Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kiai Mahfudz Termas, Pewaris Terakhir Hadist Bukhori #2

Sanad Turun ke Kiai Hasyim Asy’ari

REKAYOREK.ID Kiai Mahfudz memang memiliki karya khusus yang mencatat semua sanad dari setiap ilmu yang beliau pelajari.

Kumpulan sanad tersebut terdapat dalam karyanya yang berjudul Kifayah al Mustafid.

Wajar jika dia sangat termashur.

Karena menguasai disiplin ilmu itulah, sehingga Syeikh Yasin bin Isa Al Fadani Al-makki (1917-1991) memberinya gelar kehormatan Kiai Mahfudz sebagai alamah (seorang alim) muhaddist (ahli hadist), musaid (mata rantai sanad hadist), faqih (ahli fiqih), dan muqri (ahli qira’ati) serta mursyid thariqat syadizliyah.

Tidak hanya itu, dia juga dikenal sebagai ulama mullaif (pengarang kitab) yang produktif untuk disiplin ilmu keislamaan monumental dan bermutu tinggi.

Ketika sedang asyik mendalami ilmu-ilmu keislamaan di Tanah Suci, ayahandanya yang sudah uzur sempat memanggilnya untuk pulang bersama Kiai Dimyathi, adiknya dan rekan belajarnya Kiai Kholil Bangkalan. Namun beliau malah menyuruh adiknya pulang kampung untuk meneruskan kepemimpinan di pesantren Tremas dan minta izin ayahnya untuk melanjutkan tugas belajarnya di Mekkah.

Kiai Mahfudz semakin bertambah ilmunya. Dalam menuntut ilmu, beliau benar-benar bermujahadah dengan terjaga di malam hari, hingga terlihat kelebihan beliau dalam hadits dan ilmu-ilmunya, juga menguasai fiqih dan ushulnya, serta ilmu qira’at. Sehingga para gurunya memberikan izin untuk mengajar.

Kiai Mahfudz mengajar di Bab As Shafa Masjid Al Haram dan di rumah tempat beliau tinggal. Kiai Mahfudz mulai mengajar di Masjid al Haram sejak tahun 1890 M.

Selain keilmuannya yang diakui dunia, beliau juga menjadi kebanggaan bangsa. Dengan kualitas keilmuan yang berkaliber Internasional dan menjadi guru besar serta pengajar tetap di Masjid al Haram, ada satu hal yang dianggap sebagai kemajuan dari perkembangan Islam di Nusantara, yakni adanya parameter yang menjadi konfrensi para ulama yaitu para pelajar di Mekkah baru dianggap berhasil menyempurnakan keilmuannya, apabila ia telah memperoleh tarbiah dari para ulama-ulama masyhur tersebut.

Potret ulama Nusantara yang bersanad dan memiliki periwayatan dengan ulama besar di Mekkah. Foto: Ist

 

Sedang metode belajar yang digunankan dalam proses kegiatan keilmuan di Masjid al Haram adalah metode halaqah, yaitu murid-murid duduk mengelilingi guru atau orang yang berilmu. Metode halaqah telah ditetapkan sebagai metode belajar yang utama dalam proses keilmuan di Masjid al Haram.

Kegiatan halaqah diselenggarakan setiap hari setelah shalat Subuh, Ashar, Maghrib dan Isya. Selama siang kegiatan keilmuan berpindah ke madrasah sekitar Masjid al Haram. Dalam hal ini Kiai Mahfudz mengajarkan perbandingan hadist dan ulum al hadist, yang merupakan bidangnya.

Ada pula beberapa macam-macam metode yang digunakan dalam proses keilmuan. Pertama, guru membaca kemudian menjelaskan. Kedua, guru membaca kemudian murid menjelaskan. Ketiga, murid membaca di hadapan guru lalu sang guru memberikan koreksi terhadap bacaan murid. Dalam ketiga metode tersebut juga dilakukan tanya jawab antara guru dan murid.

Kiai Mahfudz memang memiliki ciri khas tersendiri dalam mengkaji ilmu yang diajarkannya. Beliau sering kali menggunakan bahasa Arab yang fuskha (fasih) sebagai pengantar dan diselingi dengan bahasa Jawa.

Hal ini tidak lepas banyaknya santri atau murid yang mengkaji kitab bersama Kiai Mahfudz adalah orang Jawa, meskipun banyak juga santri atau murid berasal dari luar Jawa, bahkan luar negeri seperti India, Thailand, Syiria, Malaysia.

Kiai Mahfudz dikenal sebagai guru yang menarik dan memiliki pengikut sekitar 4.000 orang dari berbagai penjuru dunia. Angka tersebut didasarkan pada rentang waktu di mana beliau mengajar di Masjidil Haram, yang berjalan secara efektif sejak awal tahun 1890M hingga abad XX.

Kiai Mahfudz merupakan ulama yang tingkat keilmuannya diakui oleh dunia Islam. Bukti diakuinya adalah dengan banyaknya murid atau santri yang berdatangan untuk belajar kepada beliau. Murid atau santrinya tidak hanya berasal dari tanah air Indonesia saja, tetapi juga luar negeri. Hal ini dikarenakan minat belajar dari para pemuda Asia tenggara untuk belajar di Haramain cukup tinggi.

Sanad ulama Nusantara melalui Kiai Mahfudz sebagai generasi ke-23 penerima Shahih Bukhori. Foto: Ist

 

Menjadi kebanggaan mukmin al-Jawi sebagai imam dan guru, beliau diakui sebagai gurunya para ulama nusantara saat mereka belajar di tanah suci. Jaringan transmisi ilmu pengetahuan berskala dunia ini telah menaikkan reputasi Kiai Mahfudz.

Kemasyhurannya menjadi mitos yang mengakar kuat dalam masyarakat. Lebih penting lagi, para ulama dan pemimpin pesantren berpengaruh memperoleh manfaat besar dari ajaran-ajarannya.

Sebagai isnad (mata rantai) yang sah dalam transisi intelektual Hadist Shahih Bukhori, Kiai Mahfudz memberikan ijazahnya kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Ijazah tersebut berasal langsung dari Imam Bukhori sendiri yang ditulis sekitar 1000 tahun yang lalu dan diserahkan secara berantai melalui 23 generasi ulama yang telah menguasai Shahih Bukhori. Dan, Kiai Mahfudz termasuk generasi ke-23 sekaligus pewaris terakhir Shahih Bukhori.

Adapun ulama ke 24 yang berhak menyampaikan Shahih Bukhori yang memenuhi kelayakan dipercayakan kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Kepada para santrinya, Kiai Hasyim Asy’ari kerap memberikan saran untuk menemui langsung Kiai Mahfudz di Mekkah bila ingin belajar hadist. Sebab Kiai Mahfudz adalah seorang guru Hadist yang telah mendunia. Para pakar dan pengajar di Universitas Al-Azhar Cairo menganggapnya sebagai salah satu syarh terbaik dalam nadzam ilmu atsar.

Tidak bisa dipungkiri Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut memang memiliki kedekatan cukup unik dengan Kiai Mafudz. Sebagai guru dan murid, Kiai Mahfudz lantas mewariskan kitab pribadinya sebagai kenang-kenangan kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Di antara pemberian Kiai Mahfudz kepada Kiai Hasyim Asy’ari yaitu berupa kitab berjudul Hasyiyah al-Futuhat al-Ilahiyah ‘ala al-Jalalayn.

Pada halaman akhir kitab itu terdapat goresan tangan indah dan ungkapan doa Kiai Mahfudz saat menghatamkan kitab tafsir tersebut di bawah bimbingan gurunya, Sayyid Abi Bakar Syatha Makkah.

Kitab tersebut ditemukan di antara koleksi kitab milik Kiai Hasyim Asy’ari  di Pesantren Tebuireng Jombang.

Dari beliau lahirlah ulama-ulama hebat, baik yang berasal dari tanah Jawa maupun Arab. Mereka adalah Kiai Raden Dahlan As Samarani (Semarang), Kiai Muhammad Dimyathi At Tarmusi (Termas), Kiai Khalil Al Lasimi (Lasem), Kiai Muhammad Hasyim bin Asy’ari Al Jumbani (Jombang), Kiai Muhammad Faqih bin Abdi Al Jabbar Al Maskumbani (Maskumambang), Kiai Baidhawi, Kiai Abdu Al Muhaimin putra Abdul Aziz Al Lasimi, Kiai Nawawi Al Fasuruwani (Pasuruan), Kiai Abbas Buntet As Syirbuni (Cirebon), Kiai Abdul Muhith bin Ya’kub As Sidarjawi As Surabawi (Sidoarjo-Surabaya).

Kemudian ada As Syeikh Muhammad Al Baqir bin Nur Al Jukjawi (Jogja), Kiai Ma’shum bin Ahmad Al Lasimi (Lasem), Kiai Shiddiq bin Abdillah Al Lasimi (Lasem), Kiai Abdul Wahhab bin Hasbullah Al Jumbani (Jombang).

Sedangkan para ulama Arab yang mengambil periwayatan dari Kiai Mahfudz adalah Al Muhaddits Syeikh Habibullah As Syanqithi, Muhaddits Al Harmain As Syeikh Hamdan, Syeikh Ahmad Al Mukhalilati, Syeikh Umar bin Abi Bakr Ba Junaid Al Makki, Syeikh Muhammad Abdul Baqi Al Ayubi Al Laknawi.[bersambung]  

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...