Charles Dickens Sindir Keras Yusril Ihza dan Moeldoko
Oleh: Asyari Usman
UNTUK apa Yusril Ihza Mahendra (YIM) menggugat AD/ART Patai Demokrat (PD) ke Mahkamah Agung (MA)? Apa tujuannya? Apa yang dia dapat? Mengapa itu tidak dia lakukan terhadap partai-partai politik lainnya?
Pastilah repot Pak Yusril menjawab pertanyaan-pertayaan ini. Mengapa kerepotan? Karena langkah YIM menggugat AD/ART Demokrat adalah tindakan yang sangat aneh. Dan sangat mencurigakan.
Mencurigakan? Ya, sangat! Sebab, bagaimanapun juga setiap langkah yang mengusik PD menjadi sulit dilepaskan dari Moeldoko –Kepala Staf Presiden (KSP). Dan, faktanya, YIM mengaku dia ditunjuk oleh orang-orang Moeldoko untuk menggugat AD/ART Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Pak Yusril mengatakan gugatan ini akan membuat praktik demokrasi di Indonesia menjadi sehat. Pertanyaannya: mengapa harus dimulai dari AD/ART Demokrat AHY? Mengapa tidak dimulai dari partai terbesar lebih dulu, yaitu PDIP? Padahal, AD/ART PDIP malah banyak yang bertentangan tidak hanya dengan praktik demokrasi tetapi juga sangat mungkin bertentangan dengan UUD 1945.
Apa pun yang dijadikan alasan oleh YIM, saya yakin seribu persen bahwa gugatan terhadap AD/ART Demokrat ini masih dalam rangkaian upaya untuk menyingkirkan AHY dari posisi ketua umum “Merci”. Lebih mengerucut lagi, saya yakin gugatan ini bukan untuk menyehatkan praktik demokrasi di tubuh PD melainkan untuk merintiskan jalan baru bagi Moeldoko dalam upaya merebut partai Pak Beye itu.
Itulah tujuan Yusril yang sesungguhnya. Omong kosong untuk kemaslahatan demokrasi Indonesia. Yusril tidak perlu pura-pura lupa bahwa Jokowi sendiri melakukan pencurangan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Mana gugatan Yusril? Mohon maaf, ketika gugatan terhadap kecurangan Pilpres 2019 tempohari didukung dan dibela oleh rakyat, Pak Yusril malah berada di kubu Jokowi. Dia ikut mempertahankan dugaan kuat kecurangan itu.
Kembali ke gugatan terhadap AD/ART Demokrat AHY, hampir pasti langkah Pak Yusril itu dilatarbelakangi oleh “motif besar”. Pasti sangat besar. Motif besar itu menjadi dorongan ecstatic yang membangkitkan semangat juang Pak Yusril. Kebetulan sekali, Moeldoko mampu memberikan “motif besar” itu. Karena Pak Moeldoko memang memiliki “motif super besar”.
Pak Yusril membanggakan gugatan ini. Yang pertama di Indonesia. Gugatan AD/ART partai politik (parpol). Kata Yusril, MA harus membuat terobosan karena tidak ada lembaga yang bisa melakukan uji formil dan materiil terhadap AD/ART parpol.
Mulia sekali tujuan Pak Yusril. Yaitu, untuk memperbaiki pengelolaan parpol-parpol di masa yang akan datang. Supaya parpol tidak menjadi alat untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok kecil. Agar parpol hadir dan berkiprah untuk rakyat.
Yang menjadi masalah adalah titik berangkat misi Pak Yusril ini. Mengapa Partai Demokrat? Bukankah mantan Menteri Hukum ini tahu bahwa Demokrat pernah mau diambil paksa oleh Moeldoko?
Tentu publik akan menilai bahwa Pak Yusril, dalam gugatan ini, akan lebih banyak menampilkan profesinya sebagai lawyer (advokat) ketimbang sebagai seorang warga negara yang prihatin terhadap pengelolaan parpol. Artinya, akad antara Yusril dan Moeldoko tidaklah seperti bakti YLBHI untuk orang-orang lemah. Sebab, Moeldoko adalah orang kuat. Kuat posisi dan kuat dari segi likuiditas.
Sehingga, gugatan ini tidak dapat menghindar dari sindiran penulis dan kritikus sosial Inggris, Charles Dickens, bahwa: “If there were no bad people, there would be no good lawyers”.
“Andaikata tak ada orang-orang brengsek, tidak akan ada pengacara yang hebat-hebat.”[]
*) Penulis wartawan senior