Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Tukang Masak dan Rahasianya #11

Pembunuhan Besar-besaran

Oleh: Noviyanto Aji

Waktu dua jam berlalu. Semua tamu sudah undur diri. Yang tertinggal Tjan Cuk dan keluarga. Karena racun dicampur berbarengan, sudah barang tentu Tjan Cuk dan keluarga ikut merasakannya.

Namun Bik Inah sudah memperhitungkannya, bahwa racun itu tidak akan langsung membunuh, hanya melumpuhkan saja.

Seandainya Tjan Cuk merasa kurang enak badan, ia cukup masuk kamar, tidur, dan esoknya akan kembali segar. Apalagi Bik Inah telah menyiapkan beberapa ramuan guna menangkal racun. Jika sewaktu-waktu Tjan Cuk kesakitan, Bik Inah cukup memberi ramuan, dan masalah akan beres.

“Benar, setelah 3 jam, Tuan Tjan Cuk merasakan perutnya mules. Kepalanya pening. Beruntung Bik Inah segera datang dan memberikan penawarnya. Kata Bik Inah, penawar itu adalah obat untuk penghilang flu. Tjan Cuk percaya. Sebab setelah minum racun dalam tubuhnya berhasil dinetralisir. Sementara tamu-tamu yang lain, entah bagaimana kabarnya. Kalau aku melihat bila dikaitkan waktu tiga jam saat majikanku merasakan sakit, sudah barang tentu saat ini mereka merasakan hal yang sama. Ini tugas Moenasan dan teman-teman untuk mengakhirinya.”

Esoknya berita pembunuhan kembali menghebohkan. Koran-koran memberitakan: TELAH TERJADI PEMBOENOEHAN BESAR-BESARAN. ORANG BELANDA DIBANTAI DENGAN SADIS.

Semua koran terbitan Belanda mengutuk aksi keji tersebut. Sementara koran lokal terbitan pribumi lebih obyektif dalam menyingkapi. Mereka tidak mengutuk atau menyalahkan pembunuhan tersebut. Kata koran lokal, pembunuhan itu terjadi karena sikap tidak puas rakyat terhadap pemerintah.

Isu ini seketika menjadi isu nasional. Beberapa orang yang terlibat di dalamnya diperiksa. Begitu juga para pribumi-pribumi yang memiliki kedekatan dengan korban diperiksa. Beberapa di antaranya malah langsung dijebloskan ke Kalisosok karena dituduh turut terlibat dalam pembunuhan.

Diduga pembunuhan tidak sekedar perampokan biasa melainkan sebelumnya sudah dirancang.

Pelakunya tentu tidak satu tapi banyak. Korban yang dibunuh saat itu mencapai 40 orang, yang kesemuanya adalah orang-orang Belanda.

Seperti biasa setelah korban dibunuh, semua hartanya dirampas. Namun mayat-mayat itu ditemukan tidak sekaligus. Beberapa diantaranya dilaporkan menghilang.

Maklum, sewaktu pembunuhan terjadi, mayat-mayat itu dibuang secara terpisah. Ini untuk meninggalkan jejak.

Dilaporkan korban menghilang 25 orang. Yang telah ditemukan sebanyak 15 orang. Korban yang ditemukan hampir semua menunjukkan tanda-tanda mengenaskan. Ada yang tubuhnya berlubang-lubang akibat tusukan sangkur, ada pula yang lehernya digorok, ada yang kepalanya dipukul hingga pecah, dan masih banyak lagi yang mengerikan.

Surabaya genting.

Puluhan serdadu Belanda dikerahkan untuk mengamankan sudut-sudut kota. Jam malam kembali diberlakukan. Mereka mencari gerombolan atau geng yang dipimpin Moenasan.

Namun apa yang terjadi, Moenasan dan teman-temannya justru menghilang seperti ditelan bumi. Pencarian tidak membuahkan hasil.

Jangankan hasil, para penyidik yang diutus menyelidikan kasus ini juga tidak menemukan bukti-bukti kuat. Mereka mengalami kebuntuan sebab pelaku yang dicari memang tidak ada.

Mereka ibarat mencari hantu di tengah rimba. Siapa dalang, siapa pelaku, mereka tidak tahu.

Apalagi di antara korban yang ditemukan terdapat komandan polisi yang beberapa waktu sebelumnya sempat mengancam Mus dan pembantu-pembantu.

Yah, cuma dia satu-satunya orang yang menaruh curiga, tapi kemudian dia ikut terbunuh. Maka, bukti-bukti yang mengarah pada kecurigaan Mus dan teman-temannya menguap.

Sejak itu geng Moenasan tidak lagi terdengar kabarnya. Masing-masing berpencar. Ada yang bersembunyi di kampung halaman. Ada yang bersembunyi di hutan. Bahkan ada yang memutuskan bergabung dengan pasukan Bung Tomo.

Sedang Moenasan, ada yang bilang dia bergabung dengan pasukan Kapten Djarot di bawah komando langsung Jendral Soedirman.

“Aku mendengar Moenasan dan teman-temannya berpencar. Kabar terakhir yang kudengar, Moenasan bergabung dengan orang kepercayaan Jendral Soedirman. Di antara orang-orang kepercayaan beliau adalah Kapten Djarot dan Basuki Rahmat. Moenasan memilih bergabung dengan Kapten Djarot.”

Sementara Mus dan teman-teman seprofesinya, sejak tragedi pembunuhan itu, mereka satu persatu memutuskan hengkang dari rumah Tjan Cuk.

Sebenarnya meski Mus tidak keluar dari rumah itu, tidak ada apa-apa. Toh, kecurigaan Belanda pada saat itu hanya mengarah pada pejuang-pejuang republik. Mereka sama sekali tidak menaruh curiga pada Mus dan teman-temannya.

Hanya saja Mus tahu bahwa cepat atau lambat rahasianya akan terbongkar. Jika masih berada di rumah itu, sewaktu-waktu Belanda akan menyisir tempat itu dan menangkap semua orang di dalamnya.

Mus tidak ingin itu terjadi.

Sikapnya adalah bentuk tindakan pencegahan sekaligus menghilangkan jejak seperti yang dilakukan Moenasan dan teman-temannya.

Dan ketika hendak pergi dari rumah itu, Tjan Cuk sempat melarangnya mengingat tenaga Mus masih sangat dibutuhkan. Akan tetapi tekad Mus sudah bulat.

Perempuan muda dan pemberani itu akhirnya keluar dari rumah Tjan Cuk tanpa meninggalkan suatu apapun, kecuali koper peyok berisi pakaian dan sisa-sisa perjuangan kepedulian anak bangsa terhadap negaranya. Tak lama, kepergian Mus diikuti Bik Inah, Ijah, dan Warti.

“Sejak itu kami berpisah. Aku bekerja di rumah keluarga Arab di Ampel. Bik Inah kabarnya pulang kampung dan membantu suaminya berjuang di medan laga. Sedang Ijah dan Warti bekerja di rumah orang-orang Tionghoa mengurusi rumah makan. Awalnya kami berempat sering mengadakan pertemuan. Tapi setelah masa itu berakhir, kami tak lagi bertemu. Hingga detik ini rahasia kami masih tersimpan dengan baik. Meski kami sudah keluar dari rumah itu, Tjan Cuk tidak pernah tahu apa yang telah kami lakukan terhadap tamu-tamunya.” [tamat]

 

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...