Bahu Laweyan #46
Orang-orang Pilihan
Oleh: Noviyanto Aji
Wajah Nunuk nampak kemerahan. Matanya memandangi Iksan dengan berbinar-binar. Mendengar nama Ka’bah disebut, perempuan bahu laweyan itu dihinggapi banyak pertanyaan. Awalnya dia ingin pamit tapi urung.
“Apa maksud Mas Iksan, bahwa Kyai Sepuh dan Mas Sahid bertemu di depan Ka’bah?”
Iksan tidak menjawab. Tampaknya dia masih ragu-ragu untuk menceritakan hal tersebut pada Nunuk. Padahal Kyai Sepuh berpesan bahwa pertanyaan Nunuk bisa dijawab Iksan. Sementara yang hendak memberi penjelasan masih tarik ulur. Apakah yang akan diberi penjelasan mau menerima penjelasannya.
“Mas, kok diam,” tegur Nunuk.
Iksan menunduk. Dia merasa malu pada diri sendiri atas keragu-raguannya. Padahal keragu-raguan adalah tempat setan.
Sepintas ada ketegangan kecil di antara mereka. Itu karena Iksan tidak kunjung menjawab pertanyaan Nunuk. Hal ini menganggu ketentraman hatinya.
“Maafkan aku, Dik. Aku sebenarnya tidak tahu bagaimana menjelaskannya padamu.”
“Insya Allah aku akan memahami penjelasanmu, Mas!”
“Semoga saja.”
Nada Iksan terdengar seperti keluar dari rongga dada. Sengaja Iksan berhenti bicara. Dan hanya diam. Lalu mengarahkan pandangannya ke belakang. Tak seorang pun didapati. Sepertinya dia ingin memastikan bahwa kata-katanya tidak didengar orang lain.
“Mas…” Nunuk memanggil Iksan, menunggu jawaban.
“Apa yang kukatakan, itulah yang terjadi.”
“Apakah beliau-beliau bertemu di Ka’bah saat haji?”
Iksan menggeleng.
“Apakah saat umrah?”
Iksan menggeleng lagi.
“Keduanya bertemu di sana karena Allah.”
“Aku tidak paham, Mas.”
Nunuk memandangi Iksan tanpa berkedip. Berharap ada jawaban memuaskan hatinya.
“Mereka tidak sedang haji atau umrah. Mereka hanya sholat saja di sana.”
“Jauh-jauh ke sana hanya untuk sholat,” sahut Nunuk.
“Bagimu jauh, bagi kita jauh. Tapi bagi mereka dekat.”
“Maksud Mas, mereka datang begitu saja.”
“Ini bukan pertama kali aku melihat karomah Kyai Sepuh. Apa yang aku alami, juga yang kau alami saat bersama Mas Sahid di tengah hutan. Awalnya aku dulu sepertimu, mencoba meyakinkan diriku antara logika dan di luar logika. Tidak bisa. Semua yang kita saksikan adalah rahasia Allah yang tersembunyi dalam diri makhluk yang dipilih sesuai dengan kehendakNya.”
“Aku pikir juga demikian.”
“Aku menganggap Kyai Sepuh dan Mas Sahid sama-sama Wali Allah. Kyai Sepuh bisa saja tidak berada di rumah, dan beliau tiba-tiba berada di satu tempat yang jauh.”
“Aku percaya itu, Mas. Aku telah melihat sendiri saat bersama Mas Sahid di tengah hutan.”
“Begitulah Allah menunjukkan pada kita orang-orang pilihanNya.”
“Terus bagaimana mereka bisa bertemu di sana?”
“Saat itu Kyai Sepuh sedang sholat di depan Ka’bah. Dari belakang beliau ditepuk pundaknya oleh seseorang.”
“Biar kutebak, Mas Sahid.”
“Benar. Keduanya bertemu di sana. Mas Sahid menyebut namamu. Beliau minta tolong ke Kyai Sepuh agar menyampaikan ke istrinya. Dan apa yang dijelaskan Kyai Sepuh, kira-kira itulah pesan Mas Sahid. Selebihnya aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.”
“Bagaimana Mas Sahid bisa tahu bahwa aku berada di pondok pesantren?”
“Entahlah, Dik. Itu yang membuatku heran.”
“Apakah Kyai Sepuh menceritakannya pada Mas Sahid?”
“Tidak. Beliau tidak pernah menceritakannya pada siapapun, termasuk soal kehadiranmu di sini.”
“Berarti Mas Sahid tahu kalau aku di sini?”
“Kira-kira begitu.”
Dalam lubuk hati terdalam, Nunuk menangis mendengar cerita Iksan. Tak disangka namanya menjadi pembicaraan oleh Wali Allah di depan Ka’bah. Dia bertanya-tanya pada diri sendiri, apa istimewanya dia sampai-sampai mendapat tempat mulia seperti itu.
Pikiran dan perasaannya kemudian menjadi tambahan beban, menghisap segala dari tubuhnya. Mukanya memerah. Hidungnya yang begitu mancung, seperti memiliki nyawa sendiri dan bergerak-gerak. Mengendus-ngendus. Menggapai-gapai segalanya. Lalu dia membisiki dirinya, harus tabah, harus sabar, sering-sering berdoa, jangan lupa sholat, dan perbanyak istigfar.
“Aku tidak menyangka hal itu, Mas,” suara Nunuk terdengar lirih. Dia menundukkan kepala, mengesankan diri sebagai hamba lemah dibandingkan kekuasaan Allah yang besar itu.
“Apa yang mau dibanggakan dari manusia, Dik. Sama sekali tidak ada. Semenjak manusia dilahirkan, yang selalu menjadi urusan hanyalah kebutuhan jasmani saja. Itu tuntutan manusia secara kasat mata. Memang tidak dapat dihindari. Dan lazimnya begitu. Hal itu justru menimbulkan rasa bangga, berpuas diri, dan ujung-ujungnya angkuh. Sehingga mereka lalai hal terpenting dalam hidupnya, yakni Allah. Dalam surat ar-Rum ayat 7 Allah berfirman, mereka (orang akfir) hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia. Sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”
“Aku selama ini telah banyak berbuat dosa, Mas. Apakah dosa-dosaku akan dimaafkan olehNya. Perbuatan dosa ini telah mematikan hati, telah membinasakanku dan mendatangkan pada kehinaan. Apakah aku masih pantas berada di sisi Wali Allah?”
“Semua manusia pernah berbuat salah, Dik. Mungkin juga tidak terhitung berapa banyak amal maksiat yang telah kita lakukan dan menyebabkan kita terseret ke dalamnya. Tapi jangan semua itu lantas menjadi penyesalan sesaat sementara dalam penyesalan itu kita tidak melakukan apa-apa. Penyesalan harus disertai amal perbuatan. Kalau tidak disertai amal perbuatan, maka itu hanya angan-angan belaka. Meninggalkan dosa itu menghidupkan hati, dan baik bagi dirimu bila meninggalkannya. Setelahnya, itu yang terpenting, yakni mendekatkan pada yang Haq,” tutur Iksan.
“Iya, Mas.”
“Sudah berapa umur kita yang berlalu begitu saja. Apakah kita pernah menghitung keluar masuknya nafas kita setiap hari. Apakah kita pernah menghitung pengelihatan kita. Apakah kita pernah menghitung penciuman kita. Apakah kita pernah menghitung pendengaran kita. Apakah kita pernah menghitung gerak langkah kaki kita ke mana. Tangan kita digunakan untuk apa. Padahal itu semua adalah anugerah Allah yang tidak terhingga pada manusia.”
Nunuk menggeleng.
“Tapi Wali Allah menghitung itu semua, Dik. Orang-orang seperti Kyai Sepuh dan Mas Sahid, setiap nafas, setiap langkah, selalu dihitung.”
“Bagaimana cara mereka menghitung, Mas?”
“Dengan dzikir.”
“Apakah cukup hanya dengan dzikir.”
“Berdzikir itu mengingat Allah tidak sekedar di lisan. Kau kira saat Kyai Sepuh berbicara denganmu, beliau lantas melepas dzikirnya. Menghadap ke manapun, sedang berbicara dengan siapapun, mereka tak pernah berhenti mengingatNya.”
“Bagaimana manusia bisa selalu mengingatNya?” Nunuk bertanya.
“Di manakah Nunuk, tunjukkan padaku?” Iksan balik bertanya.
Nunuk geragapan mendapat pertanyaan seperti itu. Dia heran. Lalu dengan ragu-ragu menuding dirinya.
“Ini, Mas.” Dia meletakkan jari telunjuknya mengarah ke dirinya.
“Yang kau tunjuk adalah dadamu, Dik.”
“Aku tanya di mana Nunuk?”
“Ini, Mas.” Nunuk menunjuk kepalanya.
“Itu adalah kepalamu, itu tangan dan kakimu, itu matamu, itu telingamu, itu mulutmu, tapi di manakah Nunuk?”
Nunuk langsung berdiri menunjukkan badannya pada Iksan.
“Itu adalah badanmu.”
“Keseluruhan ini adalah aku, Mas.”
“Aku siapa?”
“Aku…Nunuk.”
“Di situlah kita sebagai manusia selalu mengagungkan ‘keakuan’. Segala gerak selalu diakui milik kita. Termasuk dalam beribadah. Keakuan ini yang kemudian menutupi rahsa kita untuk mendekat padaNya. Padahal kita tidak pernah bertanggungjawab atas hidup ini. Yang memberi nafas dan yang menggerakkan, bukanlah semata-mata kita. Cobalah kau pikir, saat kau tidur dan kau pun lupa atau tidak ingat, kira-kira berada di mana ruhmu? Dan ketika tiba-tiba kau terbangun, kira-kira siapa yang membangunkanmu.”
“Allah, Mas!” Seru Nunuk.
“Begitulah para aulia mengingat Allah. Mereka tidak pernah berhak atas ruhnya. Mereka tidak berhak atas nyawanya. Saat itulah mereka akan hidup dalam kehidupan tanpa kematian setelahnya, kekayaan tanpa pernah miskin, pemberian tanpa pernah putus, pintar tanpa kebodohan, keberanian tanpa ketakutan, kebahagiaan tanpa kesedihan, kemuliaan tanpa kehinaan, kedekatan tanpa merasa jauh, keagungan tanpa kehinaan, kemurnian tanpa kotoran.”
“Di situlah hijab terangkat, tirai terbuka. Tak ada sesuatu dapat mendindingi Allah, sebab Dialah yang menzahirkan sesuatu. Tak ada sesuatu dapat mendindingi Allah, sebab Dialah yang tampak pada segala sesuatu. Tak ada sesuatu dapat mendindingi Allah, sebab Dia Maha Nyata sebelum adanya sesuatu. Apabila ruhaniyah dapat menguasai basyariyah (fisik) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin. Mata fisik tidak akan dapat melihat, kecuali pemahaman-pemahaman yang dilihat mata batin. Segala gerak dan tingkah laku para aulia akan dihiasi dengan sifat-sifat ketuhanan. Sebab pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Dengan fitrah itu para aulia cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan dan mengimaninya. Mereka akan menjauhi maksiat dan syubhat. Pada titik ini, mereka telah berada dalam kondisi keluruhan (fana). Menjadi manusia yang sempurna. Insan kamil.”
“Subhanallah, Mas.”
Bergetar hati Nunuk mendengarkan penjelasan mantan suaminya. Dia menjadi begitu terharu. Selama ini dia berusaha menjadi orang baik, rupanya kebaikan saja tidak cukup. Pertanyaan yang tadi ditanyakan, malah membikin Nunuk berkaca-kaca.
Sekiranya kegelapan malam justru makin memperjelas wajahnya. Mungkin juga memperkuat imannya. Perempuan bahu laweyan itu berharap dapat mengikuti jejak para aulia, yang tak pernah sedetikpun berhenti mengingat Allah.
Berjam-jam Nunuk duduk di balai-balai bambu. Nampak tiada keragu-raguan padanya. Dia merenungkan kembali apa yang disampaikan Iksan. Pun Iksan. Ustad muda itu sudah pasti merenungkan apa yang telah disampaikannya. Sebab itu juga sebagai penyadaran diri baginya.
Namun, hari sudah larut. Iksan berkali-kali melirik jam tangannya.
“Dik, sudah malam. Sekarang pukul satu. Sebaiknya kau istirahat. Besok kita temui anak-anak jika kau memang sudah memutuskan untuk pergi ke Demak.”
“Iya, Mas. Aku terserah Mas Iksan saja.”
Keduanya pun berpisah dan kembali ke kamarnya masing-masing. [bersambung]