Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Belajar Dari Filipina, Mewaspadai Bangkitnya Otoritarinisme Orde Baru Paska Pilpres 2024

Oleh: Isa Ansori

LANGIT mendung mewarnai asa para pejuang demokrasi paska dilaksanakannya pilpres 2024. Berdasar hasil quick count yang terkesan sudah direkayasa untuk memenangan paslon dukungan istana, paslon 02, Prabowo-Gibran, hukum dan etika tak lagi menjadi panglima, 10 tahun dipimpin Jokowi, gejala menampakkan otoritarianisme mulai nampak, hukum dilabrak, etika dilanggar, dan kolusi, korupsi serta nepotisme merajalela. Janji-janji politik tak banyak yang ditunaikan, rakyat dibodohi dan dibohongi dengan kedemawanan negara, melalui bansos dan BLT.

Menjelang pelaksanaan pilpres, presiden dan apartur negara yang seharusnya netral dan tidak berpihak, dipertontonkan secara telanjang ketidaknetralannya, bahkan presiden cenderung menjadi timses dan jurkam paslon 02, Prabowo-Gibran.

Proses penghitungan pilpres di KPU memang masih berlangsung, tapi rakyat sudah dimanipulasi dengan hasil quick count bahwa yang menang adalah Paslon 02, apalagi menjelang pukul 17.00, tanggal 14 Februari 2024, 4 jam setelah penutupan proses pilpres dan pemilu, disiapkan panggung besar di Istora untuk merayakan kemenangan, sebuah hal yang tak wajar.

Bahkan dalam satu rumor yang beredar, bahwa presiden bersama beberapa menteri mensetting ini dengan diback up oleh organisasi massa kemasyarakatan dan keagamaan. Seolah saat itu berlaku, umumkan dulu, deklarasikan dulu, baru setelah itu dijaga algoritme suara pilpres di KPU dan sesuaikan dengan quick count yang diumumkan.

25 tahun reformasi diperjuangkan dengan darah dan nyawa rakyat Indonesia, kini mengalami ancaman dibawah bayang-bayang otrianisme orde baru. Turunkan harga-harga bahan pokok pangan, berantas KKN dan hidupkan kembali demokrasi yang menjadi tuntutan rakyat dan mahasiswa saat itu, kini hilang sirna di bawah kangkangan para penumpang gelap yang kini menyusup dalam kekuasaan.

Reformasi kini tinggal nama, masa masa sulit dan kegelapan demokrasi akan membayangi perjalanan demokrasi Indonesia lima tahun yang akan datang.

Kembalinya otoritarianisme mengingatkan kita kembali pada masa kelam demokrasi yang terjadi di Filipina. 36 tahun setelah digulingkan dari kekuasaan, bayang-bayang diktator Ferdinand Marcos kembali menghantui Filipina.

Pada tahun 2022, putranya, Ferdinand Marcos Jr., yang dikenal sebagai “Bongbong,” meraih kemenangan telak dalam pemilihan presiden. Kemenangan ini menandakan kebangkitan dinasti Marcos dan mengantarkan Filipina kembali ke era politik yang penuh pertanyaan.

Kalangan muda yang tidak tahu sepak terjang Marcos sr, dicekoki dengan propaganda-propaganda seolah Marcos adalah pahlawan. Hal yang sama terjadi di Indonesia. Sehingga memudahkan kembalinya orde baru untuk kembali merebut kekuasaan dari reformasi.

Bayang-bayang tenggelamnya demokrasi di Filipina ditandai dengan Kemenangan Marcos Jr. dalam pemilihan presiden tahun 2022 merupakan kembalinya dinasti Marcos yang kontroversial. Kampanyenya diwarnai dengan misinformasi dan nostalgia untuk masa “kejayaan” di bawah pemerintahan ayahnya.

Banyak pemilih muda, yang tidak merasakan langsung kekejaman rezim Marcos Sr., terbujuk oleh janji-janji persatuan dan kemajuan ekonomi.

Bongbong Marcos memanfaatkan citra ayahnya untuk meraih dukungan. Kampanyenya berfokus pada nostalgia masa lalu dan janji-janji untuk membawa kembali “masa kejayaan” Filipina. Dia juga berhasil menarik dukungan dari kelas menengah dan atas, yang tergoda dengan janji stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.

Kemenangan Marcos Jr. menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis demokrasi dan organisasi HAM. Mereka khawatir bahwa kembalinya dinasti Marcos akan mengantarkan Filipina kembali ke masa otoriter dan meniadakan kemajuan demokrasi yang telah diraih selama bertahun-tahun.

Sejarah kelam rezim Marcos Sr. masih membekas di benak banyak orang Filipina. Masa pemerintahannya (1965-1986) diwarnai dengan pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan nepotisme. Ribuan orang dibunuh, disiksa, atau dipenjara tanpa proses hukum. Kekayaan negara dijarah oleh keluarga Marcos dan kroninya.

Kembalinya rezim orde baru juga melakukan hal yang sama, berlindung di bawah bayang-bayang reformasi yang diamanhkan kepada Jokowi, namun menjelang habis kekuasaan.

Ruh orde baru yang haus kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme merasuki Jokowi, dengan keinginan untuk berkuasa tiga periode, dengan melakukan segala cara. Yang terakhir dengan memanfaatkan kedekatan keluarga melalui MK yang meloloskan Gibran putra sulungnya menjadi cawapres Prabowo.

Masa depan Filipina di bawah kepemimpinan Marcos Jr. masih penuh dengan ketidakpastian. Banyak pertanyaan yang masih belum terjawab, seperti bagaimana dia akan menangani pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, bagaimana dia akan memerangi korupsi, dan bagaimana dia akan memimpin Filipina di tengah berbagai tantangan global.

Kebijakan represif sejak berkuasa, Marcos Jr. telah menunjukkan kecenderungan otoriter. Dia telah menerapkan undang-undang anti-terorisme yang luas yang digunakan untuk membungkam kritik dan aktivis, menutup media independen dan membungkam jurnalis kritis, mengangkat loyalisnya ke posisi kunci di pemerintahan dan militer serta mengubah undang-undang dasar untuk memperkuat kekuasaannya.

Satu hal yang pasti adalah bahwa Filipina telah memasuki babak baru dalam sejarahnya. Kebangkitan Marcos menandakan pergeseran politik yang signifikan dan akan memiliki implikasi besar bagi masa depan demokrasi di Filipina. Hal yang sama akan juga terjadi di Indonesia.

Bayang-bayang gelap demokrasi paska pilpres adalah sebuah keniscayaan, hal ini wajar berdasar rekam jejak Prabowo yang dalam banyak hal dianggap sebagai pelaku pelanggaran berat di Indonesia sejak orde baru sampai menjelang reformasi.

Pernyataan Allan Nairn jurnalis Amerika dan film pendek Dirty Vote menjadi indikator menuju gelapnya demokrasi. Jurnalis investigasi asal Amerika Serikat itu membayangkan Prabowo Subianto akan sangat berbahaya bagi para aktivis hak asasi manusia; wartawan; buruh; orang-orang miskin yang mencoba menolak pelanggaran yang dilakukan aparat, polisi, dan preman, jika menjadi Presiden RI. Allan Nairn menyampaikan hal itu saat wawancara dengan Tempo seperti dikutip Majalah Tempo edisi 7 Juli 2014.

Allan Nairn menilai Prabowo tidak berubah sejak 2001 hingga 2014. “Tidak ada bukti ia berubah. Ia berbohong tentang perannya dalam pembunuhan massal. Ia tidak mendukung ide bahwa siapa pun yang membunuh harus dibawa ke pengadilan,” tuturnya.

Wajah buram Parabowo pun semakin kelam. Pengadilan HAM tak pernah jelas memutuskan tentang status Prabowo, sehingga masih tersandera dengan kejahatan HAM masa lalu apalagi diperkeruh dengan sikap Jokowi yang ambisius dan mengangkangi hukum untuk kepentingan politiknya.

Proses hitung KPU dengan real count masih berlangsung, bagi para pejuang demokrasi harus tetap mengawal perhitungan itu dan tidak boleh lagi memberi cela berlangsungnya proses pemilu curang yang memenangkan calon yang tidak kompeten dialam demokrasi.

Kita berharap KPU akan menjadi garda depan menjaga demokrasi dengan tetap berpihak pada kepentingan rakyat. Semoga perhitungan yang saat ini berlangsung bisa berlangsung jujur, adil dan damai. Kita tentu tak angin KPU tidak dipercaya, kalau itu yang terjadi bukan tidak mungkin akan terjadi bencana demokrasi dan amuk massa, mengulang kembali sejarah gerakan reformasi jilid II.@

*) Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

Komentar
Loading...