Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #48

Sepeda Onthel Sahid Ditarik Malaikat

Oleh: Jendra Wiswara

Nunuk penasaran dengan jawaban Fatimah. Dia bilang sudah menunggu dirinya selama setahun. Sementara dia dan Sahid baru menikah beberapa bulan lalu. Diam-diam Nunuk memperhatikan Iksan, dan pastinya laki-laki itu juga mempunyai pertanyaan serupa.

Sebenarnya Nunuk tidak yakin akan berani menanyakan hal itu pada Fatimah. Dia hanya bisa merasakan dalam hati. Begitu pula dengan Iksan. Tentu Nunuk yang paling kaget mendengar cerita itu. Sebab dia yang mengalami langsung. Sekali waktu matanya terkesan liar melihat ruang tamu. Lalu mengembalikan konsentrasinya ke Fatimah. Mau bagaimana pun, dia tetap harus memberanikan diri bertanya.

“Maaf Mbak Fatimah,” Nunuk memulai, “Jika aku lancang bertanya. Karena hal ini juga membuatku heran.”

“Silahkan, Dik. Mau tanya apa?” Sambut Fatimah.

“Kalau boleh tahu, apakah Mas Sahid pernah membicarakan soal pernikahan ini sebelumnya. Tadi Mbak Fatimah cerita sudah menunggu setahun. Sementara aku dan Mas Sahid baru beberapa bulan menikah.”

Perempuan itu tersenyum mendapat pertanyaan menyambar dari Nunuk. Dia juga tidak merasa heran dengan peristiwa-peristiwa hidup yang dialaminya selama berumah tangga dengan Sahid.

“Ya, sebelum Mas Sahid pergi, dia sempat minta izin padaku. Katanya, ada seorang perempuan yang butuh pertolongan. Dia telah meninggalkan orang-orang terkasihnya agar dapat selamat dari gangguan makhluk halus yang bersemayam di tubuhnya. Dan perempuan itu sedang berkhalwat di hutan.”

“Lantas, Mbak?” Tanya Nunuk penasaran.

“Mas Sahid bilang, suatu saat dia akan bertemu perempuan itu dan menikah dengannya. Cuma Mas Sahid bilang bahwa bukan dia yang melamar, melainkan perempuan itu yang melamarnya. Hanya saja Mas Sahid bilang dia tidak akan lama bersama perempuan itu. Setelah mengusir makhluk halus, dia akan memberinya pilihan untuk kembali ke mantan suaminya.”

“Iya, Mbak. Saat itu memang aku yang melamarnya. Setelah peristiwa di hutan itu, Mas Sahid memang memberiku pilihan untuk kembali pada mantan suamiku. Hanya saja aku tak bisa, Mbak. Alasannya, aku menikah dengan Mas Sahid karena Allah.”

“Berarti benar demikian. Ya, dari situ kemudian Mas Sahid meminta izin padaku.”

“Apa jawaban Mbak Fatimah?”

“Mas Sahid tidak pernah sedemikian serius. Seumur hidupnya dia tidak pernah ada keinginan menikah lagi. Aku sangat paham dengan wataknya. Bagi Mas Sahid, istrinya cuma satu. Tentunya dia lebih mencintai Kekasih. Aku tidak menanyakan lagi. Aku mengijinkannya bila itu terbaik untuk perempuan itu. Mas Sahid lantas menyebut namamu.”

“Darimana Mas Sahid tahu namaku, Mbak?”

“Entahlah, Dik. Banyak hal tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat. Segala hal yang terjadi di rumah ini, kadang aku tak bisa mencernanya.”

Yang membuat Nunuk heran, saat itu dirinya memutuskan untuk berpisah dari Iksan setelah diberitahu bahwa ada seorang Wali Allah yang akan menolongnya. Iksan sendiri mendapat pesan itu dari Kyai Sepuh. Apakah sebelumnya Kyai Sepuh dan Sahid pernah bertemu? Apakah saat pertemuan itu Kyai Sepuh menyampaikan persoalan yang tengah dihadapi santrinya pada Sahid? Bisa jadi. Tapi mengapa harus menunggu selama 6 tahun?

“Aku sebenarnya menunggu datangnya pertolongan selama 6 tahun, Mbak. Itu setelah aku berpisah dengan Mas Iksan,” perempuan bahu laweyan itu menunjuk ke arah Iksan, “Mas Iksan ini adalah bapak dari anak-anakku. Kami berpisah karena Gendro Swara Pati, makhluk halus itu terus mengejar kami. Yang kami khawatirkan saat itu keselamatan anak-anak.”

“Iya, Mas Sahid sudah cerita soal itu. Aku berharap kalian mendapatkan tempat terbaik di sisiNya. Semoga anak-anak kalian menjadi anak sholeh dan sholehah.”

“Amin.”

***

Hari sudah senja. Setelah sholat Magrib, Fatimah menyediakan tamu-amunya makanan. Pada waktu itu Fatimah dan Nunuk merasa senang. Mereka memperbincangkan segala hal. Lama-lama mereka tak lagi sungkan. Segala hal yang dipelajari dan dikerjakan Sahid, Nunuk mengetahuinya dari Fatimah.

Dalam hal ini, Fatimah selain seorang istri yang taat pada suami, dia juga seorang pendengar yang baik. Betapa dia pandai dalam menyenangkan hati lawan bicaranya. Maka, Nunuk pun tak sungkan menceritakan masa kelamnya saat masih dirasuki makhluk halus.

Sayangnya, hari itu Iksan tidak bisa berlama-lama di Kadilangu. Seperti janjinya, dia hanya mengantar Nunuk ke rumah Sahid dan setelah itu balik pulang.

“Maaf saya tidak bisa berlama-lama di Demak dan harus kembali ke pondok pesantren,” kata Iksan pada pemilik rumah.

“Apa tidak sebaiknya menginap di sini. Nanti pasti kemalaman di jalan. Apalagi jarak Demak dan Kediri sangat jauh.” jawab Fatimah.

“Terima kasih atas tawarannya, Kalau kemalaman kami bisa bergantian menyupir. Karena itu saya ajak kedua santri ini untuk bergantian menyupir di jalan.”

“Baiklah, Dik Iksan. Salam buat Kyai Sepuh.”

“Insya Allah, Mbak. Dan bila diizinkan saya titip ibunya anak-anak di sini. Karena Dik Nunuk masih ingin bertemu dengan Mas Sahid.”

“Iya saya tahu itu. Bila perlu Dik Nunuk tinggal di sini selamanya juga tidak apa-apa.”

“Terima kasih atas kebaikan Mbak Fatimah. Dan seandainya bertemu dengan Mas Sahid, tolong sampaikan salam saya dan juga anak-anak. Karena anak-anak sangat ingin bertemu dengan Mas Sahid.”

“Oh iya. Siapa nama mereka?” Tanya Fatimah.

“Aisyah, Fatimah dan Muhammad.”

“Subhanallah, nama yang bagus. Terutama yang kedua seperti nama saya. Insya Allah nanti disampaikan salamnya pada Mas Sahid,” sahut Fatimah.

“Kalau begitu saya pamit, Mbak. Wassalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawab Nunuk dan Fatimah kompak, keduanya lantas mengiringi kepergian Iksan dan dua santrinya hingga di depan halaman.

Dan mobil Iksan pergi meninggalkan mereka.

Kini yang ada hanya Fatimah dan Nunuk. Meski sudah dihuni dua orang, rumah tersebut masih terlihat sepi. Fatimah dan Nunuk kembali duduk di ruang tamu. Nunuk kembali membuka obrolan.

“Rumahnya sepi, Mbak. Anak-anak pada kemana?”

“Mereka di pondok, Dik. Yang pertama Uwais sudah berumahtangga. Dia sekarang yang mengurus pondok. Dia tinggal tak jauh dari pondok. Sudah dikaruniai dua anak. Yang kedua juga mengurus pondok. Sudah menikah. Belum diberi momongan. Namanya Khadijah. Sekarang ikut suaminya. Yang ketiga Muhammad. Sekarang dia sedang mondok di daerah Rembang.”

“Yang ketiga namanya sama dengan anakku, Mbak.”

“Iya, Dik.”

Dan keduanya terdiam. Suasana menjadi hening. Nunuk masih menunggu kata-kata dari Fatimah. Dan mungkin juga sebaliknya. Di waktu itu, pada kesempatan lain, mungkin Nunuk tak dapat bicara sebanyak ini. Dia seperti mendapatkan teman curhat. Tapi Nunuk juga harus banyak bersabar. Karena tidak mungkin dia langsung menanyakan soal surat dari Sahid sebagaimana pesan Kyai Sepuh. Setidaknya Nunuk harus menunggu hingga situasinya benar-benar pas untuk disampaikan.

Fatimah sendiri tidak banyak bertanya jika tidak ditanya. Nampaknya perempuan itu selalu berhati-hati dalam menjaga lisannya. Apabila ada kata-kata salah keluar dari mulutnya, Fatimah langsung mengucap istigfar.

Dan memang seperti itulah sikap seorang istri, apalagi Fatimah merupakan istri seorang Wali Allah. Perempuan itu sangat meneladani sikap istri Rasulullah sebagai kunci rumah tangga yang bahagia. Meski hidup dalam kesederhanaan dan kerap ditinggal pergi suami mengembara, Fatimah tetap setia menunggu, apapun kondisinya.

Selama berbicara dengan Fatimah, Nunuk tidak melihat perempuan itu sering mengeluh. Dia juga tidak pernah menceritakan keburukan suaminya yang juga suami Nunuk. Selain itu, Fatimah jarang keluar rumah, kecuali dalam keadaan penting. Sahid sendiri memberi izin pada Fatimah untuk keluar rumah seandainya dirinya sedang tidak ada di rumah. Namun Fatimah tetaplah istri sholehah. Dia lebih memilih berada di rumah demi menjaga kehormatan dirinya dan sang suami.

Nunuk melihat sosok Fatimah seorang istri yang tidak pernah sekalipun menentang perintah suami. Jika ada sesuatu yang menganggu perasaan Sahid, maka dengan menggunakan isyarat saja, Fatimah langsung menghindari dan menyingkirkannya. Fatimah juga merupakan seorang istri yang memiliki sikap quwwah atau memiliki keteguhan jiwa yang sangat besar. Dia tidak gampang marah.

“Dik Nunuk,” tegur Fatimah membuyarkan lamunannya.

“Iya, Mbak.”

“Setelah ini apa rencanamu?”

“Aku sebenarnya ingin bertemu Mas Sahid. Tapi dia sekrang tidak ada di rumah,” jawab Nunuk bersedih.

“Mas Sahid memang begitu orangnya. Dia sedang asyik dengan Kekasih.”

“Apa Mbak Fatimah tahu keberadaan Mas Sahid?” Tanya Nunuk.

“Aku tidak tahu, Dik. Sudah setahun ini Mas Sahid tidak pulang. Dia terus mengembara.”

“Setahun, Mbak!” Nunuk kaget.

“Iya setahun. Terakhir dia bilang seperti yang aku ceritakan tadi. Setelah itu dia pergi.”

“Mbak Fatimah tidak pernah menanyakan kepergiannya?”

“Mau tanya bagaimana Dik. Dia pergi tidak di satu tempat saja. Berpindah-pindah. Sesuai hati nuraninya. Pernah suatu kali aku bertanya mau pergi kemana? Dia bilang sulit menjawabnya. Kalau dia bilang sedang berada di Demak, ternyata esoknya dia sudah berada di Tuban. Begitu seterusnya.”

“Mas Sahid biasanya pergi naik apa?”

“Ha…ha…ha…” Fatimah tertawa.

“Kok tertawa, Mbak,” heran Nunuk.

“Kangmasmu itu tidak bisa naik motor atau naik mobil. Dia tidak bisa mengendarai dua-duanya. Dia bisanya naik sepeda onthel. Mas Sahid kemana-mana selalu jalan kaki. Dekat naik sepeda onthel, jauh jalan kaki.”

“Kok malah terbaik, Mbak!”

“Ya begitulah, Kangmasmu. Aku pernah sekali mengajak dia menghadiri kondangan di wilayah Rembang. Saat semua orang naik mobil, Kangmasmu malah naik sepeda onthel. Aku bilang ini tempatnya jauh. Dia ngeyel. Dia malah menyuruhku dan rombongan berangkat duluan. Katanya dia nanti menyusul.”

“Terus, Mbak.”

“Kamu tahu sendirilah jauhnya Demak dan Rembang. Hampir 2 jam perjalanan. Eh, begitu tiba di sana, Mas Sahid rupanya sudah tiba duluan. Aku lihat ada sepeda onthelnya. Dia cengengesan dan bilang, kok lama datangnya rombongan. Padahal dia sudah tiba 1,5 jam yang lalu. Pulangnya juga begitu. Kami berangkat duluan. Mas Sahid sampai rumah duluan dengan sepeda onthelnya.”

“Subhanallah, Mbak. Bagaimana bisa sepeda onthel bisa mendahului kecepatan mobil. Apalagi Demak Rembang ditempuh hanya 30 menit.”

“Mungkin sepeda onthel Kangmasmu ditarik malaikat. Ha…ha…ha…,” sahut Fatimah setengah bercanda.

“Masa iya bisa begitu.”

“Aku sebenarnya tidak percaya, Dik. Kok bisa Mas Sahid tiba duluan dari Demak ke Rembang hanya ngonthel. Aku sempat menanyakan dia, kok bisa ngonthel secepat itu. Dia bilang ‘lha dari sini (Demak) lokasinya (Rembang) dekat kok, bisa terlihat jelas. Buat apa naik mobil. Ngonthel saja sudah cukup’. Begitu kata Mas Sahid.”

“Orang-orang bagaimana reaksinya, Mbak?”

“Iya begitulah Kangmasmu. Selalu bikin orang jantungan. Orang-orang pada kaget semua. Mereka bilang sepeda onthel Mas Sahid ditarik malaikat. Makanya aku kapok mengajak Kangmasmu ke kondangan lagi.”

“Jadi sekarang Mas Sahid pergi naik bus?”

“Mas Sahid itu seumur hidup tak pernah naik kendaraan. Kemana-mana selalu jalan kaki. Dan setiap kali pergi, dia tak pernah bawa uang.”

“Terus bekalnya bagaimana, Mbak!”

“Kalau soal itu jangan ditanya. Mau tidak makan, mau makan, bagi dia tidak masalah. Katanya rejeki setiap manusia sudah ada yang mengatur. Kata Mas Sahid, yang namanya rejeki itu lebih dulu datang ketimbang doa atau pengharapan.”

“Kenapa bisa begitu, Mbak?”

“Sejak lahir ke dunia kita tidak pernah meminta sesuatu apapun pada Allah, kemudian Allah memberi kita susu, popok dan segala macamnya melalui orangtua. Manusia tak pernah meminta dapat melihat, tapi Allah memberinya pengelihatan agar dapat melihat keindahan akan ciptaanNya. Kita tak pernah meminta dapat mendengar, mencium, dan merasakan, tapi semua indera itu telah diberikan oleh Allah dengan lengkap. Itu semua adalah rejeki. Karena Allah Ar Rahman Yang Maha Pengasih dan Ar Rahiim Yang Maha Penyayang pada makhlukNya.”

“Tapi bukan berarti kita lantas meninggalkan doa. Sebagai manusia, kita tetap harus berdoa karena doa adalah bagian dari ibadah. Doa bentuk kepatuhan kita pada Allah sekaligus mendekatkan kita padaNya. Karena alasan itu Mas Sahid tidak takut tidak makan. Dia percaya Allah selalu ada di sisinya. Kalau hari ini Mas Sahid tidak bisa makan ya puasa. Jawabnya enteng sekali tapi bagi sebagian orang sulit dilakukan.”

“Iya, Mbak.” [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...