Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #40

Bertemu Iksan  

Oleh: Jendra Wiswara

Aisyah bertanya pada Nunuk, apakah ingin bertemu Muhammad. Perempuan bahu laweyan itu menjawab iya. Namun khusus Muhammad, Nunuk yakin anaknya itu tidak akan mengenalinya seperti Aisyah dan Fatimah. Sebab sewaktu berpisah, Muhammad masih berumur 2 tahun.

Jadi, Nunuk ingin bertemu dulu dengan mantan suaminya. Mungkin setelah bertemu Iksan, Muhammad bisa diberi penjelasan soal sosok ibunya.

“Sebenarnya ibu mau bertemu dulu dengan ayahmu. Itu jika kalian tidak keberatan,” kata Nunuk, sementara Fatimah masih menggelayut manja pada ibunya.

“Iya bu. Sekarang ayah masih mengajar di kelas santri putra. Kalau Dik Ahmad (Muhammad) masih di sekolah. Apa perlu Aisyah panggilkan ayah?” Tanya Aisyah.

“Boleh.”

Aisyah lalu mengajak Fatimah. Namun adiknya itu enggan mengikuti ajakan kakaknya. Tampaknya dia masih ingin berlama-lama dengan ibunya.

Aisyah tetap memaksa adiknya.

“Dik, ayo temani Mbak. Di sana banyak santri putra. Mbak malu.”

Dengan terpaksa Fatimah mengikuti langkah Aisyah.

Melihat dua anak gadisnya yang sudah remaja, pikiran Nunuk mengembara ke mana-mana. Peristiwa suram di masa lalu, rupanya telah mengubah banyak hal pada kedua anak tersebut. Melihat wajah Aisyah dan Fatimah seperti mengesankan wajah bidadari. Mereka muda, ceria, dan cantik tiada tara.

Semua yang dilahirkan memulai hidupnya tanpa mempunyai sesuatu kecuali tubuhnya. Sebaliknya, orang yang lalai, akan melalui harinya dengan memikirkan apa yang harus ia lakukan. Sedangkan orang yang mau menggunakan akalnya, akan merenungkan apa yang dilakukan Allah terhadap dirinya.

Senyum Nunuk merekah. Seperti mengabarkan pada dunia bahwa pertolongan Allah adalah sesuai dengan persiapan, sedangkan turunnya cahaya Allah adalah sesuai dengan kejernihan relung hati.

Tak pernah Nunuk merasa sebahagia dan sebaik sekarang.

Kini, Nunuk tak marah lagi pada keadaan. Dia mulai dapat membacai satu persatu keadaan. Sebagaimana yang pernah disampaikan Sahid, Allah menyuruh manusia untuk memperhatikan alam ciptaanNya, dan kelak di akhirat Dia akan memperlihatkan kepadamu akan kesempurnaan DzatNya. Namun banyak orang bersungguh-sungguh dalam berdoa, tapi kemudian mereka berputus asa hanya karena doanya belum terkabul. Padahal Allah sesuai janjinya, jika mau bersabar maka Allah memperlihatkan akan kepadanya apa yang berasal dariNya.

Ya, alam ini bisa menjadi serba gelap, itu juga karena yang menjalani. Dan menjadi terang hanyalah karena menifestasi (zhahir) Allah di dalamnya. Siapa melihat alam, namun tidak menyaksikan Allah di dalam atau bersamanya, sebelum atau sesudahnya, maka ia sangat memerlukan cahaya, dan surya makrifat terhalang baginya oleh awan benda-benda alam.

Sesungguhnya yang merisaukan manusia hanyalah karena mereka belum melihat Allah dalam segala sesuatu. Kalau mereka telah melihatNya dalam segala sesuatu, maka mereka tidak akan merasa risau dalam semua hal.

Karena itu kesabaran manusia tidak ada batasannya. Dan kesabaran itu harus dipelihara dengan wirid terus menerus hingga melahirkan warid (karunia). Wirid memang akan lenyap saat dunia lenyap. Akan tetapi warid akan berkelanjutan hingga akhirat. Wirid adalah apa yang Allah minta darimu, sedangkan warid adalah apa yang engkau minta dariNya.

Dari kejauhan Nunuk melihat dua anak gadisnya kembali padanya. Sesampai dekat, Fatimah kembali merajut manja ke ibunya.

“Bagaimana, Nak?” Tanya Nunuk.

“Sebentar lagi ayah kemari, Bu.”

“Bagaimana kabar dia?”

“Alhamdulillah, ayah baik-baik saja. Beliau tadi juga menelpon guru di madrasah agar mengijinkan Ahmad pulang.”

“Kalau begitu kita tunggu saja di sini.”

***

Kembali Nunuk dan kedua buah hatinya bercengkrama satu sama lain. Cerita-cerita Aisyah dan Fatimah selama di pondok lebih mengesankan Nunuk. Perempuan bahu laweyan itu lebih banyak diam. Pikirannya mulai menterjemahkan satu persatu cerita anak-anaknya. Begitulah kurang lebih.

Saat ditanya apakah Aisyah dan Fatimah betah di pondok. Keduanya sama-sama mengangguk. Aisyah menceritakan bagaimana dia harus bangun Subuh untuk memulai rutinitasnya. Selepas Subuh, dia harus memasak. Kadang dibantu Fatimah.

Meski tinggal bersama ayahnya di kompleks pondok, mereka tetap menjalani kehidupannya sendiri-sendiri. Aisyah dan Fatimah tidak dibeda-bedakan. Keduanya tidur di asrama putri bersama santriwati lain. Berbeda dengan Muhammad yang hingga kini masih tinggal dan tidur bersama ayahnya. Selain usianya masih muda, Muhammad juga belum mandiri seperti kakak-kakak perempuannya.

Tak ada raut kekecewaan di wajah mereka. Setidaknya pondok pesantren telah membentuk jiwa-jiwa mereka. Dan kehidupan itulah yang telah membiak dalam diri mereka.

“Saya tahu ada kalanya manusia jenuh dengan kehidupannya. Melihat Aisyah dan Fatimah, sepertinya tidak ada rasa jenuh pada dirinya. Mungkin ada. Tapi mereka mampu melaluinya. Allah telah menjadikan beraneka wujud ketaatan pada anak-anak. Allah tahu bahwa manusia memiliki sifat serakah. Maka Dia membatasinya dengan ketaatan pada waktu-waktu tertentu, agar perhatiannya tertuju pada kesempurnaan ibadah.”

Saat-saat yang ditunggu tiba.

Fatimah menarik lengan ibunya mengabarkan ayahnya sedang berjalan mendekat, “Bu, itu ayah!”

Dari arah Selatan, sesosok laki-laki berjalan dengan gontai. Mata itu, ah, mata itu dulu yang pernah membuat hati Nunuk terbakar. Matanya sangat tajam. Meski sudah tidak tidak lagi muda, tapi ketampanannya tidak surut sedikitpun. Itulah Iksan. Laki-laki itu pernah masuk dalam kehidupan Nunuk. Sangat lama. Sampai bertahun-tahun. Bahkan mereka sampai dikaruniai tiga anak.

Iksan menjadi bukti hidup Nunuk yang saat itu dikelilingi kegelapan. Dan laki-laki itu mampu menerobos kegelapan tersebut. Mengangkatnya dari kegelapan menuju jalan terang.

Bertahun-tahun Nunuk mengabdi pada Iksan. Patuh padanya. Sebagai seorang istri. Sebagai seorang ibu dari anak-anaknya. Karenanya tidak mungkin dia melupakan sosoknya begitu saja. Disadari atau tidak disadar, laki-laki telah menjadi bagian dari hidupnya.

Makin dekat Iksan padanya, perasaan Nunuk makin sulit dibohongi. Perasaan sama saat dulu Iksan pertama kali melamarnya. Perasaan yang telah membuyarkan alam pikirnya. Masuk ke dalam relung hati terdalam.

Tak kuasa Nunuk menggerakkan lidahnya. Susah menyampaikan sesuatu. Bahwa dia sebenarnya ingin mengucap perasaan rindu masa-masa itu. Bahwa dia pernah mencintainya seolah-olah suaminya adalah miliknya seorang.

Namun buru-buru Nunuk menangkisnya. Iksan memang bagian dari hidupnya sekaligus masa lalu. Sekarang Nunuk berstatus istri orang.

“Tidak, aku masih istri Sahid,” batinnya.

Begitu Iksan berdiri di hadapannya, laki-laki itu tersenyum ramah. Wajah Nunuk nampak kemerahan seperti gadis tak berpengalaman.

“Assalamualaikum,” Iksan uluk salam.

“Waalaikumsalam,” balas Nunuk dan dibalas bapaknya.

Iksan lantas mencium tangan bapaknya Nunuk. Tapi tidak mengulurkan tangan pada mantan istrinya. Laki-laki itu hanya menyatukan kedua telapak tangannya, bersikap layaknya orang semedi. Sikap itu dilakukan Iksan karena Nunuk bukan lagi istrinya. Tak bisa dia berbuat semaunya seperti dulu lagi.

“Mas,” sapan Nunuk singkat dengan malu-malu.

“Dik, apa kabarmu?”

“Baik, Mas!”

“Kamu ke sini, Dik!”

Seruan Iksan menyiratkan sebuah pertanyaan atas kesepakatan yang pernah mereka buat. Kesepakatan itu adalah tidak bertemu dengan anak-anak sebelum Nunuk terbebas dari Gendro Swara Pati.

“Iya, Mas. Aku sudah di sini,” jawab Nunuk.

“Kamu sudah bertemu dengannya (Sahid)?”

Nunuk mengangguk.

“Alhamdulillah.”

“Alhamdulillah juga Mas.”

“Sekarang dia di mana?”

“Aku sedang mencarinya, Mas!”

Iksan membalas dengan senyum. Kata-kata penuh isyarat itu hanya mampu dipahami oleh keduanya. Sementara Aisyah dan Fatimah nampak kebingungan dengan bahasa orangtuanya.

“Apa yang ayah dan ibu katakan. Aku tidak paham!” Seru Aisyah.

“Kami sedang membicarakan masa lalu saja, Nak,” jawab Nunuk.

Tanpa sadar melintas seorang anak laki-laki di depan Nunuk. Dia mencium tangan ayahnya. Lalu ganti ke tangan kakeknya. Kemudian beralih ke kakak-kakak perempuannya.

“Kakek, kenapa lama tidak kemari. Apa kakek bawa oleh-oleh buat aku?” Tanya anak tersebut, tak lain Muhammad.

“Nanti kita jajan di luar. Ahmad mau apa?” Tanya sang kakek.

“Pokoknya ada deh,” sahut Muhammad manja.

Nunuk berkata lirih pada Iksan untuk memastikan, “Apakah dia Muhammad?”

Iksan mengangguk.

Sama halnya dengan sang ayah, Muhammad tidak menyalami tangan Nunuk. Dia hanya mengapurancang pada sosok perempuan di hadapannya. Mungkin dianggapnya Nunuk adalah orang asing.

“Tole, ayo salam ke ibu!” Perintah Iksan pada Muhammad.

“Maksudnya ibu, Yah!” Muhammad penasaran.

“Iya ibu. Ini adalah ibumu, Tole. Dia yang dulu melahirkanmu.”

“Apa benar, Yah. Mbak…?” Muhammad memastikan pada ayahnya dan mengalihkan pandangan ke kakak-kakak perempuannya.

“Iya Mad. Beliau adalah ibu kita,” balas Aisyah diamini Fatimah, “Iya Mad.”

“Kau dulu masih kecil saat berpisah dengan ibu. Jadi kau tidak mungkin ingat dengan ibumu,” jawab Iksan.

Tanpa pikir panjang Muhammad langsung mencium tangan ibunya seraya memeluknya.

“Alhamdulillah, akhirnya ibu bisa bertemu denganmu, Nak!” Sebut Nunuk.

“Alhamdulillah, akhirnya ibu Muhammad kembali,” sahutnya.

Di mata Nunuk, Iksan tetaplah Iksan. Tidak berubah sedikitpun. Tetap menjadi pribadi yang baik. Sementara anak-anaknya, ya, Nunuk melihat banyak perubahan pada diri mereka. Mereka tak lagi seperti anak kecil. Iksan dan guru-guru pondok telah mengajarkan mereka hidup mandiri.

Seiring perjalanan waktu, yang namanya perubahan pastilah ada. Tentu semua perubahan berdasarkan kebutuhan. Ya, kebutuhan yang satu akan melahirkan kebutuhan yang lain. Begitulah kehidupan. Yang tadi dianggapnya pegangan kokoh, kuat, terpercaya, ada kalanya roboh. Inilah tragedi kehidupan. Itulah yang dialami Iksan dan Nunuk.

Dalam kehidupan orang akan menjadi kuat karena ada seseorang di sampingnya. Demikian pula orang akan menjadi rapuh karena seseorang di sampingnya.

Dari pertemuan itu, baik Nunuk maupun Iksan sepertinya tidak sabar untuk membicarakan banyak hal. Nunuk soal kehidupan yang dijalani selama 6 tahun di hutan hingga bertemu Sahid. Dan Iksan dengan cerita luar biasa anak-anaknya selama di pondok pesantren. [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...