Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #39

Maafkan Ibu

Oleh: Noviyanto Aji

Nunuk terharu melihat Aisyah berdiri di hadapannya. Memeluk erat kakeknya. Dia tak kuasa hati melihat pemandangan indah itu.

“Aisyah, kau sudah besar, Nak!” Batin Nunuk.

Pakaian Aisyah putih. Bawahannya abu-abu. Rapi dan bersih. Dia berkerudung putih. Matanya cerah tapi menampakkan kelelahan di sana. Parasnya mirip sang ibu. Cantik dan manis. Manjanya pada sang kakek begitu luar biasa.

Aisyah benar-benar seorang santri. Entah apa saja yang telah dikerjakan Aisyah selama 6 tahun di pondok pesantren. Nunuk ingin mendengar banyak cerita dari anaknya. Hanya saja dia masih ragu untuk mendekati anaknya. Melihat Aisyah tidak langsung mengenali dirinya, hatinya menjadi rapuh serapuh-rapuhnya. Pribadinya tenggelam dalam bayangannya sendiri.

Sebagai seorang ibu, Nunuk seperti digugat oleh nuraninya sendiri. Dia merasakan tidak becusnya dirinya dalam mengurus dan mendidik anak.

Ya, 6 tahun bukan waktu singkat. Selama itu, apa saja yang dilakukan Nunuk pada anak-anaknya. Tidak ada.

Ketiga anaknya dibiarkan diurus oleh bapaknya di pondok. Di situ tidak ada peran Nunuk membesarkan ketiga buah hatinya. Selama ini perempuan bahu laweyan itu sibuk memikirkan dirinya sendiri. Menyepi di tengah hutan. Bergelut dengan rasa ketakutan terhadap Gendro Swara Pati.

Tak terkirakan betapa menyesalnya Nunuk, melewati masa-masa indah bersama ketiga buah hatinya. Tak tahu segala hal mengenai ketiga buah hatinya selama 6 tahun belakangan.

Nunuk merasa telah dihukum dengan penyesalan yang datang secara tiba-tiba itu. Penyesalan mendalam yang tak dapat diimbangi dengan sesuatu apapun, kecuali perasaan bersalah.

Andai keadaan mampu dibalikkan, Nunuk tak ingin jauh dari buah hatinya. Tapi sekali lagi, keadaan yang telah membuatnya demikian. Demi keselamatan ketiga buah hatinya dari keberingasan Gendro Swara Pati, dia rela mengorbankan segalanya.

Maka, Nunuk pun memaklumi ketika Aisyah tidak langsung mengenal dirinya. Orang pertama yang dituju bukan dia, melainkan kakeknya. Padahal Nunuk adalah perempuan yang melahirkan Aisyah. Ada semacam getir menggoncang-goncang dada.

Setelah Aisyah melepas pelukannya, sang kakek berkata padanya, “Nduk, ada seseorang yang mau bertemu denganmu,” jawab sang kakek menghadapkan pandangan ke Nunuk yang berada di samping mereka.

Nunuk dan Aisyah saling berpandang-pandangan. Harapan Nunuk, anaknya segera mengenalinya. Giliran Aisyah mengawasi Nunuk. Wajah itu tidak asing. Wajah yang dulu menemani Aisyah menjelang tidur. Wajah yang dulu membelai Aisyah sewaktu jatuh dan menangis. Wajah yang dulu sering menggendongnya sembari menyuapinya makan. Wajah yang setiap malam masuk ke dalam mimpi-mimpinya. Itu wajah ibunya.

Aisyah mengenalinya.

“Ibu…ibu…” teriak Aisyah dan langsung menjatuhkan diri pada pelukan perempuan bahu laweyan tersebut.

Nunuk pun larut dalam keharuan.

“Aisyah, kau masih mengenali ibu, Nak,” kata Nunuk memeluk erat anaknya.

Tampak Aisyah tidak mempedulikan kata-kata ibunya. Tidak pula membalas. Hanya mengangguk saja. Yang dia tahu, dia sudah lama memendam rasa kangen terhadap ibunya. Derai airmata berjatuhan di antara keduanya.

“Ibu…” Aisyah terus menangis. Tak mau melepaskan pelukan. Betapa lama dia menanti saat-saat tersebut. Bertemu dengan ibunya adalah salah satu keinginan terbesarnya. Itu yang selalu disampaikan pada bapaknya.

“Aku tahu ibu berbuat salah padamu, Nak. Kau tak bakal mau mengampuni ibu. Tapi ibu mau meminta maaf padamu. Ibu memohon ampun padamu, dunia dan akhirat,” ucap Nunuk.

“Ibu tidak salah. Gendro Swara Pati yang salah,” tiba-tiba Aisyah menyebut nama jahat itu.

“Kau masih ingat dia, Nak!”

“Masih, Bu. Aku tidak lupa betapa jahatnya makhluk halus itu yang mau menganggu adik,” jawab Aisyah.

“Kau tidak menyalahkan ibu?”

Aisyah melepaskan pelukannya. Menatap wajah ibunya. Menyeka airmata ibunya. Begitu sebaliknya.

“Ibu tidak salah pada kami, juga pada ayah. Ibu tidak perlu minta maaf pada kami. Justru aku yang meminta maaf pada ibu karena belum bisa menjadi anak yang berbakti pada orangtua.”

Hati ibu mana yang tidak luluh mendengar jawaban seperti itu. Kata-kata Aisyah telah membolak-balikkan pendalaman Nunuk. Selama ini dia selalu dibayang-bayangi rasa ketakutan bahwa anak-anaknya akan marah padanya. Rupanya ketakutan-ketakutan itu tidak menjadi kenyataan. Bahkan keadaannya di luar dugaan.

Aisyah telah menyadarkan Nunuk, betapa jiwanya sangat kecil dibanding kebesaran jiwa anaknya. Aisyah jauh lebih mulia dari ibunya, yang telah menyebabkan penderitaan bertubi-tubi pada keluarganya.

Setidak-tidaknya Nunuk telah menyampaikan permohonan maaf tulus pada anaknya. Itu membuatnya lega. Biarpun Aisyah mengatakan tidak ada yang perlu dimaafkan. Karena keadaan yang telah membuat mereka berpisah.

Bagi Nunuk, dunia serasa berubah padahal tidak. Aisyah saja yang berubah. Menjadi pemurah.  Mungkin itu yang diajarkan guru-gurunya di pondok, termasuk Iksan.

Waktu jualah yang mengajarkan Aisyah banyak hal di pondok. Hal itu benar-benar dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Aisyah dan juga anak-anak pondok lainnya merasa butuh Allah, maka mereka memanfaatkan waktu yang ada dengan mengakui akan kerendahan diri di hadapan-Nya.

Aisyah, mungkin lagi berproses menjadi orang baik seperti Sahid. Apabila Allah telah membuat merasa bosan dengan makhluk, maka ketahuilah, bahwa Dia hendak membukakan untuknya pintu keintiman denganNya. Di mana saat cahaya alam lahir terbenam, cahaya hati dan rahasia hati tidak akan terbenam. Karena itu dikatakan: sesungguhnya matahari siang terbenam kala malam menjelang, namun matahari hati tidak akan pernah terbenam.

***

“Apakah ibu mau bertemu Fatimah?” Aisyah membuyarkan lamunan Nunuk.

Belumlah dia puas memandangi wajah anaknya, Aisyah buru-buru menyantroni ibunya dengan jiwa-jiwa lain. Tentu, hal itu tak bisa membuat Nunuk menolak.

“Iya, Nak. Ibu ingin bertemu Fatimah dan Muhammad. Apa kabarnya mereka?” Tanya Nunuk.

“Sebentar. Ibu tunggu dulu di sini. Aku mau panggilkan Fatimah. Dia masih ngaji kitab.”

“Apa tidak menganggu, Nak?”

Aisyah tidak menjawab ibunya. Dia langsung berlari ke sebuah bangunan di sudut Selatan. Kaki-kakinya serasa ringan melangkah. Sambil menyeka airmatanya yang tak kunjung surut, Aisyah terus melangkah.

Dari kejauhan dia melihat ruang kelas yang terdiri dari anak-anak perempuan di dalamnya kecuali suara seorang guru yang sedang membaca sebuah kitab. Agak ragu Aisyah masuk.

Saat di depan pintu kelas, Aisyah uluk salam.

“Assalamualaikum.”

Semua mata memandang Aisyah, dan menjawab salamnya.

Seorang guru mendekati.

“Ada apa, Ais?”

“Maaf menganggu pelajarannya Ustad. Ada yang mau ketemu Dik Fatimah,” jawab Aisyah.

Kedua berbincang sebentar. Aisya menjelaskan tamu yang sedang menunggunya di luar.

“Fatimah keluar dulu. Ada tamu menunggumu,” kata sang ustad.

Fatimah lantas berdiri. Berjalan mengendap-endap mendekati kakaknya. Namun Aisyah tanpa pikir panjang langsung menarik tangan adiknya.

“Dik, ayo ikut Mbak. Buruan!” Ajak Aisyah berlari.

“Sabar, Mbak. Gak usah lari,” elak Fatimah.

“Pokoknya cepat,” Aisyah seperti menyadari keeangganan adiknya diajak berlari. Akhirnya mereka berdua berjalan dengan langkah cepat.

Saat sampai di belokan masjid, Aisyah langsung berlari ke ibunya. Pun Nunuk menyambut Aisyah dengan sukacita.

“Bagaimana, Nak!”

“Tunggu, Bu. Fatimah gak mau diajak lari. Dia suka jalan. Dia di belakangku.”

Keduanya menunggu Fatimah hingga belokan masjid.

Nunuk tak sabar menanti.

Tak lama, wajah Fatimah pun muncul. Untuk kesekian kalinya, Nunuk dihadapkan pada kondisi yang sama saat dia tadi bertemu Aisyah. Bedanya, Aisyah masih mengenali ibunya, karena saat berpisah usianya masih 8 tahun. Pada Fatimah, Nunuk ragu anaknya akan mengenalinya.

Sebenarnya ada banyak hal yang mau disampaikan Nunuk pada anak-anaknya. Tapi, itu nanti. Biarlah sekarang ini dia bertemu dulu dengan anak-anaknya. Sebab pertemuan pertama itu yang tidak mudah.

Fatimah, dia sudah menjadi gadis cantik. Parasnya sama dengan Aisyah. Keduanya memang mewarisi kecantikan ibunya. Fatimah lebih periang. Karakternya lebih menyerupai Nunuk. Kalau Aisyah cenderung serius.

Fatimah dulu nyaris dirasuki Gendro Swara Pati. Beruntung saat itu Aisyah berhasil mengusir makhluk jahat tersebut. Kalau Gendro Swara Pati sampai masuk ke raga Fatimah, barangkali dia akan menjadi perempuan bahu laweyan berikutnya menggantikan ibunya. Akibat peristiwa mengerikan tersebut, Nunuk dan Iksan sepakat untuk berpisah demi keselamatan buah hati mereka.

Dan kini, Nunuk bahagia dapat bertemu dengan Fatimah. Dan apapun yang terjadi pada hari itu, andai Fatimah tidak mau memaafkan dirinya, Nunuk akan tetap menyayangi buah hatinya.

Sama halnya Aisyah, saat pertama kali melihat kakeknya, Fatimah langsung berlari memeluk. Dia tidak mengenali ibunya. Nunuk hanya tersenyum melihat pemandangan haru tersebut. Dia merasa layak untuk diperlakukan seperti itu, tidak dikenali anak-anaknya. Itu hukuman untuknya. Namun Nunuk yakin, semua kejadian adalah ujian. Dan di balik ujian itu tergelar taman kebahagiaan.

Bertemu kakeknya, Fatimah menjadi kekanak-kanakan. Seakan ada kehidupan baru di sana, kehidupan yang lebih baik dari kemarin.

“Dik,” Aisyah menyapa, “tidakkah kau mau melihat orang di belakangmu!”

Fatimah membalikkan badan. Melihat Aisyah sebentar dan mengalihkan pada perempuan di hadapannya.

“Beliau yang mau ketemu,” senyum Aisyah mengembang. Tak surut-surutnya Aisyah menatap wajah ibunya yang sudah lama hilang dari kehidupannya. Dan kini, wajah itu telah kembali.

Fatimah menatap wajah ibunya. Dilihatnya wajah itu. Memang tidak asing. Tapi dia lupa. Kemudian Fatimah menatap balik wajah kakaknya. Memang ada kemiripan antar ibu dan anak tersebut. Tetap saja Fatimah tidak mengenalinya.

“Siapa, Mbak?” Tanya Fatimah ke Aisyah.

Awalnya gadis ini betapa lincahnya. Namun begitu berhadapan dengan Nunuk, dia menjadi bingung. Maklum, dia kesulitan mengingat perempuan yang berdiri di hadapannya. Sebab saat berpisah, usia Fatimah masih 6 tahun.

“Lihat baik-baik, Dik. Dulu kita digendong beliau. Kau sering menangis dan manja. Aku yang selalu mengalah padamu. Sekarang lihat baik-baik wajahnya,” kata Aisyah membantu ingatan adiknya.

Fatimah terdiam.

Hari itu, mereka bertiga harus membanting pikiran untuk mengingat satu peristiwa dengan peristiwa sebelum-sebelumnya. Namun Fatimah masih memiliki kelincahan sebagai seorang anak. Dia terima segala kesulitan hidup semenjak berpisah dengan ibunya. Dan seperti halnya Aisyah, tak pernah sedikitpun Fatimah menyalahkan peristiwa itu sebagai kesalahan orangtuanya. Boleh jadi, dengan menjadi manusia neriman, segala kesulitan hidup dapat dientaskannya.

Bagi Aisyah dan Fatimah, kesulitan hidup itu justru memperkuat diri mereka, bukan memperlemah. Ditambah dengan kedalaman ilmu yang mereka terima dari pondok. Maka, kelincahan hidup itulah menjadi pembangkit semangat kedua gadis tersebut. Pikiran mereka selalu diwarnai kebahagiaan.

Lama-lama menatap wajah Nunuk, pikiran-pikiran Fatimah akan bayangan masa lalu mulai bangkit. Bayangan itu membentuk sebuah ingatan yang menyadarkan dirinya akan belaian kasih seorang ibu.

“Apakah ini ibuku?” Tanya Fatimah agak ragu.

Nunuk mendekat dan mengangguk.

“Allahu Akbar, ibu,” Fatimah pun jatuh ke pelukan ibunya.

“Fatimah, anakku!”

“Ibu ke mana saja. Fatimah kangen ibu.”

“Ibu juga kangen Fatimah. Selama ini ibu selalu teringat dengan kalian. Maafkan ibu tidak bisa ada untuk kalian.”

“Ibu jangan pergi lagi. Fatimah tak mau ibu pergi.”

Jerit Fatimah terdengar pilu. Agak berlebihan. Tapi patut. Sebab itu adalah kerinduan sejati. Kerinduan anak pada ibu. Dan sebaliknya. Suara Fatimah menggetarkan tembok-tembok nurani. Menyisakan jeritan serupa pada pendengarnya. Aisyah maupun Nunuk tak kuasa menahan tangis.

Bagi Nunuk, jalan menuju kebahagiaan kadang membingungkan. Membuat orang khawatir dan takut. Jalan itulah yang dilalui Nunuk beserta anak-anaknya. Andai mereka mampu melalui jalan itu, maka ditampakkan kerahasiaan dan keistimewaan pada orang-orang pilihanNya. Dan kini, kebesaran itu telah ditampakkan pada Nunuk, Aisyah dan Fatimah sebagai orang-orang yang bersabar.[bersambung]

Komentar
Loading...