REKAYOREK.ID Surabaya memiliki sumber sumber sejarah yang otentik. Sumber sumber itu menceritakan keberadaan Surabaya pada ratusan tahun yang lalu. Sumber sumber apakah itu? Ini yang harus diketahui oleh rakyat Surabaya.
Prasasti Canggu atau Trowulan I (1358 M)
Dalam prasasti ini, nama dan lokasi Surabaya terdeskripsikan dengan jelas.
Nama Surabaya tertulis dalam aksara Jawa Kuna, yang jika ditulis dalam aksara latin menjadi Syurabhaya.

Surabaya (Syurabhaya) adalah salah satu dari desa-desa di tepian sungai (naditira pradesa) yang menyediakan jasa penyeberangan atau tambangan (anambangi). Karenanya, Syurabhaya dicatat ke dalam prasasti oleh Raja Hayam Wuruk (1350-1389).
Prasasti itu bernama Canggu. Prasasti Canggu adalah piagam kerajaan, yang berisi tentang peningkatan status desa-desa penyeberangan di seluruh Mandala Jawa dan aturan-aturan yang ditetapkan berkenaan dengan aktivitas penyeberangan yang dilakukan.
Prasasti ini terbuat dari tembaga, bentuknya lempeng persegi panjang dengan ukuran 36.5 x 10,5 cm. Prasasti Canggu ditulisi dengan baris kalimat pada dua sisi (depan dan belakang) lempeng.
Lempeng dimana nama Syurabhaya ditulis adalah lempeng ke-5. Ketika pertama kali ditemukan, prasasti ini terdiri dari 5 lempeng, yaitu lempeng 1,3, 5, 9. (E.54 a-d) dan 10 (E.36).
Nama Syurabhaya diketahui tertulis sebagai berikut:
“i bukul, °i syurabhaya, muwa? prakarani? naditira pradesa sthanani?-anamba?i,
(….di Bungkul, di Surabaya, semua desa-desa ditepi sungai tempat perahu penyeberangan tambangan.).
Prasasti Canggu diketahui disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Sebuah penelusuran untuk memastikan keberadaan itu mulai dilakukan pada November 2022 dan baru mendapatkan konfirmasi dari pihak Museum Nasional pada Maret 2023.
Jelas sekali bahwa Prasasti Canggu ada dan disimpan di Museum Nasional Indonesia Jakarta.
Kitab Negarakertagama (1356 M)
Kitab Negara Kertagama adalah sumber sejarah yang dapat mendeskripsikan keberadaan Surabaya bahwa Surabaya berada tidak jauh dari laut atau berada di hilir sungai.

Kitab ini sendiri merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit dalam bidang sastra, yang ditulis oleh Mpu Prapanca dan selanjutnya menjadi sumber sejarah yang begitu dipercaya.
Naskah kitab ini ditulis dalam Bahasa Kawi pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September – Oktober 1365 Masehi) di era Prabu Hayam Wuruk.. Oleh Mpu Prapanca, kitab ini juga disebut sebagai Desawarnana, yang berarti tulisan tentang daerah daerah Majapahit.
Kitab ini diketemukan oleh JLA Brandes, saat Belanda menyerang Lombok. Saat istana dibakar pada penyerbuan tersebut, Brandes menyelamatkan naskah Kitab Negarakertagama ini.
Kitab yang menceritakan banyak hal tentang Kerajaan Majapahit ini, salah satunya menceritakan perjalanan Prabu Hayam Wuruk berkeliling wilayahnya, termasuk ke Jenggala dan Surabaya.
“Yan ring Janggala lot shaba nepati ring Syurabhaya manurus mare Buwun”,
Artinya kalau di Jenggala (Hayam Wuruk) selalu singgah di Surabaya, kemudian meneruskan ke Buwun. (Kakawin Nagarakretagama, pupuh 17: 5c-d).
Buwun diduga suatu tempat di seberang lautan yang kini bernama Bawean dan juga ada yang menduga suatu daerah di wilayah Jenggala, yaitu Kebowan.
Buku Ying-Yai Sheng-Lan (1433)
Buku Ying-Yai Sheng-Lan adalah kumpulan catatan Mahuan, juru tulis Laksamana Cheng Ho, yang ditulis ketika menyertai Laksamana Cheng Ho dalam ekspedisinya dari Cina ke Majapahit pada 1433 M.

Dalam catatan itu, Surabaya adalah salah satu tempat yang disinggahi sebelum sampai di Majapahit. Ia mengisahkan ekspedisinya bahwa sesampainya Armada (kapal kapal besar) di pelabuhan laut Tuban, selanjutnya dari Tu-pan (Tuban) berlayar ke timur Jawa, lalu ke tenggara-selatan melewati Chi-li-shih (Gresik) dan sampailah di Su-lu-ma-i (Surabaya), tempat dimana armada berhenti selama sekitar empat bulan, antara bulan Maret dan Juli.
Dari Surabaya Cheng Ho naik perahu (sekoci) menyusuri Pa Tsih Kan (Kali Mas/Kali Surabaya) hingga sampai ke Chang-ku (Canggu), dan dari sana ia melakukan perjalanan darat ke Man-che-po-i (Majapahit).
Dari deskripsi ekspedisi ini, diketahui bahwa Surabaya berada di dekat laut besar atau di hilir sungai. Hanya perahu perahu kecil (sekoci) yang bisa menyusuri sungai (Kalimas) yang menjadi tumpangan Laksamana Cheng Ho beserta rombongan untuk menuju ke Majapahit.
Jadi sumber sumber sejarah otentik itu adalah Prasasti Canggu (1358), Kitab Negarakertagama (1365) dan Ying-Yai Sheng-Lan (1433).@PAR/nng