Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kota Brem 1965 #5

Menghitung Mayat

Oleh: Jendra Wiswara

Selama dua tahun PKI melancarkan propagandanya. Memaksa orang-orang melarat untuk ikut mendukungnya. Tak lama setelah itu akhirnya timbul ketegangan besar-besaran. Beberapa orang yang namanya tergabung dan sudah dianggap anggota komunis, pada akhirnya dibunuh secara sadis.

Teman Inem satu kelas pernah mempertontonkan padanya sebuah uang palsu cetakan baru yang didapatnya dari keanggotaan ayahnya sebagai PKI. Uang tersebut dicetak oleh Aidit. Gambarnya Aidit.

“Aku melihat uang baru cetakan PKI. Uang itu sudah menyebar ke tangan-tangan anggota PKI. Namun pada akhirnya para orang tua murid yang kebanyakan menjabat pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) itu ditahan oleh tentara Siliwangi karena dituding terlibat dalam kegiatan separatis. Sebagian malah dibantai secara sadis.” 

Puncaknya, peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik sangat hebat. Suasana politik makin kacau. Sehingga pada 11 Maret 1966 keluarlah surat perintah kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar.

“Kata paklik, Supersemar itu pembawa maut. Bukan saja pada rakyat kecil yang tidak tahu menahu, tetapi pembawa maut bagi bangsa Indonesia. Setelah Supersemar keluar, itulah awal-awal kejatuhan Bung Karno. Paklik sudah menduga sebelumnya. Ngeri aku melihatnya.”

Kesaksian Inem, antara periode 1965-1967, masa peralihan kekuasaan Soekarno kepada Soeharto, melahirkan banyak korban jiwa.

Dalam versi pemerintah, masa ini dilukiskan sebagai era kekuatan pendukung Orde Baru (tentara, mahasiswa, dan rakyat) untuk membasmi PKI sampai ke akarnya serta pembersihan para pendukung Soekarno.

Di radio RRI, Inem mendengar seruan rakyat yang memiriskan telinga pendengarnya yang pro-Soekarno: gantung Soekarno, adili Soekarno.

Sedikit demi sedikit panggung ketegangan dibangun. Tahun 1965-1966 panggung itu dijadikan arena pertarungan berdarah antara PKI dan unsur-unsur bersenjata yang didukung Barat.

“Aku menyaksikan ratusan hingga ribuan rakyat Madiun dibantai secara brutal. Situasi Madiun tak ubahnya dunia wayang: yang tidak dahsyat, tidak hebat, tak perlu jadi perhatian. Sebaliknya Madiun berubah menjadi pusat perhatian dunia. Pembunuhan demi pembunuhan dilakukan dengan sadis. Orang bahkan tidak berani menguburkan korban. Jangankan menguburkan atau ngerumat jenazah, menaruh prihatin dan iba saja akan dibunuh.”

Banyak jasad-jasad korban pembantaian dikelelerkan di bawah pohon, dikubur di tempat-tempat sepi, dikumpulkan di bangunan kuno kemudian dibakar, dihanyutkan ke sungai yang dilempar bagai bangkai anjing.

Setiap hari sepulang sekolah, di sungai belakang rumah, Inem menyaksikan ratusan jasad manusia mengambang bersimbah darah. Kalau dihitung setiap hari, jasad-jasad itu mencapai ribuan.

Ada yang tenggorokannya disembelih dan nyaris putus, kepalanya hilang dan yang tertinggal cuma badannya, dan puluhan kepala tanpa badan kempal-kempul di sungai.

“Aku sebenarnya tidak tahan melihat jasad-jasad itu. Setiap hari ada saja jasad manusia yang ngambang di sungai. Kadang cuma kepala saja tanpa badan, atau sebaliknya. Malah ada yang nyangkut di pinggi rumah. Kalau sudah begitu orang-orang tidak berani untuk memindahkan. Sebab sekali saja membantu, maka hidupnya bakal seperti mereka.”

Bagi Inem dan Bambang serta anak-anak seusianya, mungkin hal tersebut sudah menjadi kebiasaan, sehingga maklum jika mereka menjadikan peristiwa ini sebagai hiburan semata.

“Hmm…bukan semata-mata hiburan, melainkan hiburan yang mengerikan tentunya.”

Misalnya saja, sepulang sekolah Inem, Bambang, dan teman-teman sebayanya kerap berlomba menghitung jumlah jasad-jasad manusia di sungai. Setelah itu mereka melaporkannya kepada orang tua masing-masing.

“Bulik, hari ini ada dua puluh (jasad),” lapor Bambang sambil cengengesan.

“Iya, bulik, ada dua puluh!” Inem menegaskan.

Husy, jangan ngomong itu. Lainnya saja.” Sumirah mendekatkan telunjuknya ke bibirnya sendiri, mewanti-wanti agar Inem dan Bambang tidak membicarakan soal PKI.

“Kenapa bulik?” Inem bertanya dengan penasaran.

“Pokoknya itu dilarang, titik.”

Tapi dasar anak masih bau kencur, hal itu tak digubris Inem dan Bambang. Bahkan untuk mengisi waktu-waktu kosong, Inem sering bermain di pinggir sungai bersama teman-teman satu sekolahannya. Di sana mereka belajar berhitung. Bukan menghitung aljabar, melainkan menghitung mayat.

“Tuh, tuh, ada lagi yang ngambang. Ah, nggak ada kepalanya,” kata Tutik, teman Inem.

“Nah, di belakangnya masih ada tuh. Malah berdarah-darah. Perempuan lagi. Hayo sekarang sudah berapa?” Sahut Ratna, juga teman Inem.

“Hari ini sudah ada tiga puluh lebih. Tahu ah, pokoknya banyak.” Jawab Inem males.

Yang mengerikan adalah ketika musim kemarau datang. Jasad-jasad tersebut banyak tersangkut pada endhut (lumpur) yang kemudian menghasilkan warna sungai kemerah-merahan. Bau anyir menyemburat ke mana-mana. Setiap orang yang lewat pinggiran sungai selalu menutup hidungnya. Yang tidak tahan, ya muntah-muntah.

“Aku sering muntah-muntah karena baunya. Belum lagi jasad-jasad itu sudah dikerubungi belatung. Hiii…mengerikan. Sepanjang bantaran sungai ada ribuan mayat laki-laki dan perempuan. Anak-anak, tidak ada.” [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...