Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #38

Masa Lalu 

Oleh: Jendra Wiswara

“Apa kamu siap bertemu dengan anak-anakmu?” Bapaknya Nunuk bertanya.

“Insya Allah, siap pak,” jawab Nunuk.

“Termasuk Iksan!”

Mendengar ini Nunuk tidak langsung terdiam. Dia meneroboskan pandangan pada bapaknya. Lalu menerobos semakin dalam lagi. Lagi. Dan Lagi. Hingga bertemulah dengan masa lalu. Dia meniup pipinya. Melembung. Lalu menghembuskannya. Serasa lega.

Nunuk tak bisa membuang jauh-jauh masa lalunya. Bersama Iksan, kenangan itu terlalu indah untuk dilupakan. Pengelihatan masa lalunya makin tajam.

Nunuk hanya membutuhkan waktu untuk menimbang-nimbang. Apakah dia masih layak untuk bertemu mantan suaminya sekaligus bapak dari anak-anaknya.

“Aku tidak tahu, Pak!” Serunya.

“Kau harus siap.” Bapaknya menguatkan hati Nunuk.

Hampir tidak ada masa lalunya bersama Iksan terlupakan. Setiap detik kenangan itu turun ke pendalamannya. Makin kuat mencengkram. Sulit dilepaskan. Pendalamannya seperti mengulas cerita-cerita lama bersama mantan suaminya.

Nunuk seperti didakwa oleh masa lalu. Menyenangkan memang. Namun hatinya tetap gusar. Sebab hati itu pernah singgah di sana, di hati Iksan. Sekarang tidak lagi. Hati itu milik orang lain. Orang yang sudah menyelamatkan dirinya dari Gendro Swara Pati. Orang yang kini sedang dicarinya. Sahid.

“Sulit melupakan Mas Iksan, Pak. Dia terlalu baik. Dia juga bapak dari anak-anakku.”

“Dia memang baik. Tapi kau sudah punya Sahid.”

“Aku tahu itu.”

“Bapak hanya ingin memastikan saja, Nuk. Sebenarnya bapak tidak mau mengungkit masa lalumu.”

“Tidak apa-apa, Pak. Toh, masa lalu itu juga akan hadir.”

Ruangan untuk Iksan sudah tertutup bagi Nunuk. Tidak ada kata kembali. Meski sebelumnya Sahid pernah menyarankan Nunuk kembali pada mantan suaminya. Namun kesetiaan dan kepercayaan Nunuk pada Sahid sudah terlanjur mendarah daging. Pun dulu, dia punya perasaan yang sama dengan Iksan sebelum akhirnya mereka memutuskan berpisah demi kebaikan anak-anak.

Nunuk mengerti akan keputusannya kala itu. Demikian pula Iksan. Buat apa memaksakan hati di saat keselamatan anak-anaknya dipertaruhkan.

Semakin lama Nunuk masuk ke dalam perasaannya sendiri. Menggurui masa lalu. Mencari-cari kesalahan di masa lalu. Siapa salah, siapa benar. Dirinya-kah? Iksan? Atau Gendro Swara Pati?

Dengan gemasnya Nunuk ingin meremas-remas masa lalu itu. Dan membuangnya jauh ke samudera. Agar tak ada lagi pikiran-pikiran yang terlalu menyakiti.

Tapi jujur, masa lalunya terlalu indah untuk dilupakan sekaligus terlalu pahit untuk dikenangkan. Pendalamannya makin riuh. Bibirnya bergerak cepat, sesekali dikulum, hanpir tak nampak. Itu karena dia geregetan dengan masa lalu. Suara masa lalu menggema sangat nyaring di dalam. Menubruk apa saja.

Puncaknya, Nunuk mengeluarkan tasbih dari kantong. Jari-jari tangannya memilin butir-butir tasbih. Satu persatu. Menyebut asma Allah. Pelan dan pasti. Mungkin baginya lebih baik mengingat Allah ketimbang memburu masa lalu demi kepuasan pribadi.

Nunuk tidak henti-hentinya berdzikir. Berusaha untuk terus mengingat Penciptanya. Dia percaya bahwa segala masa telah diatur olehNya. Tuhan mencipta masa lalu dengan apik. Meski manusia tidak bisa kembali ke masa lalu, tetapi kenangan yang dicipta itu kadang mampu mengusik pendalaman. Mengenang masa lalu ada kalanya baik sebagai pengingat dan penyemangat, tetapi ada kalanya menyengsarakan.

Masa datang, meski belum diketahui apa yang bakal terjadi. Tuhan menciptanya juga dengan apik. Manusia bisa bertanya-tanya pada dirinya, akankah masa depannya suram atau bahagia. Masa depan akan membuat manusia percaya diri dengan jalan hidupnya. Tapi karena tak bisa dilihat dan dinyatakan, banyak pula manusia menyerah dengan masa depan.

Masa kini, ya, itulah masa sesungguhnya. Masa nyata. Masa ketika Nunuk sudah mencapai tahap kepasrahan diri. Masa kini tak perlu diingat dan tak perlu dinanti. Mengalir apa adanya. Nunuk seharusnya tidak perlu malu terhadap dirinya sendiri. Tak perlu tersinggung dengan kenangan dan harapan. Sebab semua itu tidak ada.

“Insya Allah, aku sudah siap Pak!”

Nunuk menghentikan dzikir.

“Aku sudah siap Pak!” Ucapannya diulangi dengan lirih sekaligus memastikan hatinya sudah mantap. Tak ada lagi keragu-raguan.

Bapaknya Nunuk menatap wajah anaknya. Dan dibalas dengan anggukan kepala.

“Kau telah banyak berubah, Nuk. Semenjak bertemu dengan Sahid.”

Nunuk tidak membalas pujian bapaknya dan kembali menyibukkan diri dengan dzikirnya.

***

Keesokannya, bapak dan anak itu bersiap pergi ke Kediri. Bapaknya Nunuk menyewa mobil tetangga untuk mengantarnya ke Kediri. Perjalanan kali ini terasa berbeda. Jika sebelumnya sang bapak datang ke Kediri sendirian bertemu cucu-cucunya, kali ini dia datang bersama ibu dari cucu-cucunya.

Sepanjang perjalanan Nunuk lebih banyak diam. Perempuan bahu laweyan itu duduk di belakang mobil hanya memandangi sawah-sawah yang dilewati. Seolah-olah pemandangan itu lebih mengesankannya ketimbang memikirkan hal-hal yang akan terjadi.

Ya, Nunuk hanya mengikuti langkah tumitnya. Hari ini dirinya akan menjadi penting. Semua yang dulu telah ditinggalkannya, kini bakal kembali padanya. Sebentar lagi dia bertemu dengan anak-anaknya. Waktu 6 tahun bukanlah singkat. Tentu banyak hal berubah pada diri anak-anaknya. Sehari berlalu, orang sudah mulai pada perkembangan diri. Apalagi waktu 6 tahun lamanya.

Perjalanan ke Kediri terasa lebih lama. Namun bagi Nunuk itu waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri bertemu dengan anak-anaknya.

Hendak bertemu Aisyah, Fatimah dan Muhammad, wajah Nunuk menjadi kemerah-merahan. Antara malu dan takut. Dia bertanya-tanya pada dirinya apakah anak-anaknya siap bertemu dengan ibunya. Apakah yang nanti dia katakan pada anak-anaknya. Bahwa dia seorang ibu durhaka. Meninggalkan mereka ke pondok dan hanya diasuh oleh bapaknya. Apakah bapaknya akan bilang bahwa ibunya seorang pendosa. Atau sebaliknya, anak-anaknya sudah diberi pemahaman bahwa kondisilah yang memisahkan mereka. Semua disebabkan Gendro Swara Pati.

Ya, nama ini, nama kejam, nama yang bertahun-tahun lalu menghantui, dan mengambil paksa orang-orang terkasihnya. Meski nama tersebut sudah pergi dari kehidupannya, tetap saja nama Gendro Swara Pati selalu ada di setiap kehidupan Nunuk. Sampai kapanpun cerita Gendro Swara Pati akan ada dan mengikuti ke mana langkah Nunuk.

Dua jam berlalu. Sampailah mobil yang membawa Nunuk dan bapaknya di sebuah desa di Kediri. Desa yang asri dan tenang. Desa yang memiliki kehidupannya sendiri. Desa yang jauh dari keramaian kota. Sekiranya masyarakatnya sudah terbiasa dengan keadaan itu.

Saat masuk desa, Nunuk melihat sekelompok anak-anak perempuan mengenakan kerudung berjalan searah dengannya. Usianya sepantaran dengan Aisyah dan Fatimah. Sepertinya mereka baru pulang dari madrasah. Tawa mereka riang. Senyum-senyum kebahagiaan menggelayut di wajah-wajah mereka. Apakah Aisyah dan Fatimah ada di antara mereka, batin Nunuk.

Belum sempat memperhatikan seksama, mobil yang membawa Nunuk keburu melaju dengan kencang. Dia hanya menoleh ke belakang tanpa bisa melihat wajah-wajah mereka lagi.

Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di sebuah pondok pesantren. Halamannya cukup luas. Setiap bangunan pondok mengingatkan pada masa lalu. Bangunan kuno. Tapi tidak usang. Rata-rata bangunannya terbuat dari kayu jati. Penghuninya pasti merawat bangunan dengan baik. Letak bangunannya terpisah-pisah. Dan setiap bangunan yang terpisah itu memiliki fungsi masing-masing.

Tampak dalam bangunan rumah itu dulunya terdapat sisa-sisa peradaban manusia cukup tinggi. Dan usia bangunannya mungkin telah melewati generasi ke generasi. Generasi pertama mungkin juga sudah mati, diganti generasi baru. Begitu seterusnya. Entah berapa generasi.

“Ini pondoknya, Nuk!”

Mereka turun dari mobil. Nunuk mengawasi sekeliling. Nampak Nunuk sedang menggapai-gapai sesuatu. Mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk anak-anaknya. Senyum mulai hilang di wajahnya. Kali ini dia bersungguh-sungguh.

“Ayo masuk,” ajak bapaknya.

Agak ragu Nunuk masuk ke dalam pondok. Langkah kakinya terasa berat. Kaki-kaki itu seperti menginjak bumi cukup dalam. Sulit lepas. Namun ketika dia melihat beberapa anak perempuan seumuran anaknya, langkah kakinya menjadi ringan.

“Assalamulaikum,” bapak Nunuk uluk salam pada anak-anak tersebut.

“Waalaikumsalam,” balas mereka serempak.

“Kami mau bertemu dengan Ustad Iksan. Apa beliau ada?”

“Ada,” jawab mereka ragu-ragu.

Sementara Nunuk terus mengawasi anak-anak perempuan itu, berharap di antara mereka ada Aisyah dan Fatimah. Tapi yang dicari tidak ada. Kalau pun ada, Nunuk masih akan mengenali darah dagingnya meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu.

“Apa bisa kami bertemu dengan Ustad Iksan?”

Anak-anak itu saling berpandangan satu sama lain. Berbincang-bincang sejenak. Sepertinya ada keragu-raguan untuk memanggil orang yang dimaksud.

“Saat ini Ustad Iksan masih mengajar,” jawab mereka.

“Tidak apa-apa. Kami bisa menunggu.”

Monggo, Pak. Silahkan tunggu di masjid,” mereka mempersilahkan Nunuk dan bapaknya untuk menunggu di masjid yang masih satu lokasi dengan pondok.

Belum sempat mereka pergi ke dalam pondok, tiba-tiba Nunuk bertanya, “Apakah adik-adik kenal Aisyah, Fatimah dan Muhammad?”

Mereka mengangguk.

“Apa bisa kami bertemu mereka?”

Mereka kembali berpandangan satu sama lain. Seperti orang berbisik tapi suaranya lantang. Hal itu terdengar oleh Nunuk. Mereka saling bertanya satu sama lain posisi Aisyah, Fatimah dan Muhammad. Di antara mereka jawabannya tidak sama.

“Maaf bu, kalau Fatimah sepertinya masih ngaji kitab di sana,” jawab seorang dari mereka seraya menunjuk lokasi bangunan di pojok barat.

“Kalau Muhammad sepertinya masih di madrasah. Belum pulang,” jawab yang lain.

“Kalau Aisyah, sebentar,” mereka kembali berpandang-pandangan. Memastikan posisi Aisyah. Hal ini membuat Nunuk makin penasaran. Hatinya deg-degan tidak sabar bertemu anaknya.

“Aisyah sepertinya lagi santai di dalam. Tadi dia sedang memasak. Apa perlu kami panggilkan, bu,” jawab mereka sekaligus menanyakan balik.

“Boleh.”

Lalu seorang anak dari mereka membelakangi Nunuk dan pergi. Sementara yang lain pamit kembali ke pondok dan meninggalkan Nunuk.

“Ibu tunggu dulu di masjid, nanti Aisyah segera ke sana.”

Dan, tak ada lagi yang dibicarakan.

Sekarang Nunuk tinggal menunggu. Dia semakin gelisah. Otaknya berpikir keras. Apapun yang dipikirkan, wajah Aisyah kecil terus muncul di benaknya. Apakah ada perubahan, pastinya ada. Cuma dia tidak sanggup membayangkan perubahan wajah Asiyah dulu dan sekarang.

Hati Nunuk tidak tenang. Saat bapaknya duduk di teras masjid, Nunuk memilih berdiri dan berjalan mondar mandir. Sesekali menatap bapaknya, dan berkata bahwa semua ini bukan mimpi. Akan tetapi mimpi itu berubah menjadi sebuah kebanggaan. Meski belum paham soal keseharian Aisyah dan apa yang dilakukan anaknya di pondok, namun mendengar cerita teman-temannya tadi bahwa Aisyah sedang memasak, hal itu cukup membuatnya bangga. Bagi Nunuk, memasak bukan sesuatu sepele. Seorang perempuan yang bisa memasak, akan menjadi harapan bagi keluarganya kelak, terutama bagi suami dan anak-anaknya.

“Itu Aisyah!” Bapaknya Nunuk menunjuk ke arah Timur.

Nunuk menoleh mengikuti suara bapaknya. Tampak dari kejauhan Aisyah sedang berbicara dengan temannya. Dan sepertinya temannya menunjuk ke arah masjid di mana ada tamu sedang menantinya.

“Aisyah, Pak!” Seru Nunuk mengenalinya, suaranya lunak tapi serasa menderu. Hampir dia menangis melihat Aisyah berjalan ke arahnya.

“Dia sudah besar. Sudah menjadi gadis. Dia juga berkerudung,” batin Nunuk.

Tak sabar Nunuk segera memeluk Aisyah. Saat semakin dekat, Aisyah segera mengenali tamunya. Tapi dia justru berlari ke arah bapaknya Nunuk, bukan ke ibunya.

“Kakek,” teriak Aisyah berlari cepat menghampiri.

Aisyah tidak mempedulikan sosok wanita yang sedang bersama kakeknya. Sebab yang dikenalinya saat itu hanya kakeknya.

Tiba di depan hadapan mereka, Aisyah langsung mencium tangan kakeknya dan mencium pipi sang kakek. Gadis itu juga memeluk kakeknya dengan erat.

“Kakek kok lama tidak ke sini. Ais kangen,” ujarnya tanpa melepas pelukan.

Pemandangan itu membuat hati Nunuk sedih sekaligus terharu. Sedih karena Aisyah tidak mengenalinya. Terharu karena Nunuk akhirnya dapat bertemu dengan anaknya.[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...