Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Tukang Masak dan Rahasianya #3

Kuwalahan Memasak

Oleh: Noviyanto Aji

Mus menjadi pembantu rumah tangga di Tjan Cuk tahun 1940. Ada empat orang yang bertugas di rumah itu. Dua orang bertugas membersihkan rumah, dua lagi memasak.

Mus dan Bik Inah memperoleh bagian memasak.

Awalnya ia buta soal masakan. Sebagai gadis desa yang baru keluar dari peraduannya di Gresik, wajarlah jika pengetahuannya soal masakan sangat minim. Namun pengetahuan itu lambat laun terbangun dengan ketabahan Bik Inah yang bersedia untuk mengajarinya.

Dari yang awalnya sekedar bantu-bantu mengupas bumbu dan ngulek, Mus muda akhirnya menjadi mandiri dan berhasil menjadi tukang masak handal. Ia bukan cuma pandai memasak makanan Jawa, tapi juga China dan Eropa.

Sebaliknya pertentangan batin kembali dihadapkan padanya. Melihat ulah Belanda-Belanda itu, hati Mus bergolak dengan hebat.

Akibat pertentangan batin yang dialaminya bertahun-tahun di rumah Tjan Cuk, kemudian memunculkan sebuah pengajaran padanya bahwa untuk menghargai diri sendiri, ia harus bisa menghargai bangsanya.

Menjadi pejuang bukan cita-citanya, namun untuk merontokkan semua penjajah kolonial di negeri ini sudah masuk dalam agenda hidupnya.

Dalam sehari Mus bisa memasak hampir 50 piring dimana setiap piring terdapat 5-10 menu. Ini tentu bukan pekerjaan mudah.

Bersama Bik Inah, Mus bekerja dari pagi, siang dan malam. Padahal saat itu mereka hanya menerima gaji sebesar 5 sen. Sebuah pekerjaan yang benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Sementara hasil yang didapat tidak sepadan. Keduanya sempat kuwalahan.

Tanpa mengadu pada majikannya, Tjan Cuk memahami ketidakberdayaan kedua pembantunya itu. Berkali-kali Tjan Cuk berpesan kepada Mus dan Bik Inah.

“Kalian yang sabar. Saya tahu tugas kalian berat. Tapi saya sangat berharap bantuan kalian. Kalau ada apa-apa panggil saja saya. Dan seandainya ada pekerjaan kalian yang kurang, saya berjanji tidak akan menegur kalian. Saya janji akan selalu menjaga perasaan kalian.”

“Iya, Tuan!” Bik Inah manggut-manggut.

“Mus, bagaimana dengan kamu?” Tanya Tjan Cuk menepuk pundaknya.

“Tidak apa-apa Tuan. Saya ikhlas mbantu Tuan!” Sahut Mus.

“Terima kasih ya. Kalau kalian kuwalahan memasak, kalian minta bantuan Ijah dan Warti. Bilang saya yang menyuruh kalian.”

Injeh, Tuan.” Sahut Mus dan Bik Inah bersama-sama.

Keduanya kembali ke dapur. Akan tetapi tamu-tamu Tjan Cuk tak kunjung berkurang. Setiap hari tamu-tamu itu bisa mencapai 50 orang. Bahkan pernah ada yang sampai 100 orang.

Kalau sudah begini pekerjaan tidak bisa dilakukan berdua. Terpaksa Bik Inah meminta bantuan Ijah dan Warti yang job desk-nya hanya sebagai pembersih ruangan dan mencuci pakaian.

Dengan mereka berempat, pekerjaan sebenarnya bisa diselesaikan dengan cepat, hanya saja kemampuan mereka tetap terbatas. Semakin banyak tamu semakin berat pula tugas yang Mus emban.

“Cecunguk-cecunguk (sebutan Belanda) itu datang tiap hari. Tugas kami semakin berat. Aku kasihan dengan Bik Inah. Ia sudah tua. Tidak seharusnya bekerja terlalu berat. Pernah sampai Bik Inah pingsan karena kelelahan. Akhirnya tugas aku selesaikan sendiri, bertiga dengan Ijah dan Warti. Aku bahkan pernah memasak dalam satu panci besar untuk cecunguk-cecunguk itu. Enak mereka tinggal makan, sedang kami kesusahan tiap harinya.”

Beruntung Tjan Cuk sangat pengertian. Melihat rumahnya kerap dijadikan persinggahan, ia lantas mengadakan pengumuman yang berisi: tidak menerima tamu di hari Minggu.[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...