Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Tukang Masak dan Rahasianya #7

Pura-pura Menaruh Iba

Oleh: Noviyanto Aji

Kematian misterius serdadu Belanda itu rupanya mempengaruhi Mus. Ia tidak sabar ingin mengetahui detil ceritanya. Apakah benar serdadu yang mati itu adalah serdadu yang semalam singgah di rumahnya?

Namun, Mus tetap menjaga kata-katanya. Ia tidak ingin, seandainya terlalu agresif, kedoknya terbuka.

Mus ingin menggali informasi dari Nasrowi pelan-pelan. Sudah barang tentu ini tidak bisa dilakukannya sendiri melainkan dengan bantuan Bik Inah.

“Wah, siapa saja serdadu yang sininya aku kurang tahu. Mereka wajahnya sama semua. Hidungnya mancung. Apalagi yang ke sini banyak orang. Sulit mengenali mereka satu persatu,” ujar Nasrowi.

Ah, leganya hati Mus. Dengan begitu Mus tidak perlu khawatir. Sebab tidak ada alibi kuat dirinya terlibat dalam pembunuhan tersebut.

Nasrowi mulai bercerita kepada Mus soal kematian serdadu Belanda itu.

“Polisi beranggapan kematian itu murni perampokan. Korban dibunuh di tengah jalan. Setelah itu seluruh hartanya dirampas. Jasadnya kemudian dibuang di got.”

“Sekeji itu!” Mus berpura-pura menaruh iba pada nasib serdadu muda tersebut, tapi dalam hati ia mengumpat sejadi-jadinya: biar tahu rasa dia.

“Bagaimana dia mati?” Tanya Mus lagi.


BACA JUGA
Rindu Ka’bah yang Tertunda
Pengakuan Eks Perempuan Dolly
Warganet Cantik Jadi tersangka Karena Masuk Pekarangan Sendiri


Cerita Nasrowi kepada Mus:

Saat itu korban ditemukan dalam keadaan duduk di got. Mayatnya seperti patung. Entah pembunuhnya sengaja membiarkan korbannya seperti ini, atau memang korban sewaktu dibuang posisinya lantas duduk sendiri. Kondisi korban sewaktu ditemukan sangat mengenaskan. Dia ditelanjangi. Yang tertinggal cuma pakaian dalam. Pada tubuhnya terdapat luka-luka bekas tusukan sebanyak sepuluh kali. Pelaku diduga lebih dari satu. Yang mengerikan lagi, di garis kakinya juga terdapat bekas pukulan balok. Kaki itu hancur. Polisi menduga sebelum korban dihabisi pelaku sempat menyiksa korban terlebih dahulu dengan memukulkan sebuah balok kayu ke garis kakinya. Setelah korban tidak berdaya, lalu pelaku menusukkan sangkur berulang-ulang ke tubuh korban yang kemudian membuat nyawanya melayang. Setelah itu semua harta korban dibawa kabur.

“Kok, ngeri banget Kang ceritanya!” Seru Mus.

Ia hilir mudik di hadapan Nasrowi menunjukkan kesibukannya di dapur, dan ketidakpeduliannya terhadap cerita Nasrowi. Padahal, konsentrasi Mus tertuju pada mayat serdadu Belanda tersebut.

“Sudah, sudah, nggak usah dilanjutkan. Kembali kerja!” Seru Bik Inah.

Nasrowi pergi. Mus kembali ke pekerjaannya semula. Akan tetapi pikirannya terus melayang. Bayangan serdadu itu kerap muncul di pikirannya.

“Dia akhirnya mati!” Batin Mus.

“Dia mati. Dan semua itu karena aku. Tapi aku bukan pembunuh. Aku hanya membebaskan jiwa yang terikat kepada tubuh dan otaknya saja, dimana jiwa-jiwa itu telah memeras ribuan pribumi, yang membuat penderitaan sebangsaku. Yah, aku harus kuat. Ini adalah perjuanganku. Tidak ada yang perlu disesali. Semua harus jalan terus.” Mus mengomel sendiri dalam kerisauan hati.

***

Pagi itu, Sabtu. Esoknya Minggu.

Mus sudah tidak sabar bertemu dengan teman-teman seperjuangannya di warung bubur kacang ijo milik Mbah Wito.

Setelah semua urusan di dapur selesai, esoknya Mus pergi ke warung Mbah Wito. Tak sabar ia ingin mendengar berita tentang kematian serdadu Belanda itu.

Di warung sudah ada Moenasan dan teman-temannya.

Suasana hati mereka nampak riang. Senyum rancak ditunjukkan Mus saat tiba di warung. Seolah ingin menyeru pada dunia bahwa kini telah ada pahlawan wanita di Surabaya, mereka serempak mengganggukkan kepala pada Mus.

Moenasan mendekati gadis itu. Sebelumnya kepala geng itu sempat menyalami tangan Mus.

“Kami bangga dengan perjuanganmu. Kami tidak akan melupakanmu!” Puji Moenasan.

Ah, jangan begitu, Cak. Kemarin aku melakukannya karena dorongan hati.”

“Kami tahu itu. Rasa hormat kami berikan kepada satu-satunya wanita pribumi yang tengah menyantap bubur kacang ijo. Salut!”

“Sudahlah Cak, jangan dibesar-besarkan. Kita semua melakukan itu demi bangsa. Sampeyan juga kan. Semua orang-orang di sini juga pahlawan,” sambut Mus yang menolak dianggap pahlawan.

“Terima kasih, Cah Ayu!”

“Apa yang terjadi kemarin, Cak?” Mus bertanya.

“Apa yang kamu dengar, itulah yang terjadi!”

“Benar sampeyan bunuh dia?” Mus penasaran ingin mendengar jawaban langsung dari mulut ketua geng tersebut.

“Iya.”

“Hartanya?”

Alhamdulillah sudah sampai tempat yang layak (sudah dibagi-bagikan).”

“Aku sudah cukup mendengarnya. Terima kasih. Nanti aku kabari kalau ada apa-apa. Aku pengin jalan-jalan di Jembatan Merah,” Mus pamit, “ini mbah,” Mus memberi uang untuk semangkok bubur kacang ijo.

“Nggak usah Cah Ayu. Untuk kamu sekarang gratis. Terserah kamu mau makan kapan saja, nanti mbah bikinin yang lebih enak lagi buatmu,” sahut Mbah Wito.

Matur suwun, mbah!”

Mus pergi.[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...