Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #28

Sang Kekasih

Oleh: Jendra Wiswara

Nunuk mengambil wudhu. Setelah itu masuk surau. Penerangan surau saat itu hanya menggunakan lampu minyak. Dia menyalakan.

Terlihat laki-laki tadi sedang tertidur. Dia tidak berani membangunkan. Laki-laki itu tampak tertidur pulas.

Nunuk langsung membentangkan sajadah. Sholat Magrib. Sekian menit usai. Nunuk tidak langsung beranjak. Mulutnya komat kamit berdzikir. Sesekali melirik ke laki-laki tadi.

Suara dzikirnya makin kencang. Terdengar oleh laki-laki tadi.

Dia bangun. Melihat asal suara dzikir. Menoleh sebentar. Lalu tidur lagi.

Aneh, pikir Nunuk. Ini waktunya sholat Magrib. Sebentar lagi masuk waktu Isya. Laki-laki itu tidak segera mengambil wudhu. Dia masih tertidur.

“Apakah dia tidak sholat? Dia tidak seperti laki-laki yang diceritakan Mas Iksan. Kalau dia sesuai cerita Mas Iksan, dia pasti saat ini sudah menyembah Tuhannya,” pikir Nunuk.

“Jangan membicarakan orang. Tidak baik,” tiba-tiba laki-laki itu berucap dalam tidurnya.

Nunuk kaget. Celingukan ke belakang. Menengok ke luar surau. Jangan-jangan ada orang di luar. Ternyata tidak ada orang. Siapa yang dimaksud laki-laki itu?

Tidak mungkin teguran laki-laki ditujukan padanya. Sebab Nunuk tidak sedang membicarakan laki-laki itu. Dia hanya membatin.

Ah, mungkin ini hanya kebetulan saja,” batinnya.

“Dalam hidup tidak ada yang kebetulan. Semua sudah diatur oleh kekasihku,” ujar laki-laki itu, dan memang ditujukan pada Nunuk.

Ah, tidak mungkin. Dia sedang mengigau atau bermimpi. Tidak mungkin dia tahu apa yang sedang kupikiran,” batin Nunuk membalas.

“Buat apa bermimpi bertemu tuhan kalau bisa bertemu kekasih. Bermimpi bertemu kekasih sama juga dengan menyembah.”

“Kekasih, siapa yang dia maksud dengan kekasih?” Nunuk membatin lagi. Dia sempat menengok ke arah laki-laki itu. Posisinya masih tertidur.

“Kekasihku tidak lagi memberatkanku. Sebab Dia sekarang sudah menjadi kekasihku,” balas laki-laki itu, masih dengan mata masih terpejam.

“Dia menyebut lagi kekasih. Siapa kekasih?” Batin Nunuk.

“Kekasihku itu sangat indah. Keindahannya melebihi segala-galanya. Seandainya lautan dijadikan tintanya dan daun-daun di bumi dijadikan kertas, tidak akan bisa melukiskan keindahan kekasihku.”

“Kekasih lagi. Siapa kekasih itu?”

“Kekasihku adalah cinta abadiku. Aku lebih baik tidak masuk surga bila harus berpisah dengan kekasihku,” ucap laki-laki itu.

“Sebesar itukah cinta dia pada kekasih?”

“Cintaku pada kekasih tidak tergantikan dengan apapun. Aku rela menggulung akherat asal tidak berpisah dengan kekasihku.”

Nunuk menggelengkan kepala. Tidak habis pikir dengan kata-kata laki-laki itu. Setiap membatin, selalu dibalas dengan ucapan. Mereka seperti sedang berbincang-bincang. Anehnya, Nunuk berbicara dengan batinnya, sedangkan laki-laki itu berbicara dengan kata-kata lantang.

Pikiran Nunuk dipenuhi ribuan tanda tanya. Bagaimana bisa laki-laki mengetahui isi pikirannya.

“Cintanya lebih besar dari akherat. Padahal akherat kekal. Sedangkan manusia hidup di dunia hanya sebentar. Dunia hanya tempat persinggahan. Orang ini benar-benar sudah gila!” Nunuk membatin lagi.

“Siapa bilang akherat kekal. Yang kekal justru cinta kekasihku. Kegilaanku pada kekasihku lebih baik daripada kegilaan pada dunia dan akherat.”

Nunuk makin tidak paham ucapan laki-laki itu. Makin ngawur. Dia tidak mau lagi membatin. Nunuk kembali berdzikir. Suaranya dipercepat.

“Jangan ganggu tidurku dengan suara-suara dzikirmu itu!” Seru laki-laki tersebut.

Nunuk langsung terdiam. Kata-kata itu memang ditujukan padanya. Perempuan bahu laweyan itu sedikit kecewa. Tapi Nunuk tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab lawan bicaranya sedang tertidur. Dia pun patuh pada perintah laki-laki itu, mulai melambatkan suara dzikirnya. Dan tanpa sengaja Nunuk membatin lagi.

“Bagaimana mungkin ada manusia bisa terganggu dengan suara dzikir, kecuali iblis dan setan!”

“Dzikirmu menganggu kemesraanku dengan sang kekasih,” balasnya.

Astagfirullah!” Nunuk langsung mengucap istighfar.

Dia berusaha tidak menghiraukan laki-laki itu. Dia tetap duduk bersila sambil menunggu waktu Isya. Dzikir kali ini diucapkan dalam hati. Sementara pikirannya melayang ke mana-mana. Cuma, Nunuk berusaha untuk tidak membatin lagi. Sebab, kata-kata batinnya selalu dibalas laki-laki itu.

***

Usai menunaikan sholat Isya, Nunuk beranjak dari surau. Dia sempat melihat laki-laki tadi. Masih tertidur. Kelihatannya laki-laki itu kelelahan. Tanpaknya dia baru saja menempuh perjalanan jauh. Laki-laki itu tidak membawa kendaraan. Bisa jadi dia berjalan kaki atau menumpang orang.

Nunuk tidak berusaha membangunkan. Hanya saja dia tetap merasa ada yang aneh dengan laki-laki itu. Saat sedang dzikir tadi, dia seolah-olah sedang berbicara padanya. Padahal laki-laki dalam posisi tertidur. Sementara Nunuk berbicara dengan membatin saja.

Kejadian itu segera dilupakannya. Nunuk kembali ke warung yang sekaligus menjadi gubuknya.

Malam itu suasana tidak seperti biasanya. Sepi. Selama seharian itu, tak satu pun orang mampir ke warungnya, kecuali laki-laki aneh di surau. Biasanya meski sepi, tetap ada satu atau dua orang yang mampir ke warungnya. Kalau bukan pengunjung yang sedang menjalani ritual di bawah kaki gunung Penanggungan, biasanya orang-orang kampung yang datang. Ya, sekedar melepas penat.

Hingga jam 10 malam, tak satupun pembeli. Nunuk lantas menutup warungnya. Sementara dia sudah abai dengan laki-laki yang tidur di surau.

Subuh, perempuan bahu laweyan itu terbangun. Udara pegunungan terasa sangat dingin. Apalagi saat itu adalah puncak kemarau, suhu di wilayah pegunungan akan terasa lebih dingin dari biasanya. Dinginnya bisa sampai menembus tulang.

Nunuk sudah terbiasa dengan suhu dingin. Dia mengambil wudhu dan buru-buru masuk surau. Dan masih mendapati laki-laki itu tengah tertidur.

Laki-laki itu tertidur seperti anak kecil. Pulas. Anehnya, dia tidak diselimuti kain apapun. Anteng sekali.

“Apa dia tidak kedinginan. Dari malam hingga subuh begini tidak pakai selimut!” Seru Nunuk membatin.

“Aku diselimuti kekasihku,” jawabnya.

Lagi-lagi Nunuk tertegun dengan balasan laki-laki itu. Nunuk berusaha menangkis dengan tidak menghiraukannya.

Subuh adalah waktu baginya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Sementara laki-laki itu tetap dengan posisi awal. Tidur.

Usai sholat, Nunuk berdzikir seperti biasanya. Tanpa sadar suara dzikirnya mengganggu tidur laki-laki itu.

“Jangan ganggu tidurku dengan suara dzikirmu. Aku sedang bermesraan dengan kekasihku!” Seru laki-laki itu, masih tertidur.

Nunuk merasa terusik. Kata-kata laki-laki membuyarkan konsentrasinya. Tapi Nunuk tidak berontak. Hanya melambatkan suaranya. Sementara pikirannya makin tidak karuan. Baru kali ini ada orang ibadah dilarang. Dianggap menganggu. Bukankah itu perbuatan setan. Atau jangan-jangan laki-laki tersebut sedang dihinggapi jin.

Jika memang di surau itu ada jin, mengapa Nunuk tidak merasakan hal-hal negatif di sekelilingnya. Meski batinnya sedang bertarung dengan keanehan, hatinya tetap merasa tenang dan damai.

“Bermesraan dengan kekasih, apa maksudnya?” Batin Nunuk bertanya sambil terus berdzikir. Tubuhnya digoyang-goyangkan ke sana kemari mengikuti suara dzikir, tak ubahnya untaian bunga terkena hembusan angin.

“Apa setiap bermesraan dengan kekasih harus dipamerkan. Apa manusia setiap sholat harus dipamerkan. Semua itu hanya akan menuai puji-pujian orang,” ucap laki-laki itu.

“Bermesraan dengan yang belum halal adalah dosa. Dan sholat adalah kewajiban,” kali ini Nunuk membalas, tetap dengan membatin.

“Siapa bilang bermesraan dengan kekasih dosa. Apa itu dosa? Apa itu haram? Apa itu halal? Apa itu surga? Apa itu neraka? Sudah kubilang, kekasihku tidak lagi memberatkanku. Mau aku dimasukkan neraka paling jahanam sekalipun asal selalu bersama kekasihku, aku ikhlas. Dan jangan bicarakan soal kewajiban. Sebab kewajiban tidak ada apa-apanya bila sudah menjadi kebutuhan.”

Kata-kata laki-laki itu langsung mengena ke relung paling dalam Nunuk. Pendalamannya serasa digoncang. Hancur lebur tameng-tameng dalam dirinya. Dia tidak sanggup lagi membatin. Nunuk langsung menghentikan dzikirnya. Merenungkan kembali kata-kata laki-laki itu.

Dia melihat ke arah laki-laki itu. Masih tertidur pulas. Tidak pula menggigil kedinginan. Mungkin karena diselimuti kekasihnya.

[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...