Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #1

Saya Dikutuk

Oleh: Jendra Wiswara

Perempuan itu hidup di tengah hutan. Dia sudah gonta ganti suami selama 9 kali. Dia mengaku dikutuk menjadi seorang bahu laweyan. Suami-suaminya mati tragis setelah jadi tumbal makhluk halus yang bersemayam di tubuhnya.                     

—————————-

Wajahnya tampak segar. Dia baru mandi di bawah pancuran air gunung Penanggungan. Kamar mandi itu terbuat dari alam. Cuma ditutupi anyaman bambu. Sementara di atasnya beratapkan langit. Di dalam kamar mandi, ada semacam pancuran yang aliran airnya diambil dari sumber air pegunungan Penanggungan.

Nunuk, itu namanya. Selesai mandi, rambutnya basah tampak mengembang. Sesekali dia mengibas-ngibaskannya, mirip ekor sapi bergoyang kesana kemari. Namun saat bertemu orang, dia buru-buru menutupi rambutnya. Malu, katanya. Bukan muhrim.

Wajah Nunuk terlihat sumringah pada setiap orang. Pembawaannya sopan. Selalu menjaga tata karma. Saat ada pencari kayu melintas, dia langsung menawarkan diri.

“Mampir, Mbok!”

“Kalau belum makan, di sini banyak lauk dan nasi,” tawarnya.

Mungkin saking pegalnya, si pencari kayu hanya menanggapi sekilas. “Sudah!”

Nunuk memang membuka warung kecil-kecilan di bawah kaki gunung Penanggungan. Sudah hampir 6 tahun dia hidup di hutan. Hanya mengandalkan pendapatan dari warung.

Namun keputusannya tinggal di hutan semata-mata faktor keadaan. Ya, jika Nunuk mengenangkan kejadian demi kejadian yang pernah dialaminya, betapa hal itu terlalu menyesakkan.

Banyak burukya, juga banyak hikmahnya.

Sebelum memutuskan mengasingkan diri dari keramaian kampung, Nunuk mengaku sering begonta-ganti pasangan hidup. Keadaan yang telah membuatnya demikian. Beberapa pria dinikahi resmi, kebanyakan menikah siri.

“Saya menikah dengan suami-suami saya. Ada yang resmi ada yang siri,” cerita Nunuk membuka obrolan.

Yang mengejutkan, Nunuk mengaku telah menikah sebanyak 9 kali. Semua laki-laki yang dinikahinya memiliki kesan tersendiri.

Cerita Nunuk kemudian bergeser dari hal-hal yang tidak mengenakkan hidupnya hingga kisah percintaannya yang tidak disangka-sangka. Tidak perselingkuhan dalam kisah Nunuk.

Usia Nunuk sendiri tidak muda. Dari perawakan, dari cara bergerak, dan dari kekuatannya, dia seperti perempuan berumur 29 tahun. Tapi, itu salah. Usia sebenarnya…

Ah, malu….”

Nunuk memang selalu malu bila ditanya soal usia. Maklum, dia merasa usia tidaklah penting.

Apalagi, bila menjalin hubungan dengan seseorang.

“Yang namanya cinta tidak pandang usia, suku, ras, atau agama. Dalam cinta hanya ada satu kata, suka atau tidak suka,” demikian prinsipnya.

Lambat laun, Nunuk akhirnya luluh dan bersedia memberitahu usia sebenarnya.

“Saya ini sebenarnya sudah tua. Bulan Maret usia saya genap 41 tahun,” ujarnya dengan nada kalem dan sopan, tampak pula jari-jarinya tidak lepas dari tasbih yang digenggam. Sesekali mulutnya komat kamit seperti sedang berdzikir jika tidak ditanya.

Layaknya penjual warung pada umumnya, Nunuk mempersilahkan pengunjungnya dengan senyum yang ramah. Maklum, selama ini warung Nunuk tidak pernah sepi. Kalau pun sepi, itu hanya faktor cuaca.

Nunuk juga bercerita, cuaca di gunung Penanggungan semakin tidak menentu. Kadang cerah, kadang mendung.

“Kalau cerah, banyak yang kemari. Kalau gerimis atau hujan, ya sepi,” lanjutnya.

Mengenai aktifitasnya sehari-hari, hanya berputar di tempat-tempat itu saja. Tidak ada yang wah. Kecuali jika ada waktu-waktu tertentu, Nunuk turun ke kampung, di rumahnya. Semisal ketemu dengan anak-anaknya. Atau, Nunuk menutup warungnya saat pergi menemui anak-anaknya yang sedang mondok di Kediri.

Warung Nunuk sederhana. Terbuat dari kayu dan bambu. Sangat mungil tetapi cukuplah.

Di warung itu Nunuk tinggal dan tidur. Warung itu ibarat rumah kedua.

“Saya mencari makan di sini, tidur juga di sini,” akunya.

Bahkan warung juga menjadi tempat penantian cintanya yang tidak kunjung tiba.

Ya, Nunuk menceritakan saat ini tetap setia menanti kedatangan suaminya yang kesembilan.

“Saya masih menunggu suami saya. Dia belum datang sejak pertama kami menikah,” ungkapnya.

***

Di hutan itu, Nunuk memang hidup sendirian. Dia hanya teringat pesan terakhir sang suami agar bersedia menantinya. Sebaliknya, sang suami sebenarnya mempersilahkan Nunuk untuk rujuk dengan suami kedelapannya jika tidak sabar menunggu. Nunuk tetap memilih menunggu.

Berapa lama Nunuk menanti kedatangan suaminya?

“Sudah setahun ini dia belum datang,” ceritanya dengan murung.

Suami Nunuk ini tidak diketahui keberadaannya. Selalu pergi untuk waktu lama. Tidak jelas kapan akan kembali. Termasuk istrinya yang di Demak, tidak tahu keberadaan suaminya. Hal itu diketahui Nunuk saat mengunjungi rumah suaminya di Demak.

Ya, Nunuk menjadi istri kedua.

Meski jadi istri kedua, tapi Nunuk sangat diterima oleh keluarga suaminya.

Sebelumnya, sang suami juga termasuk pengunjung warung. Dari situlah keduanya bertemu dan mengikat janji suci. Namun ikatan janji kedua tidak seperti umumnya pengantin baru.

Jauh dari itu, banyak kejadian maha gaib dalam ikatan pernikahan mereka.

“Semua ada yang mengatur. Saya serahkan segalanya pada Yang Maha Kuasa,” ucapnya lirih, penuh penghayatan.

Nunuk mengaku selama menetap di hutan, dia tidak pernah merasa kesepian. Sebab, ada Allah yang selalu menjaganya.

“Saya nyaman di sini, meski sendirian di hutan. Teman saya ya suara-suara binatang. Bahkan kalau malam, suasananya sangat mencekam. Tapi kalau sudah biasa, ya waktu malam di sini tak beda dengan waktu siang. Semua sama saja. Untuk menghilangkan rasa sepi, saya selalu mengingat Allah,” jawabnya enteng.

Selalu hidup dalam kesendirian, tidak lantas membuat Nunuk menyesali diri. Suaminya yang terakhir telah mengajarkan banyak hal padanya.

Selain itu, kehidupan masa lalunya yang kelam telah membuatnya menjadi perempuan kuat dan mandiri. Beruntung, di saat-saat terakhirnya, Nunuk berhasil diselamatkan oleh suami kesembilannya.

Diselamatkan?.

“Ya, saya ini dikutuk. Kalau saya menikah, suami saya selalu mati,” kata Nunuk mengenangkan peristiwa berdarah yang pernah dialaminya.

Sejenak dia mendongakkan kepalanya. Matanya menerawang ke atas, seolah-olah masih mengharapkan sisa-sisa kenangan yang tertinggal di atas sana. Semua ini tinggal kenangan. Digapai pun sudah tidak mungkin.                      

Nunuk mengatakan, sebelum bersama suaminya yang sekarang, dia pernah gonta ganti suami. Rupanya, gonta ganti suami sudah menjadi jalan hidup yang harus ditanggungnya.

“Saya selalu gonta ganti pasangan karena memang suami saya selalu mati. Mereka menjadi tumbal makhluk halus. Sebab, saya telah dikutuk,” urainya.

Nunuk cerita, kalau dirinya termasuk wanita bahu laweyan.

[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...