Titik Nadhir #3
Poligami
Oleh: Noviyanto Aji
SMS Emma membuatku terjaga.
“Al, telpon aku sekarang, penting!”
Emma ini temanku di RAR. Kami sama-sama jadi redaktur koran.
SMS Emma masuk saat aku hendak memejamkan mata.
Isinya terlihat penting. Sedikit memaksa. Tidak biasanya Emma mengirim SMS seperti ini. Pasti sesuatu telah terjadi.
Emma segera kuhubungi. Suara Emma terdengar seperti orang ketiban sial.
“Halo Ma, gimana kabarnya. Apa semua baik-baik saja?” Tanyaku.
“Eh Al, aku ditawari kerja di Bali. Kamu mau ga?” Emma tidak menyinggung RAR. Jadi, kupikir tidak ada masalah.
“Bali, jauh juga!”
Seketika anganku mengembara ke mana-mana.
“Ok, siapa takut.”
“Beneran nih, soalnya yang dibutuhkan tiga orang termasuk aku. Kira-kira Yoga mau gak!”
Rupanya Emma meragukan keputusanku tanpa pikir panjang itu. Padahal aku sudah menjadi orang bebas. Lagipula aku masih bujangan. Paling masalahnya terletak pada ibu. Apakah diijinkan atau tidak. Sebab aku termasuk anak tunggal. Sejak ayah meninggal, ibu selalu menyibukkan diri di kantor dengan segudang pekerjaannya.
Sebaliknya, aku malah sangsi dengan Emma. Apakah dia bersedia berangkat ke Bali. Kalau sekarang dia bersedia, besok pasti lain jawabannya. Sebab Emma sudah berkeluarga, apakah dia rela meninggalkan istri dan kedua anaknya.
Dari tawaran Emma yang membuatku pusing adalah Yoga. Temanku yang satu ini kondisinya sama denganku. Sedikit suram. Juga mantan RAR. Dia memiliki istri sedang hamil lima bulan dan seorang anak berusia sembilan bulan.
Iseng-iseng kuhubungi Yoga. Tanpa tedeng aling-aling, Yoga langsung menyanggupi tawaranku. Gila, anak ini sudah punya istri dan anak. Ini jaman sudah edan. Emma gila, Yoga lebih gila lagi.
Ya sudah aku tak mau memusingkannya, toh sepak terjang jurnalis bukan dinilai dari kemampuannya melainkan kesanggupan dan kesiapannya. Seorang jurnalis harus bersikap seperti tentara, siap ditugaskan ke mana saja. Kalau pun harus mati di medan tempur, ya matilah.
***
Selang sehari seorang laki-laki menghubungiku. Dia Lakila, wartawan kawak. Kabarnya Lakila sudah malang melintang di dunia jurnalis. Bahkan dia mengaku pernah meliput di berbagai negara belahan dunia.
Lakila juga yang menawari Emma.
“Apakah Anda mau beraktualisasi di Bali?”
“Iya.” Jawabku singkat, padat dan jelas.
Pertanyaan ini juga dilontarkan ke Yoga.
Tak lama kami bertemu di Sidoarjo. Tak ada kata sambutan, sekedar jabat tangan.
Obrolan berjalan biasa-biasa saja. Benar dugaanku Emma tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Dia sudah berubah pikiran. Obrolan sebatas kesediaanku dan Yoga berangkat ke Bali.
Akan tetapi aku sedikit tertarik dengan pribadi Lakila. Orang ini berperawakan layaknya pertapa. Rambutnya cepak dan beruban. Usianya 45-an. Kumis tipis. Kulit sedikit gelap. Pandangannya selalu menunjukkan kesigapan seorang jurnalis, bahkan ketika didampingi istri tercinta.
“Dua isteri?”
Aku sedikit terkejut ketika dia bilang dua isteri. Lalu siapa perempuan yang duduk di sampingnya, yang pertama atau kedua?
Kulirik Yoga sekiranya dia nyambung dengan keterkejutanku. Eh, rupanya dia menyambutku dengan senyuman mengejek sembari mengangkat kedua alisnya.
Brengsek, mereka sengaja mengumbar keromantisan keluarga di hadapanku.
Soal poligami Lakila, aku sempat bertanya-tanya bagaimana dia membagi waktunya. Adakah dia bersikap adil terhadap isteri-isterinya?
Dia hanya mengangguk.
Aku melihat poligami tak ubahnya faktor keberuntungan. Jangankan dua isteri, punya sepuluh isteri atau lima puluh selir seperti raja-raja jaman dulu, tetap saja beruntung. Biarpun kemudian harus tumpah tindih atau cerai berkali-kali terserah pribadi-pribadi yang menjalani.
Hanya saja dalam agama, poligami kerap ditafsirkan keliru. Mereka berpoligami karena dilandasi hasrat semata. Padahal menikah bukan sekedar itu.
Dalam Surat An-Nisa’ ayat 3 berbunyi, ”…Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…”
Masalah berlaku adil terhadap seseorang bukan perkara mudah. Jangankan adil terhadap orang lain, pada diri sendiri saja terkadang masih sulit.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan para isteri ketika mendapati suaminya menikah lagi.
Selama ini aku selalu mendengar orang berbicara soal adil dalam kaitan poligami. Adil bagi mereka masih sebatas adil secara lahir. Selama kebutuhan belanja disama-ratakan itu sudah dianggap adil.
Bagaimana soal urusan batin? Bisakah keadilan batin diukur seperti dhohir (pukul sama rata).
Yang jelas tiap manusia memiliki rasa berbeda-beda. Dua orang meminum teh pastilah berbeda rasa dan seleranya. Yang satu bilang terlalu manis, satunya sudah cukup.
Adakah di dunia ini manusia bersikap adil?
Mengapa manusia selalu berpikir bisa menyelaraskan keadilan? Bukankah itu namanya arogan? Sejujurnya telah lama aku takut dosa-dosaku akan kembali mendatangiku. Dan akibatnya lebih dari yang bisa kutanggung.
Sejujurnya, keadilan manusia itu seperti fatamorgana. Yang justru nyata adalah keadilan Tuhan. Itulah adil seadil-adilnya. Sejak manusia dilahirkan ke dunia, mereka tidak pernah mengajukan meminta ini dan itu. Bayangkan pekik bayi tiba-tiba mengagetkan semua orang. Bayi itu menangis, semaunya sendiri, menuntut yang punya pendengaran untuk mendengarkan, dan yang mendengarkan tanpa diperintah memberi kasih sayang, memopoki dan menimang-nimangnya.
Alangkah lebih baik bila kehidupan manusia dinilai bukan dari keinginan serta hasrat saja. Sebab keinginan manusia dapat berubah-rubah bahkan lebih.
Hasrat dan keinginan hanya dapat diredam dengan kepasrahan dan keikhlasan. Orang Jawa bilang, jadilah orang neriman niscaya kita akan selamat dunia akhirat.
Seperti halnya sifat tanah, ketika diinjak-injak dia tidak berontak. Mau ditanami apapun–padi, ketela, tebu, apel–tak pernah berteriak. Bahkan ketika dibangun gedung-gedung bertingkat, tanah pun pasrah. Karenanya tidak ada falsafah yang menyebutkan air pertiwi atau udara pertiwi, yang ada bumi pertiwi.
Sekali lagi beruntunglah Lakila punya dalilnya sendiri, bahwa tujuan berpoligami semata-mata keinginan. Sehingga aku tak perlu repot-repot mengintrupsinya.
Lakila sangat menyadari betul adilnya manusia tidak menyamai adilnya Tuhan. Walau dia sudah adil terhadap isteri-isterinya, belum tentu adil di mata orang lain. Karena keadilan hakiki hanya milik Tuhan. Singkatnya, Lakila tertarik dengan curriculum vitae kami. Dia menilai kami cocok untuk tugas yang diajukannya.
“Melihat penampilan kalian seperti seniman, aku rasa kalian berdua cocok mengisi tugas ini. Semoga kehadiran kalian bisa memberi warna baru di sana,” pujinya.
“Terima kasih.”
“Setidaknya penampilan kalian seperti inilah yang disukai turis-turis Bali. Siapa tahu di sana kalian bisa menggaet bule?”
Kami cuma tersenyum menyambut kata-katanya.
Diakui Lakila, selama ini dia sering gagal mengutus orang ke Bali. Karena berbagai alasan, mereka yang ditugaskan kembali dengan tangan hampa.
Aku jadi penasaran apa yang menyebabkan mereka gagal. Kita lihat saja nanti. Setelah menentukan hari keberangkatan, kami pun berpisah.
[bersambung]