, sepulang dari Lombok aku juga balik ke Denpasar. Danperjalanan ke Rinjani pun dimulai. [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...