Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bercinta Dengan Penunggu Air Sumber Dewi Kunti Gunung Arjuna

Barang siapa yang selalu kekenyangan maka banyaklah dagingnya, dan siapa yang banyak dagingnya maka kuatlah nafsunya. Kejadian ini sebenarnya kualami ketika aku sedang bersama teman kampus mendaki Gunung Arjuna, Purwosari, Malang. Selama seminggu di gunung, tentunya merupakan pengalaman yang mendebarkan.

REKAYOREK.ID Selain itu, cerita ini sekedar mengingatkan kepada para pendaki tentang adanya misteri di lokasi-lokasi tertentu di seluruh penjuru negeri ini.

Saat itu yang ada dalam pikiranku adalah tempat yang kami singgahi konon dihuni banyak lelembut. Apalagi kata teman-teman, kawasan gunung Arjuna diyakini angker dan keramat. Hampir setiap pos yang kami lewati selalu ada patung atau petilasan. Sebut saja patung Betara Guru di pos I, petilasan Dewi Kunti di pos II, Patung Eyang Ismoyo (Semar) di pos III, dan Makuto Romo di Pos IV.

Bersama lima orang teman, aku harus mempersiapkan lokasi perkemahan yang kami anggap nyaman. Tidak seperti gunung-gunung lain, kawasan gunung ini masih terbilang perawan alias jarang dikunjungi orang kecuali penduduk setempat dan para peziarah, aku menyebutnya pertapa. Bahkan, ada pertapa yang sempat kami jumpai mengaku sudah dua bulan berada di lereng gunung. Dalam pikiranku, apa saja yang mereka lakukan di sini, hingga selama itu?

Setelah mendapatkan tempat yang cocok dan sesuai, kami singgah di petilasan Dewi Kunti. Saat itu waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Malam itu udara cukup cerah. Bulan menerangi seluruh rimba; membantu mempermudahkan kami membereskan perlengkapan kendati hanya ada lampu petromak yang menyala.

Begitu selesai, aku dan dua orang temanku pamit mandi di sumber Dewi Kunti yang letaknya 10 meter dari lokasi. Byur, byur, byur, 20 menit berlalu. Kedua temanku selesai mandi dan bergegas kepondokan. Sementara aku masih sibuk mencuci perabotan dapur.

Saking asyiknya menikmati jernihnya air sumber, aku juga tengah asik menggosok-gosok tubuhku. Entah darimana datangnya tiba-tiba seorang gadis muncul di hadapanku. Dia sangat anggun, cantik, dan seksi. Aku bisa melihat kulitnya yang kuning terkena sinar bulan.

Dalam pikiranku, gadis ini benar-benar pandai merawat tubuh. Pelan-pelan ia mendekatiku sambil membawa pakaian kotor yang hendak dicuci. Ia duduk membelakangiku.

“Darimana datangnya gadis ini. Cantik benar,” pikirku. Cara dia berpakaian mirip orang-orang jaman kerajaan. Buru-buru aku membalut tubuhku dengan handuk. Iseng aku mendekati gadis tersebut.

“Hendak kemana malam-malam begini, apa nggak takut di sini ada hantunya?” Tanyaku. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Gadis itu menoleh dengan senyum yang mengembang. Saat itu aku masih dihinggapi perasaan yang tak menentu.

Bagaimana bisa di hutan ini ada gadis secantik ini. Apakah dia termasuk seorang peziarah, ah tidak mungkin, pikirku. Selama ini aku tak pernah menemui peziarah atau pertapa secantik ini.

Mungkinkah ia penduduk setempat yang kebetulan sedang mengambil air sumber di petilasan Dewi Kunti. Sebab, konon, air di sini diyakini penduduk setempat dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Tapi apakah mungkin ia penduduk setempat, sebab jarak desa terakhir dari sini cukup jauh. Untuk bisa sampai di petilasan sini saja dibutuhkan waktu 2 jam. Ataukah mungkin ia sudah di sini sebelum aku datang? Yah, bisa jadi.

Berbagai pertanyaan yang memasung benakku akhirnya luluh ketika melihat wajah gadis tersebut yang disoroti sinar bulan. Benar-benar bagai bidadari, cuantik sekali. Dengan hanya mengenakan balutan selendang melingkar dipinggulnya, aku hanya bisa menelan ludah. Dan ketika aku hendak kembali ke pondokan, gadis itu mulai menyapaku.

“Lho mau kemana, kok terburu-buru!” Suaranya begitu merdu. Ia memperkenalkan diri.
“Namaku Lilis, mas siapa?”
“Eeh, anu, aku Herman,” jawabku terbata-bata. Kepadaku Lilis mengaku tinggal tak jauh dari petilasan.

Entah kenapa begitu mengenal Lilis, aku seolah terhipnotis. Mungkin karena kecantikan dan kemolekan Lilis yang membuatku lupa daratan. Tanpa menghiraukan teman-teman di pondokan, aku menawarkan untuk membawakan cuciannya dan mengantar pulang. Dengan malu-malu Lilis menerima tawaranku.

Ketika berjalan menyusuri tapak jalan, Sesekali tanganku nakal menggenggam tangan Lilis yang halus. Lilis membawaku ke sebuah jalan yang menurutku sangat asing. Sebab jalan yang kami lewati seharusnya menuju ke pondokan, karena hanya itu jalan satu-satunya. Aku merasa aneh saat Lilis membelokkan langkahnya menyusuri jalan baru.

“Apakah benar ini jalan menuju rumahmu?” Tanyaku.
“Iya, emangnya kenapa mas!”
“Ah, tidak kok. Aku hanya merasa aneh saja, padahal tadi sewaktu ke sini aku tidak melihat ada jalan ini.” Balasku.
“Mungkin mas tidak melihatnya. Jalan ini sudah ada sejak dulu kok.” Kata Lilis menenangkanku.
“Mungkin juga,” aku menggaruk-garuk kepala.

Tanpa kusadari ternyata aku sudah berjalan jauh. Sebab aku tak bisa mendengar suara radio teman-temanku. Setelah 15 menit berjalan, akhirnya sampailah aku di sebuah rumah yang mungil dan lucu. Kendati hanya terbuat dari kayu tapi sekelilingnya bersih dan terawat. Sekilas rumah itu bagai rumah kuno jaman kerajaan. Penerangannya hanya menggunakan lampu teplok.

Di situ aku tidak melihat orang tua Lilis. Saat kutanya dimana orang tuanya, Lilis mengaku kalau keduanya sedang menginap di rumah saudara yang terletak di desa sebelah.

Tanpa sungkan aku melangkahkan kaki memasuki rumah tersebut. Lilis sendiri bergegas ke dapur Membuatkan aku kopi. Sesekali aku berpikir, Berani sekali gadis ini tinggal di rumah yang sepi dan jauh dari tetangga. Malam itu kami Ngobrol panjang lebar. Lilis menemaniku sambil menyuguhkan kopi dan singkong rebus. Hmm, enak, dingin-dingin begini ngopi dan makan singkong sambil ditemani gadis cantik. Jarang di kota aku menemui pemandangan seperti ini.

Ternyata, gadis bernama Lilis itu, adalah Hantu Sumber Dewi Kunti. Lilis mengajakku duduk di sebuah balai yang terbuat dari bambu. Balai bambu itu terletak diruang tengah rumah. Karena tak ada orang selain kami berdua, tangan nakalku bergerilya ke seluruh pelosok tubuh Lilis. Anehnya, Lilis tak berusaha mengelak dari terjangan tangan-tanganku. Ia hanya diam. Bahkan, seolah ingin merasakan dasyatnya seranganku.

Hingga suatu saat, ia berbalik menyerang diriku. Tak berapa lama setelah itu, saling serang antara aku dan Lilis pun terjadi dengan seru dan sengit. Akhirnya kami terkulai lemas kehabisan amunisi.

Berangsur-angsur, emosiku mulai menurun. Hingga tak terdengar lagi letupan nafas oleh telingaku.

Esoknya, aku terbangun. Dan ternyata, aku semalaman tertidur di sebuah petilasan. Disampingku berderet makam-makam yang tak terawat. Aku segera bangkit dan ngacir sambil menyambar pakaianku yang berserakan diatas tanah pekuburan.

Karena rasa takut, tak sadar aku berlari menuju perkemahan dengan bertelanjang diri. Sesampai di perkemahan, aku langsung menyeruak dan ikut tidur di tengah-tengah empat orang rekanku.

Mungkin Yoga merasa risih, ketika tangannya menyentuh bagian belakang tubuhku. Sedangkan Budi Pras, pernafasannya terganggu dengan bau anyir yang tiba seiring kehadiranku.

Berbarengan mereka terbangun. Dan mereka terbelalak matanya sambil berteriak. “Apa-apaan kamu pi”, kata mereka ketika mendapati diriku dalam keadaan telanjang bulat tidur diantara sela-sela mereka. Belum sempat aku menjawab, Rosi dan Ali pun, ikut terbangun.

Ali, memberikan kain sarung yang dipakainya sebagai pengganti selimut tidur. Rupanya ia jengah melihat kebugilanku. Setelah itu, disodorinya aku sebotol air mineral. Setelah minum beberapa teguk air mineral, aku mulai tenang. Ketenanganku makin bertambah ketika menyadari, bahwa kini aku telah berada di dalam tenda bersama empat rekanku.

Setelah melihatku tenang, mereka berempat mulai menuntut diriku untuk menceritakan apa yang telah kualami, yang menyebabkan aku bugil dan ketakutan. Akupun menceritakan semua kejadian yang kualami bersama Lilis.

Ada banyak komentar yang mereka lontarkan kepadaku. Mendengar komentar mereka yang aneh-aneh itu, aku hanya bisa tersenyum sambil mengumpat mereka.

Hari mulai terang. Sesuai rencana harusnya kami masih enam hari lagi berkemah. Tetapi karena kejadian semalam yang menimpaku, akhirnya kami sepakat untuk turun gunung hari itu.

Kamipun bergegas membongkar tenda untuk kembali turun dan pulang ke Surabaya. Sambil berjalan, Yoga menyarankan agar mandi terlebih dahulu. Kamipun mampir di Sumber Dewi Kunti untuk mandi. Pada saat mandi, tiba-tiba, Ali nyeletuk kepadaku, “Pi, tadi kamu lari dari petilasan ke tenda ya, telanjang begitu?”
“Lha iya lah,” jawabku.“
“Lag gondal-gandol,“ sahut Budi Pras disambut geer oleh yang lainnya.
“Makanya, jadi orang jangan nyonyo,“ sahut Rosi kemudian.
“Masak ditempat seperti ini ada wanita cantik, kalau bukan hantu penjaga air Sumber Dewi Kunti, ya pasti kuntilanak,“ kata Ali sambil bergegas naik dari air sumber Dewi kunti dan berlari turun gunung.

Tanpa dikomando, aku, Yoga, Rosi dan Budi Pras pun melakukan hal yang sama. Yaitu, berlari keluar sumber dengan bertelanjang. Jadilah kami berlima bergondal-gandul ria, lari menjahui sumber Dewi Kunti, turun menuju perkampungan.***

Herman Pii
Pendaki Surabaya

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...