Titik Nadhir #5
Puspa
Oleh: Noviyanto Aji
Tanggal 6 esoknya, aku dan Yoga sepakat bertemu terlebih dahulu. Sebuah rencana cerdik kami susun, mengingat uang kami pas-pasan untuk sekali jalan dan hidup seminggu.
Yoga rela menjual komputer beserta printernya. Ini kuketahui setelah kembali dari berpetualang.
Agar efisien dan tidak memberatkan perjalanan, kami rencananya mengirim barang bawaan melalui travel dan satu motor (motorku) ke Bali. Sedang motor satunya dinaikkan gerbong kereta. Sesampai di Banyuwangi motor rencananya kami naiki dengan berboncengan.
Saat tiba di kos-kosan Yoga, ada sesuatu tidak mengenakkan hati. Pikiranku jadi gelisah melihat isteri Yoga. Perempuan itu seperti hilang kepercayaan diri.
“Yoga ke mana?” Tanyaku.
“Masih di rumah. Dia bilang lagi ngumpulin duit, sebentar lagi juga balik. Ditunggu aja Mas!”
Dia segera beranjak ke dapur dan kembali membawa segelas kopi.
Kasihan kondisi perempuan asal Ngawi itu. Dalam kondisi hamil lima bulan, Puspa harus ditinggal suaminya merantau ke Pulau Dewata.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana nasib Nadis (anaknya) yang masih berumur sembilan bulan. Tiap pagi ditimang ayahnya dan tiba-tiba sekarang harus merangkak sendiri di kos-kosan menunggu kedatangan ayahnya.
“Mas, emangnya di Bali lama ya,” ia terhenti, ragu-ragu, dan nampaknya sedang menghimpun ketabahan.
“Berapa hari?” Puspa berusaha mengorek keterangan dariku.
“Entahlah Pus, aku gak tahu keadaan di sana. Yang pasti bukan hitungan hari.”
Perempuan malang itu menghembuskan nafas panjang sembari merenungi nasibnya dengan gontai. Rasa lelah menjadi ibu rumah tangga–mengurus anak, memasak, mencuci pakaian sambil kemana-mana membawa janin dalam kandungan–tak lagi dirasakannya.
Tubuhnya disandarkan ke dinding. Kedua kakinya dibujurkan ke Utara. Perempuan ini tak punya daya untuk berontak. Sebentar-sebentar mengelus perutnya yang tengah buncit. Seolah berkata kepada calon jabang bayi: Nak, perjuangan belum usai. Kamu yang sabar dulu ya. Jangan nakal jika ayah pergi. Kalau ayah berhasil dia akan kembali membawa oleh-oleh buat kamu.
Puspa segera memalingkan pandangan ke depan televisi di hadapan kami. Tombol remote dipencet-pencet, digonta-ganti mencari channel yang apik. Kemudian dia berhenti di tombol nomer tujuh yang menyajikan tontonan gosip. Setidaknya ini bisa menghibur perasaannya yang gamang. Kendati demikian aku bisa melihat sorot matanya yang hampa dengan kesedihan mendalam.
Sudah setahun ini sejak Yoga mengundurkan diri dari RAR, kehidupan pengantin muda tersebut tak surut diterjang gelombang. Keduanya bertemu di Madiun. Laki-laki jebolan Unitomo tersebut ditempatkan selama setahun guna mengcover sebuah berita, sedang Puspa bekerja sebagai SPG di sebuah mall Madiun.
Entah bagaimana ceritanya mereka bertemu, tiba-tiba saat itu Yoga menelponku dan mengumumkan kabar pernikahannya. Semula aku tidak menanggapi serius.
“Aku tidak percaya kamu menikah, kecuali kepepet,” ejekku.
“Bener Al, besok aku mau menikah!” Yoga tertawa renyah.
Dugaanku benar, Yoga menikah karena terpaksa. Sudah tujuh bulan Puspa mengandung anaknya.
Pantas jika dia dikejar-kejar deadline menikah. Dari hari ke hari perut Puspa makin membesar. Kira-kira apa yang dipikirkan temanku, mengapa dia tak segera menikahinya, mengapa harus membiarkan kekasihnya menunggu selama tujuh bulan. Sepele saja jawaban Yoga. Dia belum siap saat itu. Edan, anak orang sudah hamil tujuh bulan tidak segera dinikahi.
Sebagai seorang teman aku hanya bisa mendukung dan mendoakan semoga pernikahannya langgeng. Tidak ada teman kantor yang tahu Yoga menikah, paling cuma aku dan teman dekatnya. Pernikahan dilangsungkan di Ngawi dengan sangat sederhana. Tak ada resepsi maupun pesta.
Selang dua bulan, anaknya lahir. Saat itu dia sudah keluar dari RAR. Dan entah kenapa sejak itu keberuntungan tak pernah berpihak padanya. Berbeda dengan kata-kata temanku, bahwa setelah menikah kehidupannya berubah drastis, bahkan rejeki makin bertambah.
Sebaliknya, rejeki justru menjauhi Yoga. Sementara keluarga barunya mulai ditimpa kegalauan. Beruntung dia memiliki seorang isteri pengertian. Kalau perempuan lain mungkin takkan sanggup bertahan dengan kondisi demikian. Kadang aku merasa berdosa karena ikut andil mempengaruhi hidupnya yang tak semestinya kulakukan.
Apa mau dikata setiap orang punya pilihan masing-masing. Keluarnya dia dari RAR disebabkan kondisi yang tidak menentu. Yoga menganggap RAR sudah memasung jiwa, pikiran, serta hidupnya. Kebebasan memang bukan milik siapa-siapa selain pribadi-pribadi yang menjalani. Tak perlu menyesali apa yang sudah menjadi keputusannya.
Yah, lagi-lagi itulah hidup.
Semakin tinggi pohon itu, makin tinggi pula anginnya. Jika kau segan menerima banyak angin, jangan jadi pohon tinggi.
Setelah anaknya lahir, menginjak tujuh bulan, laki-laki berperawakan ceking, berkulit sawo matang dan berambut gondrong itu kembali mengumumkan kabar heboh. Isterinya hamil lagi.
Buset, cepat amat, pikirku.
Dari sini keadaan makin tak terkendali. Kabar mereka kerap berselisih sudah bukan rahasia lagi. Malah, Yoga pernah mengancam isterinya agar tidak menggugurkan kandungan.
“Awas, kalau kamu berani menggugurkannya. Aku takkan pernah memaafkanmu. Anak adalah titipan Ilahi. Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaganya,” ancamnya.
Puspa memang pernah mengajukan permintaan ke suaminya agar menunda kehamilan. Jangankan hamil, mengurus si kecil saja sudah kuwalahan. Belum lagi kondisi ekonomi yang masih jauh dari yang diharapkan. Kehamilan Puspa yang kedua memang di luar dugaan. Wajar jika kemudian dia meminta ijin ke suaminya untuk menggugurkan kandungan.
Inilah yang memicu perselisihan di antara pasangan muda tersebut. Beruntung keduanya buru-buru melakukan gencatan senjata sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, baik Yoga dan Puspa sepakat merahasiakan kehamilan tersebut dari keluarga.
Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh. Menginjak hari keberangkatan, akhirnya rahasia itu terbongkar di hadapan ibunya. Tentu saja ini menjadi kado menggembirakan bagi sang ibu yang sebentar lagi menimang cucu kedua. Yoga berpesan kepada keluarganya kiranya bersedia menjaga Puspa selama kepergiannya.
Akan tetapi kejujuran terasa memberatkan bagi lelaki ini. Bukannya direstui malah kepergiannya sempat dihalang-halangi sang ibu.
“Apa kamu tega meninggalkan Puspa sendirian di kos-kosan!” Nasehat sang ibu.
“Bagaimana lagi Ma, ini satu-satunya kesempatanku mendapatkan yang terbaik bagi keluarga,” ujarnya.
Yoga sudah tidak peduli dengan nasehat keluarga sebab dia juga memiliki keluarga yang harus dihidupinya.
“Ya sudah kalau begitu, kamu ajak Puspa ke rumah saja daripada dia di kos-kosan sendiri. Kasihan dia. Kalau ada apa-apa nanti bagaimana!”
Tak ubahnya suami, Puspa juga bersikeras pindah dari kos-kosan. Dia menolak tinggal bersama mertuanya karena hal itu akan membuatnya selalu bergantung kepada orang lain.
Dalam hati aku mengacungi jempol kegigihan perempuan ini. Puspa sendiri seorang anak yatim piatu. Sejak kecil dia sudah ditinggal mati kedua orang tuanya.
Bersama adik semata wayang yang kini bekerja di Australia dan menikahi orang Thailand, Puspa tumbuh menjadi gadis mandiri. Hidup dalam kemapanan dan kekayaan tidak pernah terbesit dalam angan-angannya.
Dia lebih bahagia hidup apa adanya bersama orang yang dicintai. Keuletan, kegigihan, serta kesabarannya menjalani hidup, tak pelak membuat orang terpukau, bukan lantaran empirisme (rasa kasihan) tapi lebih pada respect (rasa hormat).
Tidak pernah bergantung kepada orang lain adalah prinsip hidup Puspa, bahkan ketika masalah bertubi-tubi datang mendera. Seandainya aku boleh menyebut dia adalah Kartini masa kini.
Teringat Pramoedya Ananta Toer mengenai sosok Kartini. Menurutnya, Kartini seorang putus-asa, tak tahu apa harus ia perbuat untuk bangsanya. Maka dia merasa lelah karena terlalu banyak melihat pada penderitaannya saja, ia pun mendambakan tidur, kemudian ikut menikmati jaman modern yang cerah setelah bangun. Jaman modern bukan dibangunkan dalam tidur dengan impian.
Entah Puspa bersedia kusebut Kartini versi Pram atau tidak, atau mungkin ketabahannya melebihi Kartini.
Perjuangan hidup memang tak bisa dibeli dalam waktu semalam. Rentetan kejadian demi kejadian tidak lantas membuatnya patah arang. Puspa terus berjuang mati-matian mempertahankan hidup, walau harus bergelut dengan maut.
Inilah yang membuat sosok perempuan ini memiliki nilai lebih dimata keluarga. Ia bukan ingin jadi seekor penyu yang hendak melawan ombak yang bisa dipermain-mainkan, tapi justru menjadikan dirinya sebagai ombak yang menggulung-gulung.
“Mas, diminum kopinya, nanti keburu dingin!” Puspa membuyarkan angan-anganku.
“Eh, iya, kok lama Yoga?”
“Maklum Mas, duit jaman sekarang sulit dicari. Mungkin sebentar lagi.”
Tak lama suara motor menderu. Bunyi remnya mencicit lirih diantara bebatuan halaman rumah. Si pengendara terlihat tergopoh-gopoh memarkirkannya. Yoga. Lelaki tersebut kelihatan tidak gembira. Dengan seenaknya dia menyandarkan tubuh di pintu masuk.
“Sudah dapat Mas uangnya?” Puspa menyambut kedatangan suaminya, ia segera membuatkan kopi pahit kesukaannya.
“Alhamdulillah, sekarang kita bisa berangkat.” Yoga menoleh ke arahku.
“Baik, kita ketemu di kantor Kecamatan Wonokromo,” kataku.
“Kenapa di sana?” Yoga memandangku aneh.
“Di sana kan kantor ibuku. Setelah memaketkan barang, kita bisa menunggu kereta sambil makan-makan.”
Yoga setuju. Aku pun pamit. Tak lupa kuminta doa restu ke perempuan hebat tersebut. Kali saja doa orang hamil manjur.
[bersambung]