Akhirnya Disatu-keranjangkan…
Oleh: Radhar Tribaskoro
TADI pagi saya menerima pesan, “Akhirnya disatu-karungkan…” Pesan itu melampirkan video pembakaran foto Prabowo dan Gibran oleh demonstran di Malang. Pesan ini sepertinya berkorelasi dengan dua peristiwa beberapa hari sebelumnya.
Peristiwa pertama terjadi pada acara HUT Partai Gerindra di Sentul-Bogor pada 15 Februari 2025. Saat itu Presiden Prabowo sebagai Ketum Partai Gerindra melepaskan cercaan “Ndasmu…” kepada orang-orang yang ingin memisahkan dirinya dari Jokowi. Cercaan yang sama pernah ia sampaikan kepada Anies Baswedan, pesaingnya dalam Pilpres 2024.
Ucapan ini cukup mengejutkan kalangan masyarakat sipil yang selama ini menjadi oposisi pemerintah. Mereka telah beroposisi kepada Jokowi setidaknya dalam beberapa tahun terakhir. Ketika Prabowo berkuasa mereka sebetulnya punya harapan, itu sebabnya kritik tetap diarahkan kepada Jokowi.
Harapan mereka Prabowo memberi keadilan. Situasinya cukup produktif saat Prabowo bersikap tegas dalam kasus beking judol Menteri Budi Arie dan kasus PSN PIK2. Namun situasi yang relatif kondusif itu seketika buyar setelah cerca Prabowo tiba.
Reaksi atas cerca itu, saya kira, menjadi salah satu pemicu dari demonstrasi besar bertajuk #indonesiagelap, 17 Oktober 2025. Demonstrasi itu terkoordinasi dengan baik, karena serentak berlangsung di 25 kota dan mengusung tuntutan 13 poin yang sama. Demo di Malang adalah bagian dari demo besar itu.
Apakah mahasiswa termasuk kelompok yang dicerca Prabowo. Tentu saja. Mahasiswa merasa perlu merespon cerca Prabowo sebab mahasiswa termasuk pengritik pemerintah yang keras, sejak revisi UU KPK 2019.
Mahasiswa juga menaikkan tagar #reformasidikorupsi saat MK mengijinkan Gibran menjadi cawapres. Mahasiswa juga bergerak bersama para guru besar dalam aksi melawan #cawecawepresiden.
Reaksi mereka itu seakan mengatakan, “Baiklah, kalau anda tidak mau dipisahkan maka anda disatu-keranjang”. Itu berarti, Prabowo harus memikul semua dosa-dosa Jokowi. Prabowo harus bertanggung-jawab atas 13 persoalan yang dikemukakan mahasiswa, walau ia baru 100 hari bekerja.
Dengan demikian telah terjadi perubahan orientasi. Sebelumnya para pengkritik mengarahkan kritik mereka spesifik kepada Jokowi, sekarang perlawanan mereka juga tertuju kepada pribadi Prabowo. Simbolnya: fotonya ikut terbakar bersama foto Gibran, putra Jokowi.
Mengapa hal ini terjadi? Lebih tepatnya, mengapa Prabowo merasa tidak dapat dipisahkan dari Jokowi?
Memahami Prabowo
Prabowo adalah pribadi yang kompleks, mustahil memahami dirinya sepenuhnya. Tetapi menjadi kewajiban kita untuk berbicara dan bertindak dengan kesadaran. Dan itu membutuhkan pemahaman. Maka betapapun sederhananya, saya tetap merasa perlu memahami Prabowo. Pertama-tama, memahami Prabowo berarti memahami bagaimana ia dibesarkan.
Masa kecil Prabowo tidak bisa dibilang menyenangkan. Ia hidup terlunta-lunta di negara asing setelah ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo, dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI. Walau begitu ia bisa menyelesaikan pendidikan menengah dan kembali ke Indonesia setelah ayahnya diminta menjadi salah satu menteri di kabinet Soeharto. Prabowo memilih melanjutkan studinya di Magelang, ia ingin menjadi tentara seperti kedua pamannya.
Sejak saat inilah saya kira Prabowo mulai menghadapi kontradiksi atau dalam istilah psikologi disebut konflik kognitif. Sebagai prajurit Prabowo diajar untuk mencintai negara tanpa reserve, ia harus loyal. Ia tidak boleh memberontak. Baginya memberontak sama dengan berkhianat. Namun apa yang dilihatnya di seberang meja makannya? Ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo, adalah seorang mantan pemberontak. Lepas dari benar-salah tindakan sang ayah, bagi seorang prajurit memberontak tetap dosa besar tak termaafkan.
Belakangan kontradiksi itu justru semakin membesar. Ayah mertuanya, Soeharto, digulingkan sebagai penguasa otoriter. Batinnya bergejolak antara membela mertua dan membela rakyat. Akhirnya, dalam pergolakan politik yang rumit seputar Reformasi 1998, ia tersingkir dari keluarga maupun TNI yang ia cintai.
Apa yang Prabowo muda pelajari dari konflik kognitif yang menimpanya? Leon Festinger (1957) mengatakan bahwa ketika seseorang mengalami konflik kognitif antara dua nilai atau keyakinan yang bertentangan—misalnya, menghormati pemimpin atas jasanya tetapi juga ingin menegakkan hukum—mereka akan mengalami ketidaknyamanan psikologis (disonansi).
Salah satu cara mengatasi ketidak-nyamanan itu, menurut Festinger, adalah dengan memaafkan dan melupakan. To forgive and to forget. Cara lain adalah dengan mengubah persepsi terhadap hukum, misalnya dengan menganggap bahwa dalam beberapa situasi hukum bisa dinegosiasikan demi stabilitas.
Penjelasan lain diberikan oleh teori Hipotesis Dunia Adil (Lerner 1980). Hipotesis ini menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mempercayai bahwa dunia ini adil dan orang mendapatkan apa yang pantas mereka terima. Jika seorang pemimpin yang dihormati terbukti melanggar hukum, individu yang meyakini dunia sebagai tempat yang adil mungkin akan mencari alasan pembenaran bahwa pelanggaran tersebut tidak terlalu buruk atau diperlukan demi kepentingan yang lebih besar.
Maka bila Prabowo bisa memaafkan dan melupakan kesalahan ayahnya dan mertuanya, tidak sulit baginya untuk memaafkan Jokowi. Apalagi ketika Prabowo beranggapan bahwa Jokowi telah berjasa menjadikan dirinya presiden Republik Indonesia.
Sepengetahuan saya Prabowo sangat konsisten dalam memaafkan dan melupakan kesalahan orang kepada dirinya. Tidak terbilang banyaknya orang yang telah membohongi, menipu, mengkhianati bahkan bertindak jahat kepada dirinya. Tetapi Prabowo forgive and forget.
Namun, apa yang berlaku kepada Prabowo tidak mesti berlaku kepada negara. Tepatnya, apa yang relevan bagi individu tidak mesti relevan bagi sosial. Individu dan sosial memiliki hukum, logika dan perilaku yang berbeda. Prabowo boleh forgive boleh forget. Tetapi rakyat tidak boleh forgive, tidak juga boleh forget.
George Santayana mengatakan, “Mereka yang tidak belajar dari sejarah ditakdirkan untuk mengulanginya.” Karenanya, kita tidak boleh melupakan sejarah. Pemahaman konteks sejarah penting agar kita tidak hanya melihat tokoh dalam perspektif moral hitam-putih tetapi juga dalam kompleksitas zamannya. Nelson Mandela pernah berkata, “Pemimpin yang baik harus siap mengakui kesalahan mereka dan belajar dari kesalahan tersebut.” Hal ini menunjukkan bahwa menghormati jasa seseorang tidak berarti kita harus mengabaikan kesalahannya.
Tabrakan
Ketika Prabowo membawa penyelesaian konflik kognisinya ke ranah negara, ia berpotensi bertabrakan dengan masyarakat. Sikapnya yang tidak ingin dipisahkan dari Jokowi melahirkan pertanyaan, apakah Prabowo mau memikul dosa Jokowi? Mengapa ia secara kategoris menganggap Jokowi tidak bersalah? Apakah ia akan mengabaikan begitu saja tuduhan dan dakwaan kepada Jokowi, baik terkait pelanggaran hukum, perusakan demokrasi dan korupsi?
Dalam tradisi demokrasi, semua pemimpin, harus dinilai berdasarkan dampak kebijakannya, bukan sekadar niat baiknya. Ini penting agar kita tidak terjebak dalam glorifikasi buta. Akuntabilitas harus menjadi standar utama dalam menilai seorang pemimpin.
Bung Hatta pernah mengatakan, “Indonesia tidak kekurangan orang pintar, tetapi kita kekurangan orang jujur.” Prinsip ini menegaskan bahwa yang terpenting bukan hanya kecerdasan atau jasa seseorang, tetapi juga integritasnya dalam menjalankan kepemimpinan.
Pendidikan sejarah harus bersandar pada fakta, bukan narasi yang disederhanakan. Anak muda harus diberi pemahaman kritis agar mereka bisa menilai sendiri tanpa harus dipaksa mengidolakan atau membenci seorang tokoh.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Yuval Noah Harari dalam Sapiens, yang menyatakan bahwa mitos sering kali digunakan untuk membentuk identitas kolektif tetapi tidak selalu berdasarkan kebenaran historis. Sejarah yang akurat dan kritis lebih bermanfaat daripada sekadar mitos heroisme.
Filsafat Jawa mengajarkan agar kita mengangkat yang baik (mikul duwur) dan menyimpan dalam-dalam yang buruk (mendem jero). Ini bisa diterapkan dalam konteks penghormatan, tetapi bukan berarti menghapus kritik atau menyembunyikan kesalahan. Mikul duwur bisa berarti kita tetap menghormati jasa tokoh-tokoh bangsa tanpa: harus menjadikan mereka suci. Sementara mendem jero bukan berarti menutupi kesalahan mereka, tetapi menggunakannya sebagai bahan refleksi, bukan sekadar bahan caci maki.
Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Sejarah bangsa ini adalah sejarah pengkhianatan terhadap dirinya sendiri.” Hal ini mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap upaya menutupi kesalahan dengan alasan persatuan atau penghormatan.
Jadi, yang seharusnya kita ajarkan kepada anak muda adalah cara berpikir kritis, bukan sekadar daftar pahlawan yang harus diidolakan atau dihujat. Sejarah bukan untuk menghakimi masa lalu, tetapi untuk belajar agar tidak mengulang kesalahan yang sama.
Sejatinya, Prabowo Bukan Jokowi
Apalagi, sebetulnya keduanya sangat berbeda. Memang Prabowo menyatakan bahwa dirinya dan Jokowi adalah satu kesatuan, tetapi kenyataannya visi mereka dalam membangun bangsa sangat berbeda.
Dalam bukunya Paradoks Indonesia, Prabowo telah lama menyoroti masalah ketimpangan ekonomi dan dominasi oligarki. Prabowo juga sudah sejak lama menekankan pentingnya hilirisasi sumber daya alam agar Indonesia tidak hanya menjadi pengekspor bahan mentah tetapi juga mampu mengolah sendiri kekayaannya. Prabowo telah menekankan hilirisasi jauh sebelum Jokowi mendengarnya.
Jokowi dikenal sebagai sosok yang sangat pragmatis (oligarki apa saja boleh asal invest), sementara Prabowo lebih menekankan kemandirian ekonomi dan kedaulatan nasional dalam pengelolaan sumber daya. Salah satu perbedaan utama antara keduanya adalah sikap terhadap oligarki. Prabowo secara terang-terangan mengakui bahwa ketidakadilan di Indonesia terjadi karena kekuatan oligarki yang semakin menguat, sementara Jokowi cenderung lebih akomodatif terhadap kepentingan para konglomerat dan elit politik.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah Prabowo akan benar-benar mampu melawan oligarki jika dirinya sendiri berada dalam lingkungan politik yang penuh dengan kepentingan tersebut? Apakah ia akan tetap konsisten dengan gagasannya tentang keadilan ekonomi, atau akhirnya terjebak dalam kompromi politik yang sama?
Thomas Jefferson pernah berkata, “Kebebasan membutuhkan kewaspadaan abadi.” Maka, meskipun Prabowo dan Jokowi mengklaim berada dalam satu perahu, rakyat tetap harus waspada terhadap bagaimana kepemimpinan mereka berjalan dan memastikan bahwa janji-janji mereka tidak hanya menjadi retorika belaka.@
*) The BRAIN Institute