Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #57

Tidur di Kasur Empuk 

Oleh: Jendra Wiswara

Dewi bersiap pergi ke penginapan yang dibayangkannya. Ada kasur empuk. Air mandi hangat. Dan makan malam enak. Sayangnya semua itu terhalang oleh keadaan Nunuk. Sebab ada hal-hal yang tak bisa dilakukan oleh Nunuk dan membuat Dewi pasrah mengikuti keadaan. Ya, Nunuk tak bisa naik kendaraan.

Belum apa-apa Dewi sudah membayangkan susahnya Nunuk berjalan kaki dari Demak hingga Sunan Gunungjati. Itu, jauh sekali. Dan sama sekali tidak membuat perempuan bahu laweyan tersebut menyerah dengan keadaan. Malahan Dewi melihat sikap Nunuk senantiasa bersahaja terhadap siapapun yang ditemuinya.

Sebaliknya, jika Dewi memaksakan diri berjalan kaki menuju penginapan, tentu takkan sanggup. Akhirnya Dewi mengajak Nunuk mencari penginapan yang lokasinya tak jauh dari makam Sunan Gunungjati. Sebenarnya Nunuk tidak masalah menginap di mana saja. Hanya saja Dewi akan merasa bersalah jika membiarkan Nunuk tidur di sembarang tempat.

“Maaf Mbak Nunuk, saya tidak biasa berjalan jauh. Sebaiknya kita mencari penginapan di dekat-dekat sini saja,” kata Dewi sembari meninggalkan lokasi makam dengan diiringi Nunuk.

“Kalau saya jadi beban, sebaiknya saya menginap di makam saja Mbak,” kata Nunuk merasa tidak nyaman.

Ah, sama sekali tidak. Justru saya akan merasa bersalah jika tidak membantu Wali Allah.”

“Apa, Mbak!” Nunuk tersentak kaget mendengar kata-kata Dewi.

“Mbak Nunuk adalah istri dari Wali Allah. Saya akan merasa tersanjung bila diperkenankan membantu. Anggap saja saya urun bersedekah di sepanjang perjalanan Mbak Nunuk.”

“Iya, Mbak!” Balas Nunuk. Sebenarnya dia agak malu mendapat sanjungan seperti itu. Tapi Nunuk tidak bisa mencegah kata-kata Dewi.

“Jujur, saya merasa bersyukur bisa bertemu Mbak Nunuk di sini. Apalagi sebelumnya saya juga bertemu dengan Mas Sahid yang ternyata beliau adalah suami Mbak Nunuk,” ujar Dewi tak henti-hentinya mengumbar omongan.

Langkah kaki mereka kemudian terhenti di sudut gang. Dewi melihat ada sebuah penginapan. Dia buru-buru menarik tangan Nunuk dan mengajaknya masuk.

“Kita menginap di sini saja ya, Mbak!” Ajak Dewi.

Nunuk pasrah. Tak sepatah kata keluar dari bibirnya.

Dewi memesan satu kamar dengan dua tempat tidur. Rupanya Dewi tak mau tidur terpisah dari Nunuk. Dia selalu ingin berada di dekat Nunuk. Mereka seperti saudara yang hilang dan akhirnya bertemu kembali.

Saat memasuki kamar, mata Nunuk langsung tertuju pada sebuah kasur empuk. Agak ragu dia merebahkan tubuh. Pelan-pelan pantatnya dijejalkan di atas ambin. Dirasakan kasur itu. Pantatnya sedikit bergoyang. Sekedar memastikan sensasi empuknya kasur. Lalu, matanya terpejam. Sebuah bayangan nun jauh di sana mendadak menghampiri. Sudah lama sekali Nunuk tidak merasakan tidur di kasur empuk.

Selama 6 tahun tinggal di kaki gunung Penanggungan, Nunuk selalu tidur di atas ambin yang terbuat dari bambu. Ambin itu akan mengeluarkan suara ‘kriek…kriek…’ setiap kali tubuhnya direbahkan. Seperti mau patah. Semenjak itu, di mana Nunuk tidur, tak pernah sekalipun dia berbaring di atas kasur yang empuk. Nunuk lebih terbiasa tidur di atas ambin dari kayu atau tidur di lantai.

“Ada apa, Mbak?” Tanya Dewi mengejutkan lamunan Nunuk.

Ah, tidak kok Mbak. Kasurnya empuk sekali,” sahut Nunuk mirip orang kolot yang tak pernah melihat kasur.

Dewi heran dengan perkataan Nunuk. Reaksinya menunjukkan tidak seperti umumnya manusia normal.

“Bukannya sudah biasa kasur itu empuk,” jawab Dewi.

“Iya sih,” balas Nunuk agak ragu, dan memastikan kembali pantatnya duduk di kasur empuk.

Dewi melihat gelagat aneh. Dia melihat Nunuk bagai orang kebingungan.

“Mbak Nunuk sudah berapa lama tidak tidur di kasur empuk?” Dewi memberanikan bertanya.

“Maksud Mbak Dewi apa?”

“Saya tidak pernah melihat orang secanggung itu melihat kasur empuk,” sahut Dewi.

Nunuk tersenyum mendengar perkataan Dewi.

Ah, Mbak Dewi bisa saja. Apakah saya memang secanggung itu?” Nunuk menjawab dengan wajah memerah, tak bisa menyembunyikan rasa malunya.

Dewi mengangguk.

“Maaf ya Mbak. Saya memang sudah lama tidak tidur di atas kasur empuk seperti ini.”

“Kok bisa?” Dewi penasaran.

“Ceritanya panjang, Mbak.”

“Kita punya banyak waktu,” harap Dewi.

“Ya, mungkin semua itu karena kebiasaan. Selama 6 tahun di tengah hutan, keadaan menjadi tidak nyaman. Semua kebiasaan normal saya berubah menjadi tidak normal dan pada akhirnya kebiasaan tidak normal itu menjadi normal bagi saya.”

“Mbak Nunuk melepas kenyamanan begitu saja?”

“Kenyamanan, kemapanan, atau apapun kita menyebutnya, memang sulit dilepas begitu saja. Semua butuh proses. Saya memutuskan menyepi di tengah hutan karena keadaan. Dari keadaan itu menjadi kebiasaan. Keadaan itu ternyata juga bisa mengubah pola hidup kita.”

“Jadi Mbak Nunuk tidak pernah tidur di kasur empuk?” Tanya Dewi.

Nunuk menggeleng.

“Kebiasaan apa lagi yang berubah dari Mbak Nunuk?”

“Saya jadi terbiasa merasakan hawa dingin pegunungan.”

“Apa lagi?”

“Makan seadanya.”

“Terus?”

“Lebih sering berpuasa.”

“Selain itu?”

“Entahlah, Mbak. Setidaknya dari peristiwa demi peristiwa yang saya alami, telah banyak menyadarkan yang lain,” serunya.

“Yang lain maksudnya apa?” Heran Dewi.

“Banyak dosa telah saya perbuat sepanjang hidup ini. Dan, itu merupakan aib. Ada kebencian. Ada kemunafikan. Ada kebohongan. Ada kezaliman. Ada kesesatan. Ada kemusrikan. Suatu hari keadaan menyadarkan yang lain itu. Insya Allah, saya kini bisa belajar bersyukur dari setiap keadaan meski terkadang hal itu berat.”

“Apakah kita harus dipaksa oleh keadaan supaya tersadar dan kembali ke jalan Allah?”

“Bukankah setiap manusia dalam kondisi terdesak akan selalu ingat Allah. Sama halnya ketika kita beribadah. Jika ibadah sudah kita jadikan kebiasaan, maka kebiasaan itu akan berubah menjadi kebutuhan. Ibadah apapun yang kita jalani karena kebutuhan akan terasa ringan.”

“Ya, mungkin keadaan itu harus kita cipta. Untuk kemudian melahirkan kebutuhan yang melekat pada seorang hamba. Semua dimulai dari pencarian jati diri. Apa misi hidup kita, apa fungsi hidup kita di dunia ini dan untuk apa kita diciptakan Allah. Namun dalam pencarian jati diri harus diawali dengan pertaubatan,” tutur Nunuk.

Nunuk mengkaitkan perjalanan hidupnya yang penuh liku. Baginya itu merupakan asbab (sebab-sebab) ada di setiap takdir manusia. Adanya sebab itulah Nunuk kemudian memaksakan diri melakukan pencarian jati diri, meskipun hal itu tidak disadarinya.

“Allah sendiri mendesain takdir setiap hambaNya. Di jalan takdir ada peristiwa-peristiwa dan perangkat-perangkat yang akan membuka rahasia setiap hamba. Dalam keadaan yang tidak biasa itulah, dapat muncul kebutuhan spesifik pada diri hamba. Di situlah ada sesuatu yang terpendam dalam diri seorang hamba,” tambah Nunuk.

Nunuk melanjutkan, yang namanya kebutuhan itu bukan kebutuhan sementara yang berasal dari hawa nafsu. Melainkan kebutuhan hakiki yang datang dari takdir.

“Setiap manusia yang paham akan kebutuhannya, berarti dia dapat menyempurnakan dirinya. Penyempurnaan diri itu adalah ketika seorang hamba menjadi Insan Kamil. Dia mengetahui Yang Maha Kaya, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Maka Kuat, Yang Maka Tinggi dan lain sebagainya. Sedangkan dia sebagai hamba akan merasa miskin, bodoh, lemah, hina dan tidak berdaya di hadapanNya,” paparnya.

Mendengar hal itu, Dewi hanya tertunduk. Merasai diri sebagai hamba yang bodoh dan lemah. Memang setiap kebutuhan hamba berbeda dengan apa yang dibutuhkan oleh hamba yang lain. Namun kebutuhan hakiki setiap hamba adalah sama rasanya, sama keinginannya. Sebab sama-sama makhluk ciptaanNya.

***

Dari obrolan kasus empuk yang melebar ke mana-mana itu, tiba-tiba dua perempuan itu dikagetkan oleh suara ‘krucuk-krucuk’. Suaranya keras seperti gemuruh, tapi mengiba. Rupanya itu suara perut Nunuk yang keroncongan.

Dewi kaget dan menoleh ke arah perut Nunuk. Sedangkan yang punya perut berusaha untuk menutupi dengan kedua tangan.

Eh, itu suara perut Mbak Nunuk!” Seru Dewi.

“Maaf Mbak Dewi.”

“Kapan terakhir makan, Mbak?” Tanya Dewi.

Nunuk mengangkat kedua bahunya. Tidak ingat kapan terakhir dia makan.

“Ya Allah.”

Buru-buru Dewi mengajak Nunuk keluar kamar.

“Kita cari makan dulu,” ajak Dewi.

“Tapi, Mbak,” Nunuk berkata malu-malu.

“Tidak ada tapi. Dari kata-kata Mbak Nunuk tadi, makan juga kebutuhan lahir,” Dewi spontan membalikkan kata-kata Nunuk.

Di luar penginapan, Dewi melihat penjual sate. Perempuan itu langsung memesan 30 tusuk sate. Mereka pun duduk di samping penjual sate. Menunggu sate dikipasi. Aromanya langsung membangkitkan selera makan. Meski perut mereka keroncongan, namun Dewi dan Nunuk masih kuat untuk menahan lapar.

Sambil menunggu makanan datang, Dewi menatap Nunuk dengan pandangan welas.

“Setelah ini Mbak Nunuk akan melanjutkan perjalanan ke mana?” Tanyanya.

“Kalau tidak salah, setelah Sunan Gunungjati tidak ada lagi makam Walisanga yang menuju ke Barat. Jadi saya harus balik,” jawab Nunuk.

“Kembali ke jalan yang kemarin dilalui,” sahut Dewi.

Nunuk menggeleng.

“Saya rasa tidak.”

“Lantas?”

“Saya tidak mungkin melalui jalan yang sama.”

“Jadi Mbak Nunuk akan melalui jalan mana?”

“Kata orang saya bisa melalui jalur memutar ke arah Selatan. Nanti tembus ke Jawa Tengah.”

“Mbak Nunuk tahu jalur ke sana?”

Nunuk menggeleng lagi.

“Saya tidak hafal semua jalan. Dari Demak ke sini saya juga tidak tahu jalan. Alhamdulillah, saya bisa sampai ke Sunan Gunungjati,” kata Nunuk dengan yakin.

“Ya, ya, ya, mungkin memang ada yang mengarahkan Mbak Nunuk.”

Wallahua’lam. Saya hanya mengikuti saja langkah kaki ini.”

***

Makanan yang ditunggu pun tiba. Sebelum menyantap makanannya, Nunuk kembali menunjukkan gelagat aneh. Seperti kucing, makanan itu dicium aromanya terlebih dahulu.

“Apakah juga sudah lama tidak makan sate?” Sindir Dewi, kali ini pertanyaannya biasa-biasa saja.

Nunuk menjawab dengan senyumnya yang khas. Agak mengendalikan diri atau memang agak malu.

Bismillah,” ucap Nunuk sebelum kemudian menyantap sate itu pelan-pelan. Satu tusuk sate dilahapnya berikut tusuk sate lainnya hingga tak tersisa.

Nunuk memang sudah lama tidak makan sate. Lebih dari itu, dia sudah lama tidak makan yang enak-enak. Terakhir dia merasakan makanan enak saat berada di Pesantren Kediri menemani anak-anaknya. Dia sendiri yang memasak. Dan masakan Nunuk diakui anak-anaknya sangat lezat.

Selama menyantap hidangan sate, tanpa sadar Nunuk terus dipandangi oleh Dewi. Mulai dari cara makan hingga selesai makan. Dalam hati Dewi mengakui bahwa sosok perempuan di hadapannya memiliki kharismatik yang luar biasa.

“Nampaknya banyak orang yang sayang pada Mbak Nunuk,” ujar Dewi.

Nunuk sedikit canggung mendengar perkataan Dewi. Tidak paham maksudnya. Apakah Dewi berusaha untuk menelanjangi dirinya?

Perempuan bahu laweyan itu mulai tidak tenang. Gelas air minum yang dipegangnya diletakkan pelan-pelan di atas bangku panjang. Berusaha menyimak kata-kata Dewi yang mengusik pendalamannya.

“Saya tidak paham maksud Mbak Dewi!” Seru Nunuk lirih.

“Maaf, saya hanya iri saja melihat Mbak Nunuk,” balasnya.

“Iri?”

“Melihat Mbak Nunuk menjalani laku batin seperti ini, saya rasa tidak semua orang bisa melakukannya. Apalagi Mbak Nunuk adalah seorang wanita yang bepergian sangat jauh. Saya saja berusaha untuk bepergian sendiri tapi seperti memiliki banyak beban. Sementara Mbak Nunuk terlihat sangat tenang.”

Ah, itu hanya perasaan Mbak Dewi. Setiap orang sawang sinawang. Mungkin di luarnya saja tampak tenang. Siapa tahu pendalamannya bergejolak,” elak Nunuk menghibur diri.

“Pendalaman bergejolak bagi orang yang tidak terbiasa dengan keadaan. Bagi yang terbiasa, gejolak batin pasti mudah dikendalikan,” Dewi membalas seperti sedang berpantun.

“Percayalah, Mbak. Hati orang tidak ada yang tahu. Malaikat pun tak bisa menebak hati seseorang. Bagi Mbak Dewi, pembawaan saya tenang. Atau bisa saja hati saya bergejolak dengan hebat.”

“Bagaimana mungkin seseorang yang laku batin bisa hatinya begejolak?”

“Saya tidak melakukan perjalanan untuk mencari ketenangan diri. Ada banyak orang yang beribadah untuk mencari ketenangan dan kedamaian. Tapi saya melakukan ini karena Allah sekaligus menjaga amanah dari suami. Tidak ada amal-amal yang agung dapat tegak kecuali Allah telah menanamkan ruh berupa cahaya ikhlas yang dapat menghidupkan amal tersebut. Menjadi hamba yang ridha kepada Allah dalam keadaan apapun, suka duka, bahagia sengsara, takut dan sedih, kaya dan miskin, menjadi muda hingga tua, asal semua bersama Allah dan tidak membelakangiNya.”

Nunuk melanjutkan, “Apakah Allah memberatkanku, iya. Tapi semua itu sebagai ujian terhadap hambaNya. Gejolak batin itu hal lumrah. Selama hamba menikmati kesyukuran, tidak lupa dan tersalah, tidak putus harapan akan keampunan dan kemaafan, segera bangkit dari keterpurukan dan kenistaan, maka di saat itulah Dia akan menganugerahkan rahmatNya.”

Suasana menjadi agak hening. Agak lama mereka tak bicara. Hanya saling pandang dan mengagumi satu sama lain. Mata Nunuk berusaha menjangkau kejauhan. Sementara mata Dewi terus-terusan memperhatikan Nunuk.

“Mbak Nunuk kelihatan lelah sekali. Apa mau kembali ke kamar?” Tanya Dewi.

“Boleh,” jawabnya dengan pasti.

Setelah membayar panganan, Dewi menggandeng lengan Nunuk beranjak menuju kamar. Sekali lagi Dewi seolah tak mau melepaskan diri dari Nunuk.

Di kamar, mereka langsung merebahkan tubuhnya di kasur empuk. Dewi tak butuh waktu lama memejamkan mata. Dia pun terlelap dalam mimpi. Sementara Nunuk masih terlihat kaku tidur di kasur empuk. Dia merasai punggungnya ada yang memijat-mijat. Awalnya dia tidur terlentang. Lalu miring ke kanan. Terus ke kiri. Enak sekali. Sambil memejamkan mata, mulutnya mulai berdzikir. Pelan dan lirih. Nyaris tidak terdengar. Hingga akhirnya kesadarannya mulai hilang. Dan terlelaplah dia. [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...