Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Misi Intelijen AS ke China Era Mao

Oleh: Rosdiansyah

TEPAT tiga tahun usai Pearl Harbour dibombardir Jepang, AS menggulirkan program Misi Dixie. Misi ini bertujuan mendekati sekaligus mempengaruhi elit Partai Komunis Cina (PKC). Saat itu, Desember 1944, AS membutuhkan PKC guna menghadapi kekuatan Jepang. Perwira senior AD AS Kolonel David Barrett bertemu langsung dengan Chou En Lai dalam pesawat militer AS. Chou elit penting dalam struktur PKC, sedangkan Barrett ketua Misi Dixie ke markas besar PKC di Yan’an.

Kubu Chiang Kai-shek dan Partai Nasional kala itu sedang berusaha menghabisi PKC. Upaya mereka sudah dilakukan sejak dekade ’20an. Meski sebelumnya, kedua partai bersepakat untuk memerangi Jepang. Namun kesepakatan itu ternyata menyimpan bara ketidaknyamanan. Chou yang sedang berada di Chongqing segera meminta Barret untuk mendampinginya ke Yan’an dan bertemu dengan para pimpinan PKC.

Pada tahun 1937 Chiang Kai-shek memindahkan ibukota pemerintahannya dari Nanjing ke Chongqing usai Jepang masuk ke Nanjing. Chongqing dikelilingi pegunungan sehingga jaringan kereta api belum terpasang sampai ke kota ini. Sedangkan Jepang sudah menguasai jaringan kereta api di China sehingga situasi ini cukup menyulitkan taktik perang yang dilancarkan oleh kubu Chiang Kai-shek dan PKC terhadap Jepang.

Misi Dixie yang berkualifikasi intelijen itu menunjukkan bagaimana pendekatan paternalistik AS dalam meluaskan pengaruhnya pada dekade ’40an usai pengeboman Jepang ke Pearl Harbour. Selain ke para aktor perlawanan China di Jepang, AS juga meluncurkan misi serupa ke Filipina dan seluruh wilayah Karibia. Tujuannya, bersekutu dengan kelompok di wilayah sasaran yang sedang memperjuangkan pembebasan wilayah.

Secara tersembunyi, misi-misi intelijen tersebut termaktub di dalam akta keamanan nasional yang dirilis Presiden AS, Harry Truman. Dan misi yang didukung dengan ekspansi biroktatik itu kemudian menjadikan praktek-praktek intelijen di lapangan terus dimonitor oleh kantor khusus. Saat itu, CIA belum lahir. Uniknya, seluruh pejabat dan aktor intelijen yang terlibat di dalam kantor tersebut bisa melakukan eksekusi keputusan atas nama pemerintah.

Bahkan interaksi langsung dengan para pemimpin China saat itu merupakan pertanda bahwa Misi Dixie bukan sekadar untuk pengumpulan informasi intelijen. Melainkan misi tersebut juga menjadi pintu masuk mempertemukan para pejabat AS dengan para pimpinan PKC. Inilah pertama kalinya pertemuan antara pemerintah AS dengan para pimpinan PKC. Tentu saja, Chiang Kai-Shek menentang ini. Kontak berlanjut pertemuan berlangsung selama musim panas 1944 dan para pejabat AS yang ditempatkan di Yan’an tetap bertahan hingga Maret 1947.

Penempatan para pejabat AS itu juga bertujuan untuk mencegah perang saudara antara kubu nasionalis dan komunis di China. Meski upaya mediasi AS ini terbukti gagal, namun terlihat sekali niat AS di Yan’an yang ingin membangun kembali tatanan dunia bercorak liberal sesuai selera AS. Tentunya, para penentu kebijakan AS memakai praktek intelijen yang agak canggih pada masa itu, yakni pendekatan, penyerapan lalu mediasi antar kelompok lokal.

Praktek itu faktanya justru menciptakan kendala tersendiri bagi para penentu kebijakan AS karena terlalu bertumpu pada sokongan serta kemahiran tokoh lokal. Sedangkan para tokoh lokal malah melihat keamanan global tak seperti yang dilihat AS. Agenda para tokoh lokal tak sama dengan agenda global yang diacu AS usai pangkalan AS di Pearl Harbour dihajar Jepang. Sampai dekade ’50an misi Dixie masih mempertanyakan loyalitas pada pemimpin PKC terhadap tujuan-tujuan AS walau PKC telah diberi perhatian khusus oleh AS.

Hubungan PKC-Misi Dixie AS bersifat timbal balik. PKC mengajar para pejabat AS bagaimana memahami situasi dan kondisi China, sebaliknya melalui misi tersebut PKC bisa punya akses ke pesawat-pesawat AS yang sedang berada di China. Pesawat-pesawat tersebut mengangkut dokumen, tokoh PKC, peralatan serta logistik melintasi kota-kota China. Dari Xi’an ke Chongqing dan dari India ke China menerobos pegunungan Himalaya. PKC bisa bergerak leluasa dari udara berkat pesawat AS. Jalan darat tidak memungkinkan sebab lokasi Yan’an dikepung wilayah yang sudah dikuasai Jepang.

Selama berinteraksi dengan para pemimpin PKC ini, baik pejabat AS maupun para perwira yang terlibat di dalam misi Dixie, telah memperoleh pengalaman berharga. Terutama untuk memahami wilayah, budaya serta cara berpikir elit PKC, yang kelak di kemudian hari akan menentukan Tiongkok. Meski, setelah PKC menguasai panggung politik China sejak 1949, namun AS telah mempunyai arsip serta dokumentasi penting tentang China.

Akhirulkalam, AS negara berideologi kapitalisme dan pasar bebas. Itu tak perlu diragukan lagi. Sebaliknya, PKC sedari awal sudah berideologi komunisme. Namun, untuk kepentingan taktis, dua kekuatan ini bisa bertemu dan saling memanfaatkan. Pembacaan paling mendalam AS terhadap China, yaitu aspek budaya, sosial, cara pandang, karakter China, terjadi pada masa-masa Chou En Lai dan Deng Xxiao Ping ini. Masalahnya, abad sudah berganti. Saat ini China pun ingin menjadi adidaya, bukan sekadar pihak yang dimanfaatkan AS lagi. Nah, disitulah AS kini tampaknya masih sibuk mencari cara baru menghadapi China yang sudah berubah.@

*) Penulis adalah akademisi dan periset

Komentar
Loading...