Bahu Laweyan #32
Suami Kesembilan
Oleh: Noviyanto Aji
Pernikahan digelar di tengah hutan. Nunuk berdandan sederhana. Dia mengenakan kerudung. Wajahnya tampak elok, kecantikannya sulit untuk dikhayalkan dengan akal sehat manusia, senyumannya mampu memikat hati setiap lawan jenis.
Perempuan itu memiliki banyak kelebihan. Selain cantik, juga pintar, cerdas, menarik, luwes, dan teguh pendirian.
Perempuan itu sebenarnya hidup bahagia di dunianya, dan tidak ada seorangpun yang menganggu kebahagiaannya, kecuali Gendro Swara Pati.
Makhluk terkutuk itu benar-benar telah membuatnya menjadi janda hingga delapan kali. Sungguh kasihan penderitaan perempuan lemah itu, dia tidak berdaya. Akibatnya, dia banyak dicemooh lantaran statusnya.
Tapi kini, dengan kedudukannya dan status barunya, Nunuk segera mengakhiri masa jandanya.
Walaupun Nunuk memahami hakekat kehidupan dan makna cinta dari kehidupan-kehidupan sebelumnya, rupanya semua itu tidak ada apa-apa di mata Sahid. Sebab maqom Sahid tidak lagi berurusan dengan cinta antar sesama. Rahsa cinta Sahid pada sang kekasih melebihi segala-galanya. Saat laki-laki itu menerima lamaran Nunuk, semua dilandasi atas kecintaannya pada sang kekasih.
Bagi Nunuk, pernikahannya kesembilan itu tidak lagi menjadi ajang pertaruhan. Sebuah keikhlasan terpancar dari mata perempuan bahu laweyan tersebut. Nunuk menikah bukan karena embel-embel yang lain.
Dia tidak lagi khawatir dengan Gendro Swara Pati yang bakal menjadikan suami kesembilannya sebagai tumbal terakhirnya. Bukan pula menikah karena Sahid memiliki kemampuan melawan Gendro Swara Pati. Lebih dari itu, pernikahannya dengan Sahid murni karena Allah Swt.
Berbahagialah Nunuk yang dapat melihat dengan jernih keindahan sang pencipta alam semesta, melepas beban hidup, dan tidak melihat apapun.
Jika saat ini orang benar-benar memahami jiwa perempuan bahu laweyan tersebut, barangkali wajah dan penampilannya tidak ada apa-apanya dibanding keindahan jiwanya. Kecantikan jiwanya itulah yang membuat iri para bidadari.
Usai Dhuhur, di tengah hutan dengan suasana sepi, jauh dari keramaian, kecuali keramaian binatang yang bersahut-sahutan, Nunuk dan Sahid duduk berdampingan. Ada penghulu. Wali perempuan, bapaknya Nunuk. Saksi nikah, Suud mewakili mempelai pria dan Mukhlis mewakili mempelai wanita. Hanya orang-orang ini yang hadir.
“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq,” terdengar suara Sahid mengucapkan akad nikah.
“Sah,” jawab semua kompak.
Usai ijab qobul, Nunuk menengadahkan tangannya ke atas. Berdoa dengan batinnya: “Segala puji bagimu ya Allah atas segala karunia dan kesabaran yang Engkau berikan padaku dalam menghadapi cobaan hidup. Engkaulah yang Maha Besar atas segalanya. KerelaanMu, kemurkaanMu, nikmat-nikmatMu dan bencana-bencana yang Engkau berikan. Engkau Maha Kuasa atas segalanya. Betapa besar rasa terima kasihku padaMu yang telah mengirimkan seorang waliMu supaya aku bisa mendekat padaMu.
“Amin,” dijawab Sahid yang duduk di sebelahnya seolah-olah tahu doa dalam hati yang diucapkan Nunuk.
***
Sore menjelang Magrib, semua tamu sudah kembali ke rumah masing-masing. Hanya tinggal Sahid dan Nunuk di gubuk kecil di tengah hutan.
Saat azan Magrib berkumandang, Sahid mengajak istrinya sholat berjamaah.
“Dik, segeralah ambil wudhu. Aku tunggu di surau.”
Kaget Nunuk mendengarnya. Baru kali ini dia melihat Sahid sholat.
Di surau, Sahid tampak berdiri di depan pengimaman. Dia menunggu istrinya mengenakan mukena.
Sebelum memimpin sholat, Sahid berkata pada istrinya.
“Dik, apa kamu ikhlas aku menjadi imammu?” Tanyanya.
“Demi Allah yang Maha Besar, aku ikhlas engkau jadi imamku,” balas Nunuk bersiap-siap sholat.
“Apa kamu ikhlas menungguku jadi imammu?”
“Aku ikhlas demi Allah yang menguasai segalanya.”
“Apa kamu ikhas untuk bersabar aku jadi imammu?”
“Aku ikhlas demi Allah yang menghidupkan dan mematikanku.”
“Baiklah.”
“Allahu Akbar,” Sahid mulai memimpin istrinya sholat.
Surat pertama Al Fatihah. Surat kedua, Sahid membaca surat Al Baqarah dari awal hingga akhir.
Betapa fasihnya Sahid membaca ayat-ayat Alquran tersebut. Alunan suara Sahid begitu merdu. Suaranya mampu menggugah pendalaman jiwa-jiwa merana menjadi cahaya kalbu.
Suara yang diperdengarkan itu mampu mengurai makna cinta dan mengungkapkan rahasia hati manusia yang tersembunyi. Suara yang diperdengarkan itu menjadi kegaiban yang Maha Gaib. Mencerahkan kegelapan dan kekelaman malam. Merayap menyelimuti seisi surau.
Tanpa sadar Nunuk pun menangis dalam gelapnya malam. Betapa indah lantunan ayat-ayat Alquran yang dibaca Sahid, seolah-olah suara itu sedang berbicara padanya. Kalimat-kalimat yang indah itu kemudian menjelma menjadi sangat menyenangkan, memikat, dan menguasai sukma setiap insan.
“Baru kali ini saya mendengar Mas Sahid membaca ayat-ayat Alquran dengan begitu panjangnya. Dan itu dilakukan saat sholat Magrib. Suaranya begitu merdu dan indah. Menyentuh kalbu. Saat menjadi makmumnya, semua perasaan ini berubah menjadi derai airmata.”
Selesai sholat Magrib, Sahid tidak kunjung selesai. Dia duduk mematung di depan pengimaman seperti yang pernah digambarkan bapaknya Nunuk saat di mushala dan Mukhlis saat di puncak Penanggungan.
Sahid kembali melanjutkan bacaan ayat-ayat suci Alquran. Surat berikutnya dibaca, lalu surat berikutnya dan berikutnya. Kali ini bacaannya dipercepat.
Memasuki waktu Isya, Sahid kembali meneruskan bacaan surat. Tidak terasa, Sahid telah merampungkan seluruh bacaan Alquran.
Nunuk tertegun melihatnya. Benar dugaannya selama ini. Sahid memang tampak dari luarnya saja nyeleneh. Sejatinya suaminya itu adalah seorang berilmu tinggi. Dia mengesankan jadzab. tapi sebenarnya hatinya setiap detik selalu menghadap Allah.
Selepas Isya, Sahid berdiri dari pengimaman, diikuti Nunuk. Tanpa disuruh, Nunuk langsung mencium tangan suaminya.
“Dik, aku sebenarnya malu menjadi imammu. Sebab ibadahku ini bukan aku yang melakukan. Aku tidak memiliki kuasa apapun atas ibadahku. Aku tidak memiliki kuasa atas nafasku. Aku tidak memiliki kuasa atas nyawaku. Semua ada yang menggerakkan. Setiap gerak dan lakuku adalah Allah.”
Nunuk tertunduk mendengarkan suaminya.
“Aku tidak tahu apa-apa soal ibadah. Sebab yang mengetahui segalanya hanya Dia. Aku tidur di surau dan berbicara denganmu, sementara ada orang lain yang melihatku sholat di mushala dan di puncak gunung, itu bukan aku yang menggerakkan. Aku tidak punya kuasa atas semua hal itu. Aku hanya manusia biasa yang ke mana-mana selalu memakai tubuh kekasihku. Masihkah kau ragu akan kekuasaan Allah?”
Nunuk menggelengkan kepala.
“Mata yang kau punya untuk melihat, telinga yang kau punya untuk mendengar, mulut yang kau punya untuk bicara, hidung yang kau punya untuk bernafas, tangan dan kaki yang kau punya, dan seluruh anggota tubuhmu, semua itu digerakkan oleh Allah. Dia sangat dekat denganmu daripada urat nadimu. Tidak ada satupun di alam semesta ini yang tidak dihendaki dan dikuasai olehNya.”
Sahid lantas mengendurkan sarungnya. Memandang Nunuk. Lalu berucap, “Dik, masuklah kau ke dalam sarung ini. Mendekatlah ke tubuhku. Buka mata batinmu.”
Tanpa bicara, Nunuk mengiyakan kata-kata suaminya.
“Kesampingkan akal, budi, dan nafsu. Gunakan rahsamu. Kau akan melihat sebuah awal dan akhir kejadian, bahwa sebenarnya dalam tubuh ini hanya dikelilingi dinding-dinding tebal. Hijab akan hilang bila kau telah menyerahkan segalanya pada Yang Maha Kuasa. Di dalam tubuh itu ada ruh. Ruh tidak makan dan minum. Ruh tidak merasakan sakit dan menderita. Ruh itu abadi. Ketika ruh diletakkan di jasad, ruh kemudian mengikuti jasad. Akhirnya dia tersiksa. Jika suatu saat jasad rusak atau bahasa manusia mati, ruh akan kembali ke habitatnya. Bebas dari ketersiksaannya. Ruh tidak butuh materi, ruh tidak butuh kekuasaan, ruh tidak butuh tipu daya, ruh tidak butuh fitnah, ruh tidak butuh kerakusan jasad. Sementara jasad nantinya jadi bangkai. Orang mati itu tidak ada. Yang ada kembali ke Allah. Innalillahi wainnailaihi rajiun.”
“Dan sekarang lihatlah apa yang ada di balik tubuhku ini.”
Betapa terkejut dan takjubnya Nunuk di balik tubuh Sahid memancakan cahaya terang. Cahaya itu menyilaukan mata. Di balik cahaya itu tiada didapati apa-apa kecuali kekosongan. Tiada mata angin Utara, Selatan, Timur, dan Barat. Arah atas bawah pun tidak ada. Itu keadaan di mana tidak ada hasrat kecuali tujuan awal dan akhir hanya untuk Allah. Suatu keadaan di mana sang kekasih tidak memberatkan apapun pada makhlukNya, selalu bersamaNya setiap detik, di setiap hembusan nafas.
Karena ketakjubannya, Nunuk pun pingsan.
[bersambung]