Jangan Kambing Hitamkan Aksara Latin Atas Mati Surinya Aksara Jawa
REKAYOREK.ID Sudah jamak terdengar ucapan dan kabar, yang mengatakan mengenai hilangnya (mati surinya) aksara Jawa karena masuknya bangsa Eropa, yang membawa aksara Latin. Aksara Latin kemudian digunakan dalam berbagai bentuk produk tulis dalam kehidupan sehari hari baik dalam wujud buku, pamflet, reklame dan bentuk bentuk tulis lainnya.
Pertanyaannya adalah Apakah benar aksara Jawa mati karena aksara Latin? Awas, jangan cari kambing hitam.
Waktu lampau memang sudah berlalu. Kini kita ada pada waktu sekarang yang akan berjalan dan mengisi waktu mendatang.
Padahal kalau kita lihat, justru di era kolonial produk produk terkait dengan aksara Jawa sangat kental. Selain masih digunakan kala itu, alat untuk mencetak materi beraksara Jawa juga banyak.
Bahkan mesin cetak dan mesin ketik beraksara jawa diproduksi di Belanda. Contohnya di kota Amsterdam. Di kota ini ada Lettergieterij Amsterdam, salah satu perusahaan huruf (aksara) paling berpengaruh asal Belanda, yang menghasilkan sejumlah rancangan huruf orisinal di awal abad ke-20.
Kantor kantor Perwakilan Hindia Belanda (kini Indonesia) kala itu didirikan pada 1919 dan memiliki dua cabang, yakni di Jakarta dan Surabaya. Di Indonesia bernama NV. Lettergieterij Amsterdam. Ini merupakan perusahaan yang berfokus pada impor dan distribusi mesin cetak/grafis beraksara Jawa.
Lettergieterij Amsterdam memang merupakan pemasok mesin cetak terbesar di Indonesia pada masa itu. Setelah kemerdekaan Indonesia, Lettergieterij Amsterdam dinasionalisasi dan menjadi milik negara. Perusahaan ini bersama empat perusahaan lain yang dileburkan menjadi P.N. Sinar Bhakti pada tahun 1960.
Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi P.N. Dharma Niaga pada 1964. Pada tahun 1970, P.N. Dharma Niaga berubah bentuk badan usaha menjadi P.T. Dharma Niaga. Pada tahun 2003, PT. Dharma Niaga, PT. Tjipta Niaga dan PT. Pantja Niaga digabungkan menjadi satu perusahaan bernama PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia.
Tak heran bahwa di masa Hindia Belanda, sebelum Indonesia merdeka tahun 1945, masih dijumpai produk produk beraksara Jawa. Ada buku, majalah, reklame, koran dan plakard plakard. Betapa kebijakan kala itu masih memikirkan masyarakat yang tidak bisa membaca aksara Latin. Maka aksara Jawa menjadi alatnya.
Tapi anehnya semakin bangsa ini merdeka dan bebas dari penjajahan, penggunaan aksara Jawa semakin hilang. Mestinya bangsa ini semakin bebas dan merdeka bisa menggunakan aksaranya sendiri. Tetapi mengapa menjadi mati?
Pegiat sejarah klasik Tepe Wijoyo memperhatikan salah satu dari produk beraksara Jawa, yang masih bisa ditemui di beberapa tempat di Surabaya. Yaitu plakard peringatan atas bahaya listrik.
Plakard Elestrik ANIEM
Pada masa Kolonial Belanda, cara pemerintah kolonial saat itu berkomunikasi dengan masyarakat pribumi, selain menggunakan bahasa Belanda, juga menggunakan bahasa lokal. Dan tentunya hal ini berpengaruh pada ketika pemerintah kolonial memberikan informasi terkait pengumuman yang ditujukan kepada masyarakat khalayak umum.
Pemerintah kolonial selain menggunakan tulisan latin berbahasa Belanda dan berbahasa Melayu, pemerintah kolonial juga menyertakan tulisan lokal yaitu “Carakan Jawa” dan berbahasa Jawa. Hal ini dengan alasan karena pada saat itu banyak kalangan masyarakat pribumi (inlander) yang tidak bisa baca tulis huruf “Latin”. Dan masyarakat banyak yang belum paham akan bahasa Belanda.
Kalangan Masyarakat pribumi saat itu hanya bisa baca tulis aksara “Carakan Jawa” dan bahkan masyarakat yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren sangat bisa dalam penggunaan aksara “Pegon” (aksara Jawi + Arab).
Berikut salah satu contoh informasi yang dibuat pemerintah kolonial saat itu, dengan menggunakan huruf latin berbahasa Belanda & Melayu, serta menggunakan aksara Carakan Jawa dan berbahasa Jawa.
Pada plakat petunjuk informasi yang dibuat perusahaan listrik masa kolonial, ANIEM (Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteits-Maatschappij), sebagai berikut :
Sing Ngěmèk Mati
Kebangkitan Aksara
Saatnya bangkit kembali menggunakan aksara sendiri karena sudah tidak ada lagi embel embel bangsa Asing. Justru kita harus berani bertarung dengan aksara asing dengan menggunakan perisai aksara lokal, diantaranya Aksara Jawa.
Jangan salahkan aksara asing yang masuk ke rumah kita Nusantara, jika justru aksara kita yang mati dan tergilas oleh aksara asing. Sekarang Aksara asing itu tidak hanya Latin Eropa saja, tetapi ada misalnya Hanzi China, Kanji Jepang, Hangeul Korea, Thai Thailand dan bahkan Hindi India.
Maka kita harus bisa introspeksi diri apakah kita masih menggunakan aksara sendiri? Kalau kita sebagai warga negara, yang mengaku memiliki aksara asli dan itu adalah identitas bangsa, maka kita yang total salah jika tidak menggunakannya. Jangan menyalahkan aksara Latin dan menyalahkan bangsa lain.
Semua stakeholder di bumi merdeka ini bertanggung jawab atas hidup dan matinya aksara lokal Jawa. Jangan selalu bersembunyi di balik masuknya aksara Latin, yang dibuat alasan menjadi penyebab semakin hilangnya aksara Jawa.
Pemerintah kota Surabaya bersama semua pihak, yang masih peduli terhadap aksara Jawa sebagai identitas bangsa, sudah mulai melakukan upaya penyelamatan, perlindungan dan pelestarian aksara Jawa sebagai upaya memajukan kebudayaan.
Jangan lagi mengkambing hitamkan aksara Latin (Eropa) atas semakin matinya (mati suri) aksara lokal Jawa. Tapi tanyakan pada diri kita sendiri apa yang kita perbuat demi penyelamatan identitas bangsa ini.@PAR/nng